Generasi Instan dan Rasa Iri

Usai membaca tulisan Geddoe yang membahas lagu Fitter Happier, jujur saja saya merasa begitu IRI. Ya, iri se iri-irinya. Soal apa? Bukan cuma soal konten posting yang begitu fasih ditulis dalam bahasa Inggris itu, tapi lebih ke dari mana Geddoe mengetahui ada lagu se-hebat Fitter Happier. Ya, kalau dihitung-hitung, Fitter Happier dirilis ketika dia masih berusia 7-8 tahun! Lalu dari mana dia tahu lagu tersebut? Jawabannya, hampir pasti, dari INTERNET. Ya, INTERNET.

Lewat Internet, dunia jadi terasa semakin sempit. Bukan cuma soal jarak yang memendek, tapi juga rentang waktu. Seolah-olah, semua hasil budaya dan peradaban manusia beribu-ribu tahun telah terkompilasikan dengan begitu lengkap di Internet. Project Gutenberg, YouTube, dan Wikipedia, sekadar menyebut beberapa contoh, jadi bukti nyata betapa yang dulu begitu berharga sekarang terlihat begitu mudah didapatkan.

Dan bicara soal masa lalu, saya jadi teringat masa remaja saya dulu *menulis hal ini kok saya merasa jadul banget sih?* di mana saya tidak punya akses internet, belum ada youtube, belum kenal iPod dan mp3, serta masih berkutat dengan kotak-kotak-kecil-dari-plastik-dengan-gulungan-pita-di-dalamnya yang bernama kaset.


Saya menghabiskan masa kecil di lingkungan penyuka musik; punya bapak yang kolektor kaset Idris Sardi dan Gunadi Bersiul, punya ibu yang fans fanatik Bang Haji, tinggal di belakang bioskop tua yang kerap memutar film-film India, sekampung dengan warga keturunan yang gemar memutar lagu-lagu Mandarin. Kombinasi yang memungkinkan saya menjadi musisi organ tunggal. :mrgreen:

Akan tetapi saya baru mulai berminat dengan musik (populer) di penghujung SD, itupun masih sangat minimalis; hanya kenal beberapa bait lagu Malaysia semacam Dermaga Saksi Bisu, satu lagu Java Jive, dan beberapa hits dari P-Project.

Ketika SMP, akses ke musik mulai terbuka, terutama karena pengaruh kawan dan lingkungan sekolah yang dekat dengan pasar. Seingat saya, saat kelas 1 mayoritas siswa adalah fans berat Nike Ardilla dan band asal Malaysia, UK’s (yang kerap kami eja sebagai u-ka-es).

Kelas 2, saya mengenal seorang kawan yang mengubah orientasi musik saya; dari Melayu-oriented menjadi Barat-oriented. ia memperkenalkan saya pada Michael Learns to Rock, Rick Price dan Richard Marx. Dan di kelas 2 inilah saya pertama kali membeli kaset hasil dari menabung sebulan penuh: Peter Cetera – One Clear Voice, yang sampai saat ini masih tersimpan di lemari walau kualitas suaranya entah bagaimana. (Seingat saya saat SMP, saya memang cuma mampu beli kaset 2-3 biji setahun, itupun harus menabung sekuat tenaga, dan memilih pulang sekolah jalan kaki ketimbang naik angkot.)

Kelas 3, karena pengaruh seorang teman pria, sebut saja T namanya, saya ikut teracuni boyband! Saya bertransformasi menjadi penyuka Take That dan Boyzone. 😳 Alih-alih, kaset yang saya beli justru album NOW 3, yang dari situ saya mulai mengenal U2 lewat lagu Staring At The Sun…

SMA, saya hampir tidak pernah beli kaset, selain karena krismon, juga karena lumayan banyak teman yang rata-rata anak-orang-kaya-yang-sanggup-beli-kaset-mana-saja-yang-mereka-mau… Selera musik saya jadi semakin liar bebas… Hingga akhirnya saya memilih britpop sebagai aliran paling “memukul telinga” saat itu… Blur, Oasis, Radiohead, dan Manic Street Preachers jadi pelampiasan…

Kuliah sempat jadi fase kemunduran. Jujur saja selera musik rekan seangkatan kala kuliah cukup memprihatinkan 🙁 di mana lebih didominasi lagu Indon dan boyband baru macam Westlife… Saya harus menunggu setahun demi mendapatkan rekan yang lebih sesuai dalam bicara musik, walau masalah selera kami tetap berbeda, yaitu orang ini.

Akhirnya saya memutuskan berdikari. Memilih sendiri musisi yang saya suka, tanpa interferensi dan intervensi siapa-siapa. Dan saya memilih U2. Lewat The Best of 1980-1990, saya mempelajari kedahsyatan sejarah musik mereka. All That You Can’t Leave Behind kemudian menjadi kaset paling fenomenal yang pernah saya beli (saya bahkan sempat membelinya dua kali!). Sejak saat itu kalau ditanya band paporit, selalu saya jawab dengan lugas, U2. HaiKlip-nya saya koleksi. Sempat bikin account e-mail di U2fan.net yang sekarang sudah almarhum. Dan kini, dengan bangga menjadi member milis U2-Indonesia.

Berikutnya adalah The Beatles. Sebenarnya kebetulan saja, karena saya begitu terkesan dengan I Am Sam, dan OST-nya yang dipenuhi lagu daur ulang mereka ternyata cocok di kuping saya. Untuk Beatles, saya memang hanya menyukai musik mereka di era psychedelic, utamanya pasca Album Rubber Soul.

Selanjutnya, Coldplay. Album Parachutes adalah album “cinta” saya. Jangan tanya apa maksudnya 😈 . Dan grup ini mengawali invasi kedua musisi Inggris Raya ke telinga saya, bersama Travis, Keane, dan tentunya yang paling heboh, Muse.

Selama kuliah, beberapa kaset masih sempat saya beli, setidaknya hingga akhir 2004 (Album HTDAAB U2), sebelum saya diterima bekerja di radio, mengenal jazz dan audiophile. Saya pun rajin menjarah harddisk kantor mengoleksi Anne Murray, Anita Baker, Frank Sinatra, Barry White dan bahkan Michael Buble!

Dan lewat koneksi internet, saya jadi rajin berburu album-album yang dulu sempat menemani masa muda saya… Album Sixpence None The Richer, Up-nya R.E.M, OST City of Angels, dan This Is My Truth-nya Manics adalah sebagian dari album-album yang saya download.

Ya, download, atau dari CD mp3 yang bisa didapatkan di emperan seharga sepiring nasi goreng… atau copy dari harddisk teman, atau rip CD originalnya… Begitu mudah, begitu cepat, begitu… murah…

Dan saya tidak sendirian… Banyak juga rekan-rekan seumuran saya, bahkan yang lebih tua, rajin mengeksploitasi masa lalu mereka dengan berburu lagu-lagu “terbaru” (meminjam bahasa Mr. Fortynine). Alasannya beragam, dari nostalgia hingga karena lagu “jadul” (baca: lagu baru jaman sekarang) jelek dan banyak menye-menye-nya.

Dan tidak hanya generasi saya yang katrok ini yang melakukannya. Generasi yang jauh lebih muda, lahir di akhir 80-an hingga pertengahan 90-an, kini punya akses lebar ke internet, mengenal download, forum, torrent dan sebangsanya, juga melakukan hal yang sama, dengan intensitas yang bisa dibilang jauh lebih gila-gilaan. Mereka bahkan bisa mengumpulkan materi yang ada jauh sebelum saya lahir.

Tidak, bukan soal apakah pembajakan itu harom atau tidak yang ingin saya bahas. Saya hanya terkesan pada betapa internet mengubah dunia. Seperti yang saya tulis di atas, internet mendokumentasikan hampir semua hal yang bisa didokumentasikan, termasuk di dalamnya musik. Geddoe dan generasinya memperlihatkan dengan gamblang apa itu generasi instan: pragmatis, berpatokan pada hasil akhir, dan tentunya, berwawasan lebih luas. Dunia seakan hanya sesempit dua kata: Google dan Wikipedia. Apapun bisa mereka (dan kita) cari dan tanyakan di sini.

Tidak, saya tidak sedang kecewa dengan generasi ini, atau mengutuk teknologi yang makin maju ini, lalu harus menutup diri, mengurung diri dalam gua dan mendiskreditkan zaman yang kian mendekati akhir dunia, buat apa?

Seperti yang sudah saya bilang, saya justru terkesan… Walau ternyata masih ada pertanyaan yang mengganjal: apakah generasi ini, generasi instan ini, dengan segala kemudahan dan kecepatan akses informasi yang mereka miliki, masih bisa memiliki sesuatu yang sempat disentil Sora, yaitu rasa menghargai? Kalau ada bagaimana selayaknya manifestasinya?

Dan usai membaca tulisan Geddoe, saya menyadari salah satu wujud penghargaan tersebut adalah: terinspirasi dari budaya pop yang kita terima, dan membuat sesuatu yang mencerahkan dari hasil inspirasi itu. Dan tulisan Geddoe itu menurut saya adalah mahakarya yang sangat mengagumkan. Hasil dari pemikiran yang, entah dangkal atau justru mendalam, namun jelas analitik. Dan ini wujud penghargaan terhadap Fitter Happier, salah satu lagu yang buat saya juga sangat istimewa, walau ternyata saya tak mampu menghasilkan tulisan sehebat punya Geddoe.

Dan karena hal itulah, saya merasa begitu IRI.

26 thoughts on “Generasi Instan dan Rasa Iri”

  1. Kalau saya iri bisa nulis dalam bahasa inggris begitu rupa.
    🙁
    kalau soal musiknya sih yang penting nyaman ditelinga.
    😀

    Cara memberikan apresiasi sifatnya cenderung pribadi, jelas tak ada patokan.

    Reply
  2. Kalau saya besar dengan mendengarkan Westlife, Backstreet Boys, Dan Hill, Gloria Estefan, Celine Dion, dan… yang semacam Stinky (band menye-menye™ Indonesia pertama?) dan Slam. 😆

    Tidak pernah jadi pendengar yang “serius” sampai mulai ikut demam nu metal MTV awal 2000-an waktu saya SMP. Jadi yang semacam Linkin Park, Limp Bizkit, Korn, Slipknot, dan kawan-kawan.

    SMA saya mulai agak tercerahkan. Yang didengar sudah Green Day. Lumayan membaik. Waktu tamat SMA, sudah mendengar yang semi-prog semacam Muse dan punk yang lebih nggak komersil kayak Rancid.

    Waktu kuliah baru saya agak banyak mendengar yang obscure. Orientasinya pun semakin jadul; saya suka lagu-lagu usang (Bob Dylan, Rolling Stones, Who, Queen), metal era 80-an (Metallica, Slayer, Dio), punk (Social D, Sex Pistols, Clash, Bad Religion, Rancid, Misfits), alternative rock (Radiohead, Pearl Jam, Manics, NIN), atau prog (KC, Rush). Kalau yang betul-betul “ingusan” saya suka the Strokes dan the Mars Volta. :mrgreen:

    Coldplay juga, walau Coldplay is gay.

    * * *

    Kalau sisi gelap yang instan-instan, ya saya nggak bakal menghindar lah. Nggak bagus memang. 🙁

    Reply
  3. Lagu-lagu masa kecil saya didominasi Sherina dan Trio Bebek™.
    Masuk SMP saya menoleh ke Slank, Padi, SO7, dan Peterpan.
    Saat SMA saya mengagumi Flow, Move, Back-on, Utada Hikaru, TM Revolution, dan Megumi Hayashibara.
    Saat kuliah? Entahlah, rasanya masih sama seperti di SMA. :mrgreen:

    Reply
  4. Hmm…
    Saya baru internet sejak SMA, itupun masih sebatas Yahoo! dan FS 😛

    Kalau soal musik, awalnya juga dengerin lagu menye-menye, tapi tercerahkan oleh kaset Linkin Park milik sodara waktu SMP…

    SMA, kenal Muse dari seorang teman gila. Lalu kemudian MCR dari seorang gadis 😳 serta band yang saya ndak tahu semua lagunya, macam Coldplay, Greenday atau SUM 41.

    Indonesian? No, thanks..

    Reply
  5. BTW, saya juga mendengarkan Linkin Park dan Muse saat SMP karena ajakan teman.

    Soal internet, they just want to get-what-they-want, ignoring who had created those god-class sites. Saya bahkan ragu kalau mereka punya kaset pita. Dan bukannya dari internet juga mas Amed tahu kalau Fitter Happier itu dirilis saat Geddoe berumur 7-8 tahun?


    Dan, bagi saya, internet cuma 3 kata: Google, Wikipedia, dan WordPress. Lainnya? Apa itu? :mrgreen:
    *ngeloyor ke Gendou*
    *donlot*
    @ K. geddoe

    Kalau sisi gelap yang instan-instan, ya saya nggak bakal menghindar lah. Nggak bagus memang. 🙁

    Er… nggak bakal menghindar? :mrgreen:

    Reply
  6. Lagu Bahasa Asing? Buat saya lagu bahasa asing terbaru adalah Metallica – Enter Sandman dari Album Black Album. atau mungkin Mr. Big – Just Take My Heart.

    Kalau fase telinga saya:

    Belum sekolah, lagu lagunya Somewhere Between dari versi asli hingga versi Muchsin. atau lagu Tell Laura, Nobody Child, hingga Say You Say Me (yang sekarang jadi rington telepon rumah Pakacil. :D)

    SD: Lagu lagu terbaru Indonesia: Gito Rollies, Iwan Fals, Ebiet G Ade, Achmad Albar dll. Lagu Bartnya Bon Jovi, Bryan Adams dan Skid Row (terakhir disebut malahan ga suka lagi) dan sampai sekarang ternyata belum ada yang bisa menggantikan posisi lagu lagu tersebut

    SMP: ikutan arus, ya ikut lagu apa yang rame di jamannya. Termasuk dangdut semacam Benang Biru.

    SMA: Slank, Guns N Roses, Metallica, jamrud Boomerang dan genre rock lainnya (pengaruh teman teman) karena baru SMA saya bisa beli kaset sendiri, dan belinya minimal 1 per bulan.

    Kuliah: Macem macem, yang jelas mulai selektif. Meskipun sempat mencoba Blink 182 hingga Coldplay – Yellow.

    Sebelum akhirnya memutuskan bahwasanya lagu Indonesia Terbaru adalah: Tatto – Satu Senyum Saja. dan lagu Luar Negeri Terbaru adalah: Yususf Islam – Father and Son. Terkecuali Slank yang lagu terbarunya tetap saja Seperti Para Koruptor

    😀

    Oh iya Met. Brit Pop itu buat saya terkesan monoton, makanya saya kurang tertarik. Saya sudah coba dengan menginapkan BLUR dan U2 punyamu tapi nyatanya tetap tak bisa menggantikan Bon Jovi dan Metallica saya….

    😛

    Reply
  7. Kuliah sempat jadi fase kemunduran. Jujur saja selera musik rekan seangkatan kala kuliah cukup memprihatinkan 🙁 di mana lebih didominasi lagu Indon dan boyband baru macam Westlife…

    Berarti selera musiknya si Fadil yang seangkatan kuliah denganmu itu ancur dunk.
    *tertawa setan*

    Ah iya, saya lupa. Baru baru ini gara gara si Emond, Betales dan Queen mulai merasuk, tapi hanya sebatas kenal, bukan terbawa arus

    Reply
  8. @ K. geddoe
    *menyapu-nyapu*

    @ Pakacil

    Kalau saya iri bisa nulis dalam bahasa inggris begitu rupa.

    Saya juga… 🙁

    kalau soal musiknya sih yang penting nyaman ditelinga.

    Dan perkara nyaman-tidak-nyaman di telinga ini juga subyektif kan Om?

    Cara memberikan apresiasi sifatnya cenderung pribadi, jelas tak ada patokan.

    Ya… Tapi semuanya tentunya tergantung apakah ada niat mengapresiasi atau tidak…

    @ K. geddoe
    Ha ha ha, Stinky lupa disebut… Padahal ada yang punya koleksi kaset Stinky tuh *lirak-lirik*

    BTW, musisi nu metal selalu saya kepinggirkan dari selera saya, :mrgreen: . Bahkan mp3 LP, LB dkk itu tidak pernah saya simpan di harddisk saya…

    Dan sepertinya masa kuliah selalu jadi ajang pencarian jati diri seutuhnya soal preferensi musik ya?

    Coldplay juga, walau Coldplay is gay.

    😐

    Kalau sisi gelap yang instan-instan, ya saya nggak bakal menghindar lah. Nggak bagus memang. 🙁

    Ah, saya tidak sedang menghakimi kok :mrgreen:

    @ p4ndu_454kura®
    Intinya Jepang ya?
    *nyaris gak kenal semua artis yang disebut Pandu waktu SMA kecuali Utada Hikaru*

    @ Nazieb
    He he he, dilihat-lihat artis-artisnya, kelihatannya pengaruh MTV memang masih cukup besar di Indonesia yaaa…

    @ p4ndu_454kura®
    Nah, kalo masa SMP-SMA memang sepertinya eranya “ikut-ikutan teman”…

    Whoops, saya suka istilah god-class sites itu, hwehehe…
    BTW, kalau umur Geddoe jelas lah saya tahunya dari internet, kenalan juga di internet kok :mrgreen:

    @ Mr. Fortynine
    Kalo fasemu, ndak usah diceritakan juga saya sudah tahu :mrgreen:

    Nah, buat saya justru hard rock macam Bon Jovi atau Metallica itu yang berkesan mainstream… Persepsi memang beda-beda ya?

    Anyway, U2 tidak termasuk britpop… U2 itu sendiri sebuah genre :mrgreen:

    @ Mr. Fortynine
    Ah, kalau soal Fadil, ndak usah tanya seleranya, liat aja koleksi lagu di harddisknya… :mrgreen:

    @ p4ndu_454kura®
    Tidak menjebak… Semua kan memang ada kaitannya? :mrgreen:

    Reply
  9. 😐

    Itu bukan kata saya, lho. 😕

    Nah, buat saya justru hard rock macam Bon Jovi atau Metallica itu yang berkesan mainstream… Persepsi memang beda-beda ya?

    BTW Metallica yang hard rock itu katanya sudah mulai kembali ke akar

    Anyway, U2 tidak termasuk britpop… U2 itu sendiri sebuah genre :mrgreen:

    Kayaknya iya. Apa namanya, ya?

    Reply
  10. @ Sora9n
    Ah, masa sih salah? Coba dicek lagi…

    *siyul-siyul*

    Iya maaf, human error… Habis baca posting yang itu, ternyata salah copy tab… 😳

    @ K. geddoe

    Itu bukan kata saya, lho. 😕

    Iya.. iyaa…

    BTW Metallica yang hard rock itu katanya sudah mulai kembali ke akar…

    Apapun, buat saya Metallica masih terlalu membosankan dan sangat cocok untuk musik pengantar tidur…

    Kayaknya iya. Apa namanya, ya?

    Bonoism? 😈

    @ Annmolly
    Ehehe… Sepertinya kita sezaman? 😕

    @ Warmorning
    Terrr… lalu!!

    Reply
  11. Ada fase di mana-mana saya tergila-gila dengan greenday
    tapi kaset pertama yang saya beli malahan Tommy Page 😳
    tetap saja cinta sejati saya itu queen dan britpop
    ada yang seksi pada vokalis-vokalis brit band itu 😀

    Reply
  12. Hehehehe Geddoe itu memang prototip generasi internet, dan mungkin dia pengecualian di generasinya juga. Saya juga heran kok dia hapal banget Schopenhauer, Thomas Pain, Oscars Wilde, Platinga, Aquinas, Leibniz, Shakespeare, Kierkegaard, Carl Sagan etc. Dan, oh iya, bahkan Geddoe pernah baca bukunya Atheist-nya Achdiat. Ada satu kejadian, saya beli buku Dawkins, dan Geddoe bilang “download aja Mas”. Saya merasa sangat ketinggalan zaman dan tua waktu itu. Makanya pas tau dia hapal Sex Pistol, yah saya gak heran lagi. Tapi masih ngiri. 😕

    Eh, ini OOT yah?

    Reply
  13. @ Ahsani Taqwiem
    Dari temuan Geddoe, katanya penyuka Coldplay itu gay,Wym… Berarti kamu itu…
    👿

    @ Irfan
    Ah, saya juga ingat seseorang denger lagu itu…
    *siyul-siyul*

    @ Itikkecil
    Aahh… Tommy Page.. 😳

    Seksi? Karena logat ngomong mereka yang “miring-miring”-kah?

    @ Gentole
    Sepertinya tidak OOT juga, Mas.. Soalnya memang sudah saya tulis tidak menutup kemungkinan diasosiasikan ke hal lain…

    Dan soal “diracuni” Geddoe, saya juga korbannya kok *siyul-siyul* :mrgreen:

    Reply
  14. Kok lagunya sama ya dgn yg saya kenal. hehehe.. Kayaknya kita berasala dari era yg sama deh…
    Tp saya lebih beruntung.. karena referensi lagu saya terus bertambah dan mengikuti perkembangan zaman. *kerja di radio,jd mau gak mau*. Heheheh… Tapi paling seneng kalo bisa siaran KOPI Pahit. Jd bisa puter lagu2 past hits. Seruu…. hehehe.. jadi curhat.

    Reply
  15. @ Amed
    Meskipun musik Jepang, tapi yang saya pilih alirannya cepat, kalau nggak bisa dibilang keras.

    Tidak menjebak… Semua kan memang ada kaitannya? :mrgreen:

    Kalau saya seorang yang nyubi™ dan baru sehari berkenalan dengan internet, dan ingin download lagu, saya pasti mengetikkan kata kunci tersebut di rumah mbah gugel.

    Dan mungkin nyasarnya kesini. 😆

    Reply
  16. inspirasi musik saya justru datang darimana..dulu banget saya malah paling anti dengerin musik Indonesia, sekarang telinga ini lumayan mau denger musik Indo walopun suka alergi dnegan musik indo jaman sekarang yang isinya klo ga selingkuh ya menye2 gitu..tapi klo soal U2..damn..they’re ROCK!!They’re HOT!!

    Reply
  17. @ Sarah Luna
    Sezaman ya Mbak? Dulu SMP-nya di mana? :mrgreen:

    Saya juga (pernah) kerja di radio, tapi referensi lagunya justru mundur 😕
    Faktor apa genre radio-nya kayaknya juga mempengaruhi yah?

    @ siHarri
    Owalah… BTW, katanya Vagetoz itu fans berat U2 juga yah?

    @ p4ndu_454kura®

    Meskipun musik Jepang, tapi yang saya pilih alirannya cepat, kalau nggak bisa dibilang keras.

    Emang musik jepang ada yang lamban ya? *pura-pura lupa ada lagu semacam kokoro-no-tomo juga di Jepang*

    Dan mungkin nyasarnya kesini. 😆

    Lah, siapa tau jadi berpikir kembali untuk melakukan donlot :mrgreen:

    @ Stey
    Musik Indonesia yang bagus sebenarnya juga banyak kok, mbak, tapi ketutup sama yang itu-itu: selingkuh dan menye2 itu…
    Kalo soal U2, saya tidak mau mendebatnya 😈

    Reply
  18. Hmm, ternyata ada persamaan yang terjadi pada masa kecil qt : menyukai Gunadi Bersiul!
    i bet you there`s nobody sings with whistling!
    it`s quite rare and rocks!
    sayang sekali kasetnya udah hilang entah kemana…

    Reply

Leave a Comment