Ade Putra – Aku Anak Desa

Tiap makan malam di warung pecel lele dekat MM UGM Jakal, saya kerap mendengar seorang pengamen, ibu-ibu, menyanyikan lagu ini. Tertarik dengan liriknya yang sarat idealisme mahasiswa, saya coba carilah versi aselinya di situs tempat segala memori masa lalu berkumpul, Youtube. Ternyata ini lagu lumayan jadul, dibawakan penyanyi era 80-an, Ade Putra. Saya kurang tahu apakah video yang saya temukan ini versi asli atau (besar kemungkinan) yang sudah di-remix.

Liriknya saya comot dari Kompasiana.

Aku anak desa, lulusan SMA
Punya cita-cita membangun negara
Kusingsingkan lengan, ku pergi ke kota
Cari pengalaman, menambah diploma

Semangat menyala dalam dada
Melamun aku dalam kereta
Ingin aku menyumbang tenaga
Pasti aku kan membangun desa

Sesampainya di kota, banyak pengalaman
Hampir tak percaya, ini Indonesia
Mobil dan bis kota, baris di jalanan
Penuh rasa bangga, dan terharu pula.

Ku hanya sempat baca di koran
di kota banyak kejahatan
mencuri uang juta-jutaan
Korupsi menghambat pembangunan

Dalam lubuk hati akupun berjanji
bila saat nanti, ku dapat berbakti
membangun desaku, dengan mental tinggi
Tuhan Maha Kuasa, semoga merestui

Yang namanya pungli aku anti
Segala korupsi aku benci
Indonesia makin jadi rapi
Ayo membangun Negeri sendiri.

Kadang saya curiga, apakah karena saya sering pake jaket berlogo kampus, si ibu memilih lagu ini untuk saya renungkan? Yang jelas entah kenapa ada rasa gamang setelah membaca lirik penuhnya…

Pertama, saya ini anak kota. Yaaa, biarpun nggak besar-besar amat, katanya kota saya itu masuklah 10 besar kota termaju di Indonesia (entah parameter apa yang dipakai). Artinya, sejak kecil saya tak tahu bagaimana rasanya hidup di desa, dan hanya sesekali mengunjungi tempat kelahiran bapak saya kala lebaran. Kehidupan desa yang saya tahu mungkin kurang lebih miriplah dengan lirik lagu Tasya. Lebih-lebih, saya tak tahu bagaimana rasanya jadi anak desa yang punya cita-cita besar di dalam dada ketika berangkat menuntut ilmu ke kota.

Awal tahun lalu saya berkunjung setelah lebih sepuluh tahun tidak mudik. Luar biasanya, saya melihat desa itu masih sama saja dengan gambaran di memori saya; tak banyak perubahan berarti. Masih ada galon PDAM besar yang dikait ke masing-masing rumah, atap dari daun rumbia, jalan berlubang, dan WC terapung di pinggir sungai. Tak banyak kemajuan infrastruktur berarti, meski secara sosiokultural, masyarakatnya tak kalah dengan yang di kota, terutama jika melihat jumlah kepemilikan sepeda motor yang meningkat tajam.

Dalam hati kini saya bertanya, itu mahasiswa yang idealis ingin membangun desanya pada kemana ya? Mana itu mental tinggi yang dijanjikan Ade Putra dalam lagunya? Kok setelah berangkat ke kota, kebanyakan ogah balik? Terlena dengan gemerlap kota? Terbuai kenikmatan, kemudahan, dan keberlimpahan? Hingga akhirnya, desa hanya jadi tempat orang-orang tua berkumpul di sisa hayatnya, menunggu para pemuda harapan mengais rezeki di kota besar, dan pulang kala lebaran?

Sepertinya saya kelewat menghakimi, tetapi itulah juga yang saya lihat di Tulungagung, tempat kakek nenek istri saya bermukim. Kebanyakan anak-anak beliau hanya berkumpul di hari raya, selebihnya sibuk dengan urusan di Surabaya, Malang, dan Kalimantan. Itulah juga yang diceritakan seorang kawan, yang memutuskan hijrah dari desanya di Bojonegoro menuju Surabaya, “… kalau saya tetap di sana, lulus SMP saya bisa-bisa sudah nikah, kerja di sawah, boro-boro mikir kuliah…”

Mental tinggi untuk membangun desa, menjadikannya tempat yang lebih baik dan menjanjikan, ini seolah cuma jadi slogan yang enak didendangkan namun sulit dipraktikkan. Ketika kesuksesan sudah diraih di kota, kembali ke desa mungkin dianggap langkah mundur, tak sehat. Lebih baik cari nafkah terus di kota, nanti pulang bawa uang, bisa dilihat handai taulan, dan sungguh itu lebih membanggakan. Kota adalah simbol kehidupan modern. Di kota internet lancar, di desa cuma dua bar. Di kota ada Inul Vista, ada Diskotek, ada Mall. Di kota gampang cari servis gadget, gampang langganan TV kabel. Di kota bla-bla-bla…

Ah, ternyata saya melupakan pengharapan yang lebih besar dari sekadar ingin ‘membangun desa’, pengharapan untuk kehidupan pribadi yang lebih baik, lebih nyaman, lebih lengkap. Itu dulu dipenuhi, nanti kalau sudah dapat gampanglah itu pembangunan merata nanti bisa kita pertimbangkan.

Ya, jangan tanya apa yang bisa kau berikan bagi desamu, cukup tanyakan berapa…

Leave a Comment