Tahun Kehilangan

2010, buat saya pribadi adalah tahun kehilangan. Di tahun ini, saya kehilangan banyak hal, dalam konotasi positif maupun negatif. Sebagian terlewat begitu saja, sebagian tercatat sedikit lewat kilasan status di FB, Twitter dan Plurk, sebagian kecil tertuang di sini, sementara beberapa tergores begitu dalam di memori.

Ah, kehilangan sendiri sepertinya berkonotasi yang condong ke arah negatif, ya? Kehilangan banyak hal, toh saya sebenarnya beroleh lebih banyak lagi keberlimpahan, kan? Benar, tapitapitapiβ„’, layaknya manusia yang tak pernah puas, keberlimpahan akan dianggap suatu hal yang lumrah, biasa, dan tidak istimewa. Sebaliknya, yang hilang akan selalu disesali, diingat-ingat tiap waktu. Dan karena kehilangan ini kadung dianggap sesuatu yang extraordinaire, saya putuskan saja mencatatnya, biar saya bisa menakar seberapa besar rasa takbersyukur yang saya punya.

1. Orang Tua
Awal bulan lalu bapak mertua saya berpulang. Sosok yang tak banyak bicara itu telah tiada. Penyakit yang beberapa tahun ini diidap, pelan-pelan menggerogoti kesehatan beliau. Saya tak ada di sana, masih di seberang pulau, ketika beliau menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya. Dan benar apa yang dibilang Mitch Albom di novelnya “For One More Day”, bahwa ketika seseorang telah pergi, maka kita baru menyadari betapa berharganya saat-saat bersamanya, yang takkan mungkin tergantikan lagi meski hanya satu hari.

2. Waktu bersama Dira
Tahun ini Nadira (secara resmi) masuk TK. Ia telah bisa menulis beberapa kata, terutama namanya sendiri, mulai belajar berbagai macam hal, dan semakin aktif bertanya. Dan saya kehilangan begitu banyak waktu berharga bersamanya di usia emas perkembangannya. Jarak dan waktu yang memisahkan kami menghilangkan kesempatan saya ikut serta dalam membimbingnya. Bahkan pekan ini, saat Nadira memperoleh buku rapor pertamanya, saya tak bisa menyaksikannya…
Saya akan selalu merindukan saat-saat menjelaskan fungsi mata, isi otak, cara pembuatan kertas, dan bermacam pertanyaan yang dilontarkannya. Saya rindu saat kami menghadapi setumpuk buku, bermain puzzle, menonton “Up”, dan lari pagi bersama di lapangan Murdjani.
Gadis kecil ini, yang bermata besar, yang punya senyum dan ketawa ‘palsu’, yang begitu memperhatikan penampilannya *bandingkan dengan ayahnya!*, yang gemar membuat senandung dan lirik sendiri, yang sekarang tengah berkembang menjadi pribadi yang makin mandiri.
Gadis kecil ini, yang pandai mengambil hati orang-orang yang ia sukai, yang kadang begitu keras kemauannya, dan kalau sudah marah *apalagi sama O’om-nya* berprinsip ‘pokoknya’, yang kadang kelewat ‘tua’ kalau sudah melontarkan pernyataan.
Ya, saya akan selalu merindukannya, juga saat-saat bersamanya. πŸ˜₯

3. Mood Menulis
Ah, alesan lagi. Saya masih rajin menulis sih, sebenarnya. Hanya saja, yang saya kerjakan sekarang lebih banyak tugas-tugas kuliah, ho ho ho. Semester awal dengan setumpuk buku dan makalah, mau tak mau menyita perhatian saya. Toh, orang se-prolific Pak Urip pun, seingat saya dulu waktu kuliah, juga sempat membengkalaikan blog beliau, hohoho… *pembenaran! apologi!* Dan toh, lagian, saya kan dari dulu juga memang tidak produktif-produktif amat, seleb bukan, tulisan ga jelas, jadi ga ada beban, hohoho…

4. Kesempatan jadi Juara
Kalau ini, yang kehilangan bukan saya sih, tepatnya, melainkan Timnas sepakbola Indonesia. Memenangi enam dari tujuh pertandingan, tetap tidak mengubah fakta kalau garuda hanya menjadi juara dua. Dalam hal ini, saya sepenuhnya menyalahkan para pemain yang kalah 3-0 di kandang Malaysia. Ya, mereka pemain itulah yang patut disalahkan!!! Orang seharusnya latihan, mereka malah asyik-asyik sowan ke rumah petinggi partai; orang seharusnya latihan, mereka malah sibuk istigozah di pesantren dengan spanduk apaitubunyinya; orang seharusnya latihan, mereka malah terus-terusan diwawancara; orang menuruti perintah dan strategi pelatih, mereka malah mengikuti instruksi dari alien.. Jadi, kalaupun Indonesia kembali kalah, merekalah yang harus meminta maaf kepada seluruh bangsa, BUKAN KETUA UMUMNYA!

5. Respek terhadap jiran
Ini sebenarnya masalah pribadi, tapi sedikit saya curcol, punya tetangga dengan sikap yang luar biasa menjengkelkan itu, ternyata lama-lama bikin eneg juga. Dan tahun ini, setelah semua yang telah terjadi, saya merasa tidak ada harapan lagi untuk menyisakan respek bagi tetangga macam begitu. Akan tetapi masih tersisa sedikit harapan, semoga suatu saat manusia pendengki semacam itu bisa disadarkan, entah dengan cara apa.

Ah, cukuplah lima saja, terlalu banyak kalau semua harus dibeberkan di sini. Yang jelas, kehilangan-kehilangan di atas, seberat apapun, pastilah mengandung hikmah di dalamnya. Semoga saya masih bisa belajar dari sana, seperti kata Dewa “manusia bisa terluka, manusia pasti menangis, dan manusia pun bisa mengambil hikmah”…

8 thoughts on “Tahun Kehilangan”

  1. Selamat tahun baru band Amed! πŸ˜€
    anyway,
    1. Turut berduka cita sedalam-dalamnya, bang. Semoga beliau diterima istirahat dengan tenang dan seluruh amalnya diterima di sisi Tuhan. Jujur, saya juga paling takut dengan yang namanya kematian, terutama kematian orang-orang terdekat. Karena sekalipun saya belum pernah mengalaminya, walaupun saya tahu saya pasti akan move on, namun saya tidak tahu bagaimana rasanya di detik saya kehilangan. Sampai saya merasakannya sendiri, saya rasa saya tetaplah manusia yang lemah πŸ™
    2. Saya membayangkan kalau beberapa tahun kemudian Nadira membaca tulisan bang Amed ini, pasti haru dan bangga bukan main πŸ™‚
    3. Mood menulis itu bukannya sifatnya kaya jelangkung ya? πŸ˜›
    4. Haduh, yang ini udah rame di twitter dan sejujurnya saya terlalu ngikutin jadi no komen deh πŸ˜›
    5. Saya mau balik ke Malaysia loh besok. *gak penting* xD

    Reply
  2. turut berduka atas semua list kehilangan di atas,
    tapi.
    sebentar lg kan wisuda, med
    jadi semoga rasa kehilangan itu terbayar di tahun mendatang.
    *hidup amed*

    Reply
  3. 2010 juga tahun kehilangan bagi saya. sekaligus menjadi tahun mendapatkan-sesuatu-kembali karena pertama kalinya dalam 3 tahun saya mudik.

    selamat 1 januari. lekas lulus, bang! πŸ˜€

    Reply
  4. @ Grace
    Thanks Grace,

    1. Kehilangan orang-orang tercinta, buat saya, mungkin adalah cara kehidupan menyiapkan mental dan menguatkan pribadi kita. Karena hingga sekarang pun, saya masih belum sepenuhnya siap untuk itu.
    2. Hehe, dia memang cenderung rada jadi “daddy’s girl”, sehingga agak berat ketika pertama kami berpisah dan dia menangis sejadi-jadinya.. tapi ketika saya berangkat untuk kedua kalinya dan ia tidak menangis, melainkan bersenandung sekuat-kuatnya, saya baru menyadari kalau ia pun telah sanggup belajar menjadi lebih kuat menghadapi perpisahan..
    3. Dijemput kok ndak dateng-dateng, maksudnya? πŸ˜›
    4. Anu, bola itu cuma tren sesaat kok… :mrgreen:
    5. Anu lagi, bukan soal negara jiran kok… *gakpenting*

    @ warm
    Wi.. wisuda??? Baru semester satu saya ini OOOOM!!! Mbok kata keramat itu jangan dilontarkan sekarang…

    @ Gunawanrudy
    HOH? Tiga tahun baru mudik? Heibat! Etapi masih bisa bahasa setempat lah?
    Yah, lekas lulus juga buatmu πŸ˜€

    Reply

Leave a Comment