ELT, Sejarah dan Keresahan Saya

Semasa kuliah dulu, seorang kawan pernah curhat terkait mata kuliah Bahasa Inggris yang diikutinya kepada saya. Ia satu universitas dengan saya, hanya beda fakultas; saya di FKIP, dia di FEKON. Ia bercerita bahwa dosennya kala itu lebih banyak bicara masalah grammar, dengan kelas campuran di aula, hingga 100-an mahasiswa, dan soal ujian yang (menurutnya) sulitnya minta ampun.

Cerita kawan tersebut kembali terlintas di kepala saya ketika beberapa pekan ini menghabiskan banyak waktu untuk membaca dan membuat rangkuman tentang sejarah pengajaran Bahasa Inggris (English Language Teaching, disingkat ELT). Sejarah perkembangan ELT di seluruh dunia saya rangkum dari buku H.H Stern, sedangkan sejarahnya di Indonesia dari artikel Prof. Eugenius Sadtono, Ph.D.. Keduanya membuat saya resah dan, sedikit pesimis.

Bagaimana tidak, di level internasional, pengajaran Bahasa Inggris itu sendiri sudah lebih banyak gagalnya ketimbang berhasil. Bahkan metode-metode revolusioner semacam Direct Method dan Audio-Lingual Method pun, meski berpengaruh secara masif di seluruh dunia, dianggap gagal dalam pencapaian efektivitas pengajaran.

Di Indonesia, ELT bahkan disebut Prof. Sadtono sebagai “flogging a dead horse“; buang-buang waktu dan tenaga saja. Beliau menyatakan, bahwa apapun metodenya, TEFL di sekolah formal di Indonesia tidak akan bisa sukses, karena metode hanya satu aspek, dari sekian banyak faktor lain yang justru tak terurus dengan benar.

Di zaman Belanda, Bahasa Inggris, seperti bahasa Eropa lainnya, merupakan bahasa elit yang hanya diajarkan di sekolah-sekolah kelas atas. Sebagian kecil warga pribumi saja yang beruntung dapat mempelajarinya. Pada zaman Jepang, aduh, Bahasa Inggris dilarang untuk diajarkan! Setelah merdeka, ELT mulai berjalan, dengan intervensi bantuan dari AS dan Inggris, lalu rezim komunis berkuasa, dan Bahasa Inggris dianggap pro kapitalisme, lagi-lagi dilarang.
Orde Baru, ELT kembali dikembangkan. Sayangnya, dana milyaran dolar dari pihak barat, seperti World Bank dan UNDP, dikelola secara, maaf, serampangan, seperti halnya dana pendidikan kala itu bahkan sampai sekarang (?). Hasilnya, ya seperti yang sudah kita lihat bersama. Masalah geografis, demografis, sosial dan budaya, telah kuat mengakar sebagai penghambat pengajaran. Ini ditambah lagi dengan birokrasi orde baru yang korup dan sentralistik. ELT di Indonesia, sorry to say, gagal total.

Masalah pelik lainnya adalah SDM. Pada era 80/90-an, diwakili oleh lagu Iwan Fals, Oemar Bakrie, ada stereotipe yang menyakitkan terkait profesi guru: gaji kecil, tidak bonafit, masa depan suram. Orang tua ogah anaknya jadi guru, lebih keren jadi dokter atau insinyur dong? IKIP pun sepi peminat. Tinggal ‘stok sisa’ yang kebanyakan berasal dari desa, yang mau jadi guru. Nah, guru Bahasa Inggris, sebenarnya tergolong banyak diincar orang. Tapi tunggu dulu, karena apa?

Dulu, sewaktu ikut SPMB, tahun 2000, jatah 30 kursi yang tersedia untuk Prodi Pendidikan Bahasa Inggris di kampus saya diperebutkan oleh 500-an calon mahasiswa. Rasio yang luar biasa ini, saat itu hanya kalah oleh Fakultas Kedokteran. Pertanyaannya kemudian, mengapa? Karena ternyata, kuliah di English Department, demikian kami menyebutnya, itu, memungkinkan lulusannya untuk bekerja DI LUAR PROFESI GURU! Mereka bisa menjadi pegawai bank, penerjemah, karyawan perusahaan batubara atau sawit, konsultan, dan berbagai impian hidup mapan lainnya. Saya salah seorang yang tergiur mimpi, ketika itu.

Jadilah kembali, hanya ‘stok sisa’ yang ditaruh di posisi guru, mengajar dengan kompetensi seadanya, dengan gaji yang juga seadanya. Tak heran jika kesuksesan ELT di sekolah-sekolah formal itu rendah sekali! Apa yang bisa diharapkan dari kelas bahasa Inggris 4 jam sepekan, dengan 40-an siswa yang ribut, guru yang tidak kompeten sekaligus tidak bahagia, dan lagi, kurikulum yang tidak memperhatikan faktor sosial kultural siswa?

Makanya lah, kalaupun ada mereka yang fasih berbahasa Inggris, pandai cas-cis-cus, atau rapih menulis, seperti para blogger yang kerap saya kagumi kalau sudah menulis eNggris; sebut saja Pak Guru, Masbro Sora, atau Mbak Pito, saya yakin, keterampilan itu bukan semata mereka peroleh dari bangku sekolah. Silakan diklarifikasi, tapi, kalaupun siswa berhasil menguasai bahasa Inggris, biasanya itu lebih karena kegigihan si anak sendiri juga pengorbanan finansial orang tuanya; entah karena si anak memang prodigi, punya minat luar biasa besar, atau ikut di tempat kursus ternama.

Akan tetapi, optimisme tentunya harus tetap disemai. Saya percaya, suatu saat ELT di sekolah akan jauh lebih berhasil daripada sekarang. Perkembangan Teknologi Informatika, misalnya, bisa sangat membantu para guru dalam menyiapkan perangkat dan media, asal si guru mau berusaha. Program pemerintah seperti sertifikasi guru, sekolah standar nasional dan RSBI, KTSP, dan sebagainya, meski tak lepas dari kritikan sana-sini, setidaknya juga bisa membuat profesi guru kembali dilirik. Dan semoga akan lebih banyak lagi orang yang baik, kompeten, dan bahagia, yang mau jadi guru, khususnya guru Bahasa Inggris.

20 thoughts on “ELT, Sejarah dan Keresahan Saya”

  1. kalaupun siswa berhasil menguasai bahasa Inggris, biasanya itu lebih karena kegigihan si anak sendiri juga pengorbanan finansial orang tuanya; entah karena si anak memang prodigi, punya minat luar biasa besar, atau ikut di tempat kursus ternama.

    Setuju. Sampai sekarang, meskipun sudah ada cekolah cekolah yang katanya standart international, tetap saja anak anaknya bertaburan di berbagai kursus bahasa Inggris tambahan guna memperlancar bahasa inggrisnya.

    Ada banyak faktor dalam pengajaran bahasa Inggris, kalau mau disempitkan, kurang memuaskannya anak anak sekolah negara kita Kalimantan dalam meneyerap pelajaran bahasa Inggris di sekolahannya.

    Bukan cuma soal dana pendidikan, bukan cuma soal metode mengajar, satpel-renpel, atau sebatas minimnya fasilitas belajar mengajar. Sekarang kan sudah merambat kepada sang pengajar, dan tempat pencetak pengajarnya itu sendiri.

    Mulai dari tempat pencetak gurunya: Kampus yang seharusnya jadi sebuah sarana peningkatan mutu calon guru, sudah berubah menjadi kampus matrealis! Terima mahasiswa dengan membabi buta, tanpa pandang kualitasnya lewat sebuah kedok bernama “Kelas EKSTENSI”. Kalau sudah ujian dengan uang, kualitas kepala yang bakal disiksa di kampus tentu sudah dilupakan.

    Kampus terkutuk itu sendiri punya bahan kuliah, yang menurut saya sekian tahun sekian tidak mutu, kian tahun kualitasnya makin busuk. Liat Intensive English. Mata kuliah yang teramat sangat tidak berguna. Belum lagi soal longgarnya syarat dan prasyarat, macam kita dulu, tak boleh ambil Reading III dan Introduction to Linguistic kalau belum khatam Reading II. Sekarang?

    Plus, tak adanya regenerasi yang sesuai. Anggap saja kegagalan peremajaan tuhan dosen di kampus. Karena kau tau sendirilah kemampuan pasukan baru yang bakalan menggantikan pasukan lama. Kecuali mereka bisa meningkatkan kapasitas otaknya, dan lebih lagi tentu saja memperbaiki sikapnya. (mau dikasih link taku kena sensor)

    Setelah kampusnya bobrok, lulusannya sendiri macam warik tajun ke kacang. Contoh: Para mahasiswa lulusan kampus terkutuk itu, setelah lulus, jadi guru Pegawai Negeri Sipil pula,, bukannya sibuk memperbaiki diri sendiri atau meningkatkan kualitas kemampuan mengajar, malahan sibuk jalan jalan. Pakai uang negara buat pacaran, selingkuh, dan…..

    Belum lagi lulusan lainnya. Selepas lulus bukannya ngajar malah sibuk touring, jadi kontraktor, dan lain sebagainya. Bahkan adajuga yang malah sibuk jadi blogger hingga menjadi aktifis pencari duit di internet. kalau sidah macam ini, bagaimana pendidikan bahasa Inggris di sekolah mau maju? :mrgreen:

    Reply
  2. @ Fortynine

    Eyalah, malah ngeblog di sini beliau…

    tetap saja anak anaknya bertaburan di berbagai kursus bahasa Inggris tambahan guna memperlancar bahasa inggrisnya.

    Kenapa demikian kira-kira? Karena di kursus, paling banyak orangnya 10-15 orang, sehingga anak mendapat porsi perhatian yang lebih besar. Bandingkan dengan kelas yang isinya 40 anak?

    Sekarang kan sudah merambat kepada sang pengajar, dan tempat pencetak pengajarnya itu sendiri.

    Ada ujung, tentu ada pangkal; ada asap ada api, ada hilir ada hulu. Kalau kita telusuri, tempat pencetak itu pun bukan satu-satunya akar masalah, loh. Ada penyelenggara pendidikan, pemerintah pusat di jakarta sana, bahkan pihak asing macam Bank Dunia, UNDP, USAID dan British Council yang juga punya ‘kepentingan’, semua bermain dalam kegagalan pengajaran di negara ini.


    Sisa komennyanya sepertinya bernada curcol…

    Etapi bagian ini:

    malahan sibuk jalan jalan. Pakai uang negara buat pacaran, selingkuh, dan…..

    malah sibuk touring, jadi kontraktor, dan lain sebagainya. Bahkan adajuga yang malah sibuk jadi blogger hingga menjadi aktifis pencari duit di internet.

    Ini siapa yang dimaksud ya? :mrgreen:

    Reply
  3. seperti para blogger yang kerap saya kagumi kalau sudah menulis eNggris; sebut saja Pak Guru, Masbro Sora, atau Mbak Pito, saya yakin, keterampilan itu bukan semata mereka peroleh dari bangku sekolah.

    Sejujurnya sih, dalam kasus saya memang seperti itu. Landasannya banyak dari sekolah & les — tapi informal juga berperan membentuk skill. Utamanya yg terkait vocab dan idiom. 😛

    *orang yang bahasa inggrisnya terbentuk gara2 Pokemon, FF, dan FM*
    *serius!* xD

    Reply
  4. FAKTA! APA YANG SAYA SEBUTKAN ADALAH FAKTA! APA ANDA TAK MAU MENGAKUINYA???!!!
    capslock kada ingat memati’i
    _________________________________

    YA sudahlah, siapa saja,pihak mana saja yang berperan serta baik aktif maupun pasif, dalam proses pembodohan, maupun proses perlambatan pengajaran dan pendidikan di dunia ini. Semoga ada balasannya, kalau kada di dunia, kena di akherat barang! (kaya kekanakan rajin mun kehabisan bahan….pasti nyambatnya kitu)

    Ini siapa yang dimaksud ya? :mrgreen:

    Masa harus saya absen satu persatu? Bukankah itu namanya pencemaran nama yang sudah cemar?

    Reply
  5. @ Sora9n
    Nah, satu orang sudah konfirmasi. :mrgreen:

    Eh iya, murid-murid saya yang menonjol bahasa inggris di kelas, umumnya juga banyak belajar Bahasa Inggris lewat jalur informal itu: karena senang baca-baca, nonton film, kartun, anime, main games, dan internet.

    @ Fortynine
    Kapan saya bilang tidak mau mengakui sih? :mrgreen: Saya kan cuma bilang, itu curcol… 😈

    @ Alfi
    Karena ada beberapa hal yang bermasalah dan tidak sesuai harapan, Bu..

    Reply
  6. saya salah satu yang mengalami kegagalan pendidikan. bayangkan saja, dengan bahasa inggris dan grammar yang jelas-jelas acakadut, saya hampir mendapatkan nilai sepuluh untuk raport bahasa inggris saya saat SMP. bisa dibayangkan bagaimana yang kualitasnya di bawah saya.

    Reply
  7. Kalo disini, dari sd kelas 1 dah belajar bahasa inggris, cuman di sini lebih kaco.. Spelling nya english, bacanya malay… Misal, AYAH. E, WAY, E, Heijh = AYAH… Wkwkwkwk

    Reply
  8. @ Itikkecil
    Etapi Mbak Ira kan masih bisa nulis eNggris, itu buktinya di blog sering curhat pake Bahasa Inggris… *dikepruk*

    @ Raffaell
    Yah, itu masuk ke ‘World Englishes’ kata dosen saya… Malay English, Singlish, juga Indoglish, juga ada Engrish di Jepang; ketika bahasa setempat mempengaruhi beberapa fitur dalam bahasa Inggris, pun sebaliknya. Sesuatu yang tak terhindarkan tentu, tapi setidaknya di Malaysia, bahasa Inggris masih lebih lumayan sering kepake lah, daripada di sini…

    Reply
  9. Amed yang baik. kalau dirimu mau jujur dan kejam padaku, pasti akan menemukan banyak sekali kesalahan. untunglah dirimu bukanlah para nazi grammar seperti Farid ataupun Fritz *lirik kedua orang itu dengan kejam*

    Reply
  10. kalaupun siswa berhasil menguasai bahasa Inggris, biasanya itu lebih karena kegigihan si anak sendiri juga pengorbanan finansial orang tuanya; entah karena si anak memang prodigi, punya minat luar biasa besar, atau ikut di tempat kursus ternama.

    Saya secara khusus setuju dengan yang tertulis tebal di atas. Entah kenapa kok harus punya minat luar biasa guna menguasai barang satu ini. Padahal bahasa Inggris itu kan kemampuan dasar; kudunya ia menjadi fokus utama bagi institusi pendidikan formal untuk pengembangan anak didik.
    Seharusnya orang yang lulus SMA harus punya kemampuan bahasa Inggris setidak-tidaknya dalam skala 400-450 toefl. Dengan demikian ia tidak perlu lagi membebani otaknya untuk belajar bahasa Inggris lebih lanjut, dan bisa berkonsentrasi untuk menekuni bidang ilmu yang diminatinya di bangku kuliah.

    Ah tapi saia setengah bersyukur banyak orang yang ndak bisa bahasa Inggris, lantaran kalau banyak yang pinter keminggris(© Pito) bisa nganggur saya :mrgreen:

    Fortynine

    Belum lagi soal longgarnya syarat dan prasyarat, macam kita dulu, tak boleh ambil Reading III dan Introduction to Linguistic kalau belum khatam Reading II. Sekarang?

    Di Program Magister Pendidikan Bahasa Inggris yang baru dibuka 2 tahun y.l. di UNCEN, paskasyarat TOEFL-nya 450. As opposed to prasyarat, paskasyarat artinya TOEFL bukan jadi syarat masuk, melainkan syarat keluar alias syarat wisuda. Sebagian angkatan pertama yang sudah diwisuda malah ada yang berhasil menyandang gelar S2 pendidikan bahasa Inggris tanpa pernah mengambil TOEFL.

    @itikkecil
    Halo mbak Ira 😀

    Reply
  11. @Fritz
    yeah, salah satu grammar nazinya datang

    Di Program Magister Pendidikan Bahasa Inggris yang baru dibuka 2 tahun y.l. di UNCEN, paskasyarat TOEFL-nya 450. As opposed to prasyarat, paskasyarat artinya TOEFL bukan jadi syarat masuk, melainkan syarat keluar alias syarat wisuda. Sebagian angkatan pertama yang sudah diwisuda malah ada yang berhasil menyandang gelar S2 pendidikan bahasa Inggris tanpa pernah mengambil TOEFL.

    ya Tuhan….. jadi bertanya-tanya nasib anak-anak malang yang terpaksa diajar oleh mereka… dan juga alangkah mudahnya jadi magister…

    Reply
  12. Kehancuran pertama jurusan BE di FKIP kampusku datang dari sistem penerimaannya yang disamakan dengan jurusan2 lain yang bisa dipelajari dengan bahasa ibu. Tidak ada prasyarat minimal penguasaan bahasa Inggris untuk calon guru bahasa Inggris. (Kampus lain gimana ya?) Akhirnya sudah bisa dibaca, orang yang kuliah di FKIP BE belajar untuk jadi guru bahasa Inggris sekaligus baru belajar bahasa Inggris bagi dirinya sendiri. Mau jadi guru bahasa Inggris macam bagaimana ini? Apa kabar pula siswa yang diajar? Saya masih sekolah aja sering banget ngoreksi guru bahasa Inggris. 😆
    Mestinya ya seperti kata Fritz itu:

    orang yang lulus SMA harus punya kemampuan bahasa Inggris setidak-tidaknya dalam skala 400-450 toefl.

    Yang tentunya, sulit dicapai kalo gurunya baru belajar bahasa Inggris pas kuliah jadi guru bahasa Inggris. 👿

    Reply
  13. @ Fritzter
    Idealnya seperti itu masbro, tapi definisi ‘kebutuhan dasar’ di sini, seringkali tidak berlaku sama untuk setiap orang dan keadaan. Kadang masih ada yang beranggapan ngapain bisa bahasa inggris, yang tidak sekolah saja masih dikasih hidup?. Bisa Bahasa Inggris itu masih kebutuhan tersier bagi sebagian orang.
    Memang, ada beberapa sekolah yang punya perhatian lebih terhadap hal ini, tapi tidak banyak. Dan yang sedikit itupun, jangan salah, kadang menemui hambatan sana-sini, termasuk dari guru-guru di sekolah itu sendiri!

    Ah tapi saia setengah bersyukur banyak orang yang ndak bisa bahasa Inggris, lantaran kalau banyak yang pinter keminggris(© Pito) bisa nganggur saya :mrgreen:

    Hohoho, rejeki sudah ada yang ngatur masbro.. #sokbijakpasrah

    TOEFL bukan jadi syarat masuk, melainkan syarat keluar alias syarat wisuda. Sebagian angkatan pertama yang sudah diwisuda malah ada yang berhasil menyandang gelar S2 pendidikan bahasa Inggris tanpa pernah mengambil TOEFL.

    Di PPS UNY semester lalu, mahasiswa S-2 dari KalSel (180-an orang) juga wajib dapat TOEFL. Dan hampir separuhnya dinyatakan tidak lulus, khususnya yang jurusannya di luar Bahasa Inggris. Etapi yang Bahasa Inggris juga ada yang tidak lulus, dan ini kok ya agak.. menakutkan ya?

    @ Itikkecil

    ya Tuhan….. jadi bertanya-tanya nasib anak-anak malang yang terpaksa diajar oleh mereka… dan juga alangkah mudahnya jadi magister…

    #jleb..

    @ Jensen99

    Tidak ada prasyarat minimal penguasaan bahasa Inggris untuk calon guru bahasa Inggris. (Kampus lain gimana ya?)

    Sama saja dengan di kampus saya dulu Om. Jenis tesnya kan sama; pilihan ganda pula. Tes keterampilan tidak ada, karena alasan waktu dan biaya, biasa. Apalagi, seperti kata Farid di atas, sejak ada jalur Mandiri (masuk lewat jalur ‘swasta’, dengan bayaran berlipat-lipat), kredibilitas lulusannya jadi semakin memprihatinkan lah (wong yang reguler saja masih parah…).

    Nah, yang jadi masalah, biasanya mahasiswa PENDIDIKAN Bahasa Inggris itu, ketika sadar kalau dirinya jago Bahasa Inggris, justru malah ogah jadi guru; merasa gengsinya akan turun kalau CUMA jadi guru, gajinya kecil pula. Kawan-kawan sekampus saya dulu, yang hebat-hebat bahasa Inggrisnya, malah ndak jadi guru: ada yang jadi diplomat, kerja di batubara, sawit, atau minimal dosen.

    Lalu kalau yang akhirnya hanya ‘stok sisa’ yang suka dan rela jadi guru, apa boleh dikata?

    Reply

Leave a Comment