Demi Tuhan, malaikat dan setan sekalian, Brader, jembatanmu itu sangat-sangat mirip dengan jembatan di ujung desaku di sini. Besok sore, aku coba fotokan dan kau boleh bandingkan, dengan sudut gambar yang sama. Persis! 😯
SYAT, urusan pembangunan jalan dan jembatan itu kebijakannya bukan dari bawah ke atas, DI NEGARA INI, tapi dari atas ke bawah. Sama seperti argumen di sini soal jembatan kami, itu saat ditagih janji perbaikan. Komplen sudah melalui jalur hirarki yang benar: dari bawah ke atas. Tapi dari atas (Guess who? Yap! Pusat!) selalu bilang: “Akan ditindak-lanjuti”. Hafal frasa “Saya belum terima laporan dari bawah?” di negara kloning sovyet ini?
Ini janji lain soal kucuran dana pusat melalui kaki-tangan mereka di sini, diberitakan bulan Agustus, janji itu sudah dari 2008. Yeah right, 6 koma sekian miliar! 😆 Cuma bualan saja. 100 Kk lebih terkurung rakit berkali-kali, dana itu belum turun dari pusat yang mulia. No. Never. Tunggu beberapa orang mati karam dulu, agaknya.
padahal sebelum tanggal 15 desember kemaren orang2 jakarta yg lewat sekitaran sudirman pada terbengong2 karena orang2 PU pada heboh tengah malem mbikinin marka jalan segede alaihim gambreng buat para pengendara motor, yg gwa bilang sih rada stupid. kenape baru sekarang?!
eh… kata temen gwa yg kerja di Pemda, itu sengaja. buat ngabisin dana anggaran.
lha kan mending dipake buat benerin jembatan2 di daerah kalo gitu caranya mah. kaga guna juga buat bikinin marka jalan yg polisinya aja kaga ngatri itu buat apaan. monyed.
@ Bitch, The
Dikotomi pusat dan daerah selalu mengganggu ego saya, Mbak. Kalo urusannya dengan birokrat, proyek top-down dari pusat ke daerah, rasanya di sini kami sudah terlalu kenyang disuguhi ketidak-adilan di negara yang mengaku asas kelimanya adalah Keadilan Sosial Bagi SELURUH Rakyatnya.
@ ManusiaSuper
Bukannya kamu benci Jakarta karena wanita alasan yang sama dengan Alex?
*lirak lirik*
@ Andrie Callista
Masih untung ada jembatan, nggak pake getek…
Es sun es hujan reda, akan dijepretkan, diaplodkan. Hujan beberapa hari ini di sini 😕
AKT, sebenarnya saya memposting ini karena sudah terlalu muyak dijejali kampanye oleh salah seorang calon (incumbent), yang selama 4 tahun menjabat, jalan bolong-bolong dan truk-truk pengangkut hasil bumi bebas menjajah jalan umum.
Same sh!t everywhere… 🙄
Di satu sisi aku pun geram dengan pimpinan instansi terkait di daerah. Termasuk di sini. Tapi di sisi lain aku “memaklumi” berbelitnya cara mereka menagih alokasi.
Seperti berita di tautanku itu:
…terhadap kerusakan jalan bantuan Jepang sudah pernah disampaikan ke Dinas Bina Marga Aceh Barat akan tetapi diperoleh jawaban bahwa jalan ini merupakan tanggung jawab Dinas Bina Marga Aceh.
Dan jika ditanya ke Dinas Bina Marga Aceh, kemana muaranya? Ya. Jalan bantuan Jepang itu, untuk sekedar urusan perawatan kerusakan saja, tak lain tak bukan lagi-lagi anggukan setuju dan alokasi dari *uhukkk* Jakarta. Belum turun. Belum mengucur. Hampir selalu begitu. Belum lagi sunatan ini dan itu.
*Note: AKTJ, yang disebut Jalan Nasional, Jalan Negara di lintasan Aceh-Sumatra Utara, adalah jalan bantuan Jerman yang dibangun awal 1980-an. Tak ada “rupiah” yang bisa kami, WNI sini, banggakan pernah singgah menjadi hibah dalam puluhan kilometer aspal bertuah 😐 *
[sarkastis mode On]
Tidakkah ini memalukan? Jalan nasional dibantu negara asing, tapi perawatannya? Ironis kalau melihat pemerintah rajin pasang baliho dan spanduk saat Pemilu dan Pilpres di pinggir jalan bantuan, ditambah pamflet “Warga Bijak Taat Pajak”. Ya ya ya… pajak. Heh. That’s how we’ve built our “beautiful city”. Ask Nadine Chandrawinata 😆
[sarkastis mode Off]
Tentu ini bukan melulu kesalahan pusat. Namun “duit bicara”, bro. Seminimal apapun janji pilkada, anggaran di daerah sering sekali macam peti brankas yang dikunci. Dan kuncinya… nun jauh menyeberang lautan sana. Otonomi? Yaa.. yaa.. yaa.. 🙄
Kalau melihat daerahmu itu, pemimpin yang dibutuhkan memang yang punya cukup nyali dan cukup nyinyir utk menagih dana alokasi 😕
Setengah tahun lalu mulai ada proyek digarap, dana Pusat, tentunya, kan jalan negara jadi tanggung jawab DepPU. Sembari jalan diperbaiki, foto beliau ikut nempel di banner “maaf, jalan tengah dalam perbaikan”.
😆 Itu macam yang kutulis di atas
Proyek selesai, sudah bisa diduga, jalan yang diklaim sudah mulus itu dijadikan materi jualan utama, mengingat nggak ada lagi prestasi yang betul-betul menonjol selama pemerintahan beliau, di samping isu bernada chauvinisme dan pengalaman.
Jualan utama para incumbent memang nggak jauh dari “kemiskinan daerah” dan “keberhasilan selama saya bangun daerah”. Beberapa kandidat yang keok pra-pilkada Aceh juga begitu. Segera sesudah keok mereka minggat berbisnis dengan kekayaan yang ditimbun selama ini.
Chauvinisme memang isu obralan. Tidak ada yang terlalu salah dengan chauvinisme, bro, seperti kecurigaan bahwa itu berbau separatis. Oh, come on! Hampir semua daerah sepertinya sama sakit hati. Diakui atau tidak di negara ini. Kenapa tidak jadikan itu sebagai tamparan untuk pusat dan jeweran di kuping tiap anak daerah untuk peduli pada daerahnya?
Kupikir cukup adil untuk membagi porsi chauvinisme dan nasionalisme dalam diri sendiri. Kalau mau negara kuat dan bertahan, pedulilah pada daerah. Kalau memang Aku Cinta Indonesia, maka cintailah tiap sudut daerah-daerah di negara ini. Atau bingkai NKRI akan makin retak. Tak ada guna menekankan “Pokoknya NKRI. Hidup atau mati.”. Statemen macam apa itu? Pondasi negara ini berada di tiap jengkal kesetiaan dari Sabang sampai Merauke, bukan di bawah Tugu Monas! 😡
Namun tentunya jangan biarkan chauvinisme itu cuma jadi kecap manis saat pemilihan, lalu dilupakan oleh mereka yang haus kekuasaan. Chauvinisme itu seperti agama: maknyuss jadi jualan untuk memperkaya jabatan 🙁
@ ManusiaSuper
Bukannya kamu benci Jakarta karena wanita alasan yang sama dengan Alex?
*lirak lirik*
Tak ada guna menekankan “Pokoknya NKRI. Hidup atau mati.”. Statemen macam apa itu?
Anu Pak Presiden Atjeh, kalau nanti Kalimantan sudah terpisah dari negara terkutuk bernama Indonesia, apakah anda selaku presiden negara baru mau menjalin hubungan diplomatik dengan kami?
Tiada guna mempertahankan Indonesia, ujung ujungnya hanyalah membuat yang kaya makin kaya. Semakmur makmurnya orang lokal, tetap saja yang di Indonesia sana makmur….
Pondasi negara ini berada di tiap jengkal kesetiaan dari Sabang sampai Merauke, bukan di bawah Tugu Monas! 😡
Bukan pondasi, melainkan Sumatra, Sulawesi, dan Papua adalah pulau pulau yang memberi makan Indonesia, alias pulau Jawa sana. Lihat juga ini bung
Hm… begitulah kata mereka soal nasib jembatan, ia menghubungkan dua jalan yang terputus, begitu bergunanya jembatan, tapi bukan terima kasih dalam bentuk perawatan yang baik yang ia terima, ia diinjak-injak tanpa perawatan.
Dan pejabat saling lempar tanggung jawab, bukankah begitulah kebanyakan pejabat dari tanah ini, mereka tak tahu santun dalam berterima kasih.
@ Alex
Jalan sini juga Bantuan Korea lho, Lex… No wonder kalo mereka juga mendirikan BLK, kirim-kirim tenaga kerja ke sana, kerjasama dengan universitas negeri, dan tentunya jadi salah satu pengimpor teraktif batubara…
Chauvinisme? Chauvinisme itu nikmat. Membakar tanpa yang dibakar merasakan, karena sentimen kesukuan dan kedaerahan masih demikian kental di sini (juga di sana kan?). Tak peduli meskipun putra daerah sekalipun, kalau salah didik tetap saja jadi manusia tak tahu budi yang justru ikut menghancurkan bumi tempatnya lahir dan mencari makan…
Dan sistem pendidikan itu, kurikulum itu, siapa yang buat sih? *melirik ke pulau padat di selatan*
Akhirnya semuanya memang cuma perkara kepentingan. Kala chauvinisme dianggap penting untuk meraup suara, ia diberdayakan. Kala chauvinisme justru dianggap penting untuk membuka kesadaran demi keadilan seluruh rakyat, namun tak menguntungkan segelintir pihak, ia diberi label “separatis”…
Dan soal saudara (senasib)mu yang satu itu, Lex, ada info menarik nih… tapi seminggu lagi lah kau tunggu saja beritanya… 😈
@ Farid
GKM mulu…
@ Peyek
Terima sih terima saja Pak, kalo soal ngasih, nanti kita anggarkan dulu…
@ Ribby
Apanya yang dilanjutkan? Pengrusakan jembatan??
Ah, itu kan urusan pemerintah kota, bukan Gubernur… Makanya protes yang benar….
Ah, jalan negara juga urusan Departemen PU di Pusat, makanya klaim yang bener….
ManusiaSuper & Amd…
whuihihihi… kalian berdua memang benar
karenanya saya cuma ikut menikmati saja.
🙄
Sudah …sudah !!! jangan pada ribut…!!! kita ” nikmati ” saja jembatan yang rusak itu..seperti halnya menikmati paha eh jalan yg mulus itu……..
Nang mulus dimuka rumah wan kantor sidin haja.,..
Amun dipinggiran, sidin kada malihat, mang ae..
waduh .. jembatan dimana itu ?? ikut prihatin >_<
Wah, sngt memprihatinkn,
salam kenal.XD
Demi Tuhan, malaikat dan setan sekalian, Brader, jembatanmu itu sangat-sangat mirip dengan jembatan di ujung desaku di sini. Besok sore, aku coba fotokan dan kau boleh bandingkan, dengan sudut gambar yang sama. Persis! 😯
Ini potonya dari sudut lain, sekalian dengan beritanya.
SYAT, urusan pembangunan jalan dan jembatan itu kebijakannya bukan dari bawah ke atas, DI NEGARA INI, tapi dari atas ke bawah. Sama seperti argumen di sini soal jembatan kami, itu saat ditagih janji perbaikan. Komplen sudah melalui jalur hirarki yang benar: dari bawah ke atas. Tapi dari atas (Guess who? Yap! Pusat!) selalu bilang: “Akan ditindak-lanjuti”. Hafal frasa “Saya belum terima laporan dari bawah?” di negara
kloning sovyetini?Ini janji lain soal kucuran dana pusat melalui kaki-tangan mereka di sini, diberitakan bulan Agustus, janji itu sudah dari 2008. Yeah right, 6 koma sekian miliar! 😆 Cuma bualan saja. 100 Kk lebih terkurung rakit berkali-kali, dana itu belum turun dari pusat yang mulia. No. Never. Tunggu beberapa orang mati karam dulu, agaknya.
padahal sebelum tanggal 15 desember kemaren orang2 jakarta yg lewat sekitaran sudirman pada terbengong2 karena orang2 PU pada heboh tengah malem mbikinin marka jalan segede alaihim gambreng buat para pengendara motor, yg gwa bilang sih rada stupid. kenape baru sekarang?!
eh… kata temen gwa yg kerja di Pemda, itu sengaja. buat ngabisin dana anggaran.
lha kan mending dipake buat benerin jembatan2 di daerah kalo gitu caranya mah. kaga guna juga buat bikinin marka jalan yg polisinya aja kaga ngatri itu buat apaan. monyed.
Wah Pit… Makanya saya benci Jakarta….
Soal akhir tahun lalu jor-joran ngabisin anggaran itu.. Ah, cerita lama… *pindah negara*
waktu saya liburan kemarin ada yang lebih parah lagi , jembatannya cuman pake kayu galam. he… untuk mobilnya ngga nyemplung. haha..
sepertinya saya pernah melewati jembatan bolong itu ..
semoga jembatan na segera di perbaiki ya om. ^_^
@ Pakacil
Ah, nikmatnya…
@ Yulian
Om nih, kalo komen kada jauh-jauh pada…
@ Qori
Bahasa halusnya, prioritas, jerrr…
@ Vianadbs
Di salah satu kabupaten yang salah satu calon gubernur pernah menjabat bupati di sana…
@ Adi
Apanya yang memprihatinkan?
@ Alex©
Saya tunggu fotonya, Lex.
AKT, sebenarnya saya memposting ini karena sudah terlalu muyak dijejali kampanye oleh salah seorang calon (incumbent), yang selama 4 tahun menjabat, jalan bolong-bolong dan truk-truk pengangkut hasil bumi bebas menjajah jalan umum.
Setengah tahun lalu mulai ada proyek digarap, dana Pusat, tentunya, kan jalan negara jadi tanggung jawab DepPU. Sembari jalan diperbaiki, foto beliau ikut nempel di banner “maaf, jalan tengah dalam perbaikan”.
Proyek selesai, sudah bisa diduga, jalan yang diklaim sudah mulus itu dijadikan materi jualan utama, mengingat nggak ada lagi prestasi yang betul-betul menonjol selama pemerintahan beliau, di samping isu bernada chauvinisme dan pengalaman.
@ Bitch, The
Dikotomi pusat dan daerah selalu mengganggu ego saya, Mbak. Kalo urusannya dengan birokrat, proyek top-down dari pusat ke daerah, rasanya di sini kami sudah terlalu kenyang disuguhi ketidak-adilan di negara yang mengaku asas kelimanya adalah Keadilan Sosial Bagi SELURUH Rakyatnya.
@ ManusiaSuper
Bukannya kamu benci Jakarta karena
wanitaalasan yang sama dengan Alex?*lirak lirik*
@ Andrie Callista
Masih untung ada jembatan, nggak pake getek…
@ Nia
Pernah? Atau Sering?
@ Benkyo
Segera itu relatif Wid, segera menurut siapa dulu?
@ Amd
Phenom™ II X4Es sun es hujan reda, akan dijepretkan, diaplodkan. Hujan beberapa hari ini di sini 😕
Same sh!t everywhere… 🙄
Di satu sisi aku pun geram dengan pimpinan instansi terkait di daerah. Termasuk di sini. Tapi di sisi lain aku “memaklumi” berbelitnya cara mereka menagih alokasi.
Seperti berita di tautanku itu:
…terhadap kerusakan jalan bantuan Jepang sudah pernah disampaikan ke Dinas Bina Marga Aceh Barat akan tetapi diperoleh jawaban bahwa jalan ini merupakan tanggung jawab Dinas Bina Marga Aceh.
Dan jika ditanya ke Dinas Bina Marga Aceh, kemana muaranya? Ya. Jalan bantuan Jepang itu, untuk sekedar urusan perawatan kerusakan saja, tak lain tak bukan lagi-lagi anggukan setuju dan alokasi dari *uhukkk* Jakarta. Belum turun. Belum mengucur. Hampir selalu begitu. Belum lagi sunatan ini dan itu.
*Note: AKTJ, yang disebut Jalan Nasional, Jalan Negara di lintasan Aceh-Sumatra Utara, adalah jalan bantuan Jerman yang dibangun awal 1980-an. Tak ada “rupiah” yang bisa kami, WNI sini, banggakan pernah singgah menjadi hibah dalam puluhan kilometer aspal bertuah 😐 *
[sarkastis mode On]
Tidakkah ini memalukan? Jalan nasional dibantu negara asing, tapi perawatannya? Ironis kalau melihat pemerintah rajin pasang baliho dan spanduk saat Pemilu dan Pilpres di pinggir jalan bantuan, ditambah pamflet “Warga Bijak Taat Pajak”. Ya ya ya… pajak. Heh. That’s how we’ve built our “beautiful city”. Ask Nadine Chandrawinata 😆
[sarkastis mode Off]
Tentu ini bukan melulu kesalahan pusat. Namun “duit bicara”, bro. Seminimal apapun janji pilkada, anggaran di daerah sering sekali macam peti brankas yang dikunci. Dan kuncinya… nun jauh menyeberang lautan sana. Otonomi? Yaa.. yaa.. yaa.. 🙄
Kalau melihat daerahmu itu, pemimpin yang dibutuhkan memang yang punya cukup nyali dan cukup nyinyir utk menagih dana alokasi 😕
😆 Itu macam yang kutulis di atas
Jualan utama para incumbent memang nggak jauh dari “kemiskinan daerah” dan “keberhasilan selama saya bangun daerah”. Beberapa kandidat yang keok pra-pilkada Aceh juga begitu. Segera sesudah keok mereka minggat berbisnis dengan kekayaan yang ditimbun selama ini.
Chauvinisme memang isu obralan. Tidak ada yang terlalu salah dengan chauvinisme, bro, seperti kecurigaan bahwa itu berbau separatis. Oh, come on! Hampir semua daerah sepertinya sama sakit hati. Diakui atau tidak di negara ini. Kenapa tidak jadikan itu sebagai tamparan untuk pusat dan jeweran di kuping tiap anak daerah untuk peduli pada daerahnya?
Kupikir cukup adil untuk membagi porsi chauvinisme dan nasionalisme dalam diri sendiri. Kalau mau negara kuat dan bertahan, pedulilah pada daerah. Kalau memang Aku Cinta Indonesia, maka cintailah tiap sudut daerah-daerah di negara ini. Atau bingkai NKRI akan makin retak. Tak ada guna menekankan “Pokoknya NKRI. Hidup atau mati.”. Statemen macam apa itu? Pondasi negara ini berada di tiap jengkal kesetiaan dari Sabang sampai Merauke, bukan di bawah Tugu Monas! 😡
Namun tentunya jangan biarkan chauvinisme itu cuma jadi kecap manis saat pemilihan, lalu dilupakan oleh mereka yang haus kekuasaan. Chauvinisme itu seperti agama: maknyuss jadi jualan untuk memperkaya jabatan 🙁
. . . .
Ka…kata yang dic…dicoret itu… 🙄
Anu Pak Presiden Atjeh, kalau nanti Kalimantan sudah terpisah dari negara terkutuk bernama Indonesia, apakah anda selaku presiden negara baru mau menjalin hubungan diplomatik dengan kami?
Tiada guna mempertahankan Indonesia, ujung ujungnya hanyalah membuat yang kaya makin kaya. Semakmur makmurnya orang lokal, tetap saja yang di Indonesia sana makmur….
Bukan pondasi, melainkan Sumatra, Sulawesi, dan Papua adalah pulau pulau yang memberi makan Indonesia, alias pulau Jawa sana. Lihat juga ini bung
Hm… begitulah kata mereka soal nasib jembatan, ia menghubungkan dua jalan yang terputus, begitu bergunanya jembatan, tapi bukan terima kasih dalam bentuk perawatan yang baik yang ia terima, ia diinjak-injak tanpa perawatan.
Dan pejabat saling lempar tanggung jawab, bukankah begitulah kebanyakan pejabat dari tanah ini, mereka tak tahu santun dalam berterima kasih.
Lanjutkan! 😆
itu jembatan di kabupaten banjar ya med ? *polos*
@ Alex
Jalan sini juga Bantuan Korea lho, Lex… No wonder kalo mereka juga mendirikan BLK, kirim-kirim tenaga kerja ke sana, kerjasama dengan universitas negeri, dan tentunya jadi salah satu pengimpor teraktif batubara…
Chauvinisme? Chauvinisme itu nikmat. Membakar tanpa yang dibakar merasakan, karena sentimen kesukuan dan kedaerahan masih demikian kental di sini (juga di sana kan?). Tak peduli meskipun putra daerah sekalipun, kalau salah didik tetap saja jadi manusia tak tahu budi yang justru ikut menghancurkan bumi tempatnya lahir dan mencari makan…
Dan sistem pendidikan itu, kurikulum itu, siapa yang buat sih? *melirik ke pulau padat di selatan*
Akhirnya semuanya memang cuma perkara kepentingan. Kala chauvinisme dianggap penting untuk meraup suara, ia diberdayakan. Kala chauvinisme justru dianggap penting untuk membuka kesadaran demi keadilan seluruh rakyat, namun tak menguntungkan segelintir pihak, ia diberi label “separatis”…
Dan soal saudara (senasib)mu yang satu itu, Lex, ada info menarik nih… tapi seminggu lagi lah kau tunggu saja beritanya… 😈
@ Farid
GKM mulu…
@ Peyek
Terima sih terima saja Pak, kalo soal ngasih, nanti kita anggarkan dulu…
@ Ribby
Apanya yang dilanjutkan? Pengrusakan jembatan??
@ Warm
Hussss…
tepatnya Sungai Tabuk…Coba saja kalau pejabat Jakarta lewat sini, dijamin mulus semulus2nya.