Titipan

Kalau berdosa dengan Tuhan, nanti gampang aja minta ampun; kalau berdosa dengan anak, seumur hidup kita akan merasa bersalah.

Pernyataan di atas dilontarkan salah seorang dosen saya ketika menyindir maraknya berbagai praktik ‘titip-titipan’ dalam seleksi CPNS. Pernyataan yang amat pragmatis, memang, bahkan sudah terkesan melecehkan nilai-nilai keilahian, namun demikianlah™ sebagian fakta di lapangan berbicara.

Saya jadi ingat sekitar tiga tahun lalu ketika pengumuman hasil seleksi CPNS. Ibu mertua menelepon adik beliau di pulau Jawa, mengabarkan kalau saya lulus. Sontak suara di seberang bertanya: “Bayar berapa?”, yang langsung beliau sahut dengan bangga “Tidak sepeser pun!”.

Pengalaman lebih ‘ekstrim’ didapat adik saya ketika lulus CPNS di salah satu instansi vertikal. Hingga hari terakhir pengumuman, dia tidak diinfo sama sekali kalau lulus (padahal janjinya mereka yang lulus akan dikirimi surat pemberitahuan). Ketika ada temannya yang mengabari, ia langsung mendatangi tempat pengumuman, dan segera saja esoknya harus mengurus langsung berkasnya DI JAKARTA! Dari selentingan rumor yang beredar, katanya SK-SK semacam punya adik saya ini, kalau sampai tidak diurus dan diambilnya, sudah ada yang siap “menampung”, entah benar atau tidaknya…

Sementara itu di tempat terpisah, seorang rekan sesama guru juga pernah bercerita soal ibu-ibu tetangganya yang bilang berani bayar sekian juta agar anaknya bisa lolos seleksi. Ketika ditanya kenapa si ibu mau menempuh cara tidak sah semacam itu, beliau beralasan *sama persis seperti kata dosen di atas*, kalau ia tidak tega membiarkan anaknya menganggur, sehingga dengan jalan ‘titipan’ tersebut, beliau terbebas dari beban menyediakan pekerjaan yang layak bagi anaknya.

Tiga cerita di atas hanya sebagian kecil dari realita yang mungkin ada di masyarakat kita. Kisah-kisah senada akan makin marak beredar dari mulut ke mulut ketika musim tes CPNS tiba. Fenomena itu bernama titipan…

Titipan umumnya terbagi dua. Yang pertama, pejabat publik yang memanfaatkan kekuasaannya untuk menitipkan anak, sanak famili atau kerabatnya agar dapat diterima di instansi tertentu. Titipan jenis kedua, seperti ibu di atas, menggunakan uang sebagai alat ‘mempermulus’ langkah anak/sanak/kerabatnya dalam menggapai tujuan. Uang dan kekuasaan, dua alat untuk memenuhi keinginan…

Jadi tak usah dulu bicara kualitas atau kompetensi PNS selama cara-cara penerimaannya juga masih sarat telikungan semacam ini. Jangan mimpi kinerja dan prestasi PNS akan terdongkrak jika iklim kerja di instansi tersebut akhirnya terpaksa mendapat efek afektif yang tidak sehat begitu.

Akan tetapi, susahnya memang, perkara titipan ini seperti hantu, banyak orang yang membicarakan, namun sedikit sekali yang melihat langsung. Ya mana ada sih maling ngaku?? Mungkin hampir tidak ada yang akan terang-terangan mengakui kalau posisi yang ditempatinya adalah hasil kongkalikong di belakang. Yang jelas saya jadi PNS, mapan, masa depan terjamin, prestise tinggi, dan bisa korupsi. Gampang toh? Dan akhirnya masalah ini hanya jadi bahan gosip di warung kopi, hanya jadi obrolan di ruang tamu, hanya jadi wacana tanpa solusi.

Dan perlu diingat pula, praktik seperti ini tidak hanya terjadi di tatanan birokrasi semacam PNS atau TNI/Polri loh! Perusahaan swasta juga kerap melakukannya, dalam intensitas yang mungkin justru lebih tinggi! *karena penerimaan pegawai di sektor swasta justru lebih banyak dan sering ketimbang seleksi CPNS* Ceritanya pun sama saja, anak bos anu dijadikan manajer di bagian anu, ponakan pak itu, ditaruh di posisi basah di departemen itu, dan sebagainya.

Akan tetapi, efek yang lebih parah memang akan menimpa birokrasi. Di sektor swasta, masih ada kompetisi terkait ‘salary’ yang membuat kinerja karyawan secara umum masih terjaga. Kalaupun ada riak-riak kecil, dengan manusia-manusia ‘tertitip’ menjadi sumber masalah, karyawan lain masih berpikir dua kali untuk menurunkan kinerja. Sementara PNS? Halah, pinter bego, rajin malas, gaji sama ‘kok! Untuk apa saya rajin-rajin kerja, pontang-panting sana sini, sementara si karyawan baru anak pak nganu bisa leyeh-leyeh seenaknya di kantor, padahal duluan saya masuk? Bahkan singkatnya, ada yang mengatakan kinerja PNS tinggal 30% akibat masalah titipan semacam ini. Ditambah dengan sistem evaluasi dan sanksi yang tidak tegas, masalah ini terus saja berlarut-larut ke mana arus sungai membawanya.

Padahal saya pikir, pertanggungjawabannya lumayan berat, loh. Kalau karyawan swasta gajinya dari profit perusahaan, birokrat itu gajihnya dari pembayar pajak. Siapa pembayar pajak itu? Ya segenap warga Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini! Dan siapa pengemplang pajak itu? Tau sendiri lah jawabannya…. Waduh, jadi ngeri juga kalau membayangkan, dibayar oleh rakyat, bertanggung jawab kepada rakyat, namun mendapatkannya dengan cara yang tidak jujur, menjalankannya dengan tidak amanah, menyingkirkan orang lain yang mungkin lebih berhak, kompeten, dan cakap di posisinya, dan BANGGA dengan posisi tersebut. Semoga saya terhindar dari hal-hal sedemikian… #bimbo

Britain has invented a new missile. It’s called the civil servant – it doesn’t work and it can’t be fired.

(General Sir Walter Walker, 1981)

16 thoughts on “Titipan”

  1. Britain has invented a new missile. It’s called the civil servant – it doesn’t work and it can’t be fired.

    Why should be Britain? Apakah Britain adalah penemu PNS seperti yang lestari dan berkembang biak diseluruh negara terkutuk bernama republik indonesia ini??

    Kutipan yang bagus, saya jadi teringat perkataan “Tuhan”: Tenang, Aku meletakkan orang orang Idiot di Pemerintahan mereka…
    Ah sudahlah lupakan soal joke yang ini.:mrgreen:

    *******

    Bukankah Pegawai Negeri ini adalah warisan kompeni? Maksudnya negara yang mewarisi tradisi KKN dari VOC?

    Untuk CPNS Kota Banjarbaru beberapa tahun belakangan ini, taksiran harga adalah 20 Juta rupiah per kepala CPNS. Itu kalau tidak ada kenalan. Kalau ada punya koneksi, mungkin bisa 10 jutaan sahaja. Bahkan tidak menutup kemungkinan GRATIS!!! Cukup dengan sebut nama bokap, nyokap, paman, acil, tante, kakek, nenek, besan, mantu dan lain sehubungankeluarganya. Asal cukup berpengaruh, maka sudah cukup untuk “meloloskan” dari test.

    Dan akhirnya masalah ini hanya jadi bahan gosip di warung kopi, hanya jadi obrolan di ruang tamu, hanya jadi wacana tanpa solusi.

    Plus, jangan pernah membicarakannya dengan sesama Pegawai Negeri Sipil, meskipun itu rekan sekantor anda, mereka akan punya kebohongan “diplomasi” untuk menjawab dengan “bijak”, atau dengan segera memindahkan topik pembicaraan.
    *sumber: ngelanturdanmenghayaldotcom*

    Reply
  2. praktek2 spt ini sdh tradisi tampaknya. Seorang tetanggaku menjual rumahnya hanya demi lulus PNS dan ternyata dia tidak lulus atau seperti bapak2 di kotaku yg menjual 3 are tanahnya seharga 200jt agar anknya lulus PNS, padahal hrga tanah itu 600jt dan lagi2 si anak tidak lulus. Tak heran saat aq lulus tes CPNS langsung ditodong dgn pertanyaan ‘kena berapa?’ padahal tak sepeser pun, kecuali kl ongkos cetak foto, beli materai, dan tes kesehatan dihitung.
    Begitu hebatkah jadi PNS? Pdhl kl dipikir2 tanpa jd PNS pun org jg bs sukses.
    PNS2 titipan ini pd akhirnya cm jd tikus2 yg ngrogoti uang negara *inget perampok di kantor yg nilep 15jt dlm wktu seminggu*
    tapi, gimana ya cara ngatasi PNS2 titipan ini? (thinking)

    Reply
  3. Eh .. anu, mungkin kalau tidak ada istilah “titipan” itu penerimaan pegawai jadi tidak rame, gimana ya kira-kira kalau pns itu dibayar berdasarkan kinerja, kalau kinerjanya jelek gajinya tidak boleh full, kalau kinerjanya bagus tentunya harus dapat bonus …
    Jadi keliatan yang mana pegawai betulan, mana pegawai titipan .. he he

    Reply
  4. @ Fortynine

    Why should be Britain? Apakah Britain adalah penemu PNS seperti yang lestari dan berkembang biak diseluruh negara terkutuk bernama republik indonesia ini??

    Bukan, Britain mungkin hanya telah secara sinis mengidentifikasi keistimewaannya. PNS katanya sudah ada sejak zaman Moses loh..

    You and these people who come to you will only wear yourselves out. The work is too heavy for you; you cannot handle it alone. Listen now to me and I will give you some advice, and may God be with you.

    … select capable men from all the people – men who fear God, trustworthy men who hate dishonest gain – and appoint them as officials over thousands, hundreds, fifties and tens. Have them serve as judges for the people at all times, but have them bring every difficult case to you; the simple cases they can decide for themselves.

    That will make your load lighter, because they will share it with you.

    – Exodus (18-23)

    Untuk CPNS Kota Banjarbaru beberapa tahun belakangan ini, taksiran harga adalah 20 Juta rupiah per kepala CPNS. dst..

    Buktinya mana? Ada kwitansi? Ada surat perjanjian? Bisa anda tunjukkan? Atau anda, lagi-lagi, hanya membicarakan ‘hantu’ ? :mrgreen:

    jangan pernah membicarakannya dengan sesama Pegawai Negeri Sipil

    Saya justru cukup sering membicarakan hal ini dengan sesama PNS, kok. Memang, rata-rata yang bukan titipan, sehingga lebih ke ‘sharing’ rasa dengki, namun kata seorang teman, kalo kita tahu seseorang masuk lewat jalur titipan, cuek aja ngomongin soal fenomena titipan tersebut, perkara tersindir atau apa, itu urusan dia. Toh posisi kita sebagai PNS tetap aman aja toh? Mosok cuman gara-gara menggosip trus dituding indisipliner dan dipecat dari korps pegawai negeri?

    Kecuali kalau itu orang benar-benar ‘kuat’ backing di belakangnya…

    @Rukia
    Du.. dua ratus juta? :shocked:
    200 juta untuk pekerjaan yang cuma digajih dua juta sebulan itu kok ya sepertinya irasional ya? Gagal pula? Waduh…

    Begitu hebatkah jadi PNS? Pdhl kl dipikir2 tanpa jd PNS pun org jg bs sukses.

    Umm, ini bukan masalah sukses ndak sukses, PNS itu aman, PNS itu nyaman, PNS itu mapan… *eh, berima!*

    tapi, gimana ya cara ngatasi PNS2 titipan ini? (thinking)

    Ini juga yang saya masih ndak bisa jawab…

    @Nia
    Aduh, masalah rame-tidak rame, ini penerimaan PNS kan bukan pertandingan piala AFF atau sinetron Kemilau Cinta Kamila? Bukan rame-nya yang harus ditunggu melainkan perbaikan kinerja kan?

    gimana ya kira-kira kalau pns itu dibayar berdasarkan kinerja, kalau kinerjanya jelek gajinya tidak boleh full, kalau kinerjanya bagus tentunya harus dapat bonus …

    Yang begini, untuk di BUMN sepertinya cocok diterapkan. Masalahnya kalau di instansi pemerintahan rada susah. Bukan apa-apa, soalnya kadang di kantor tu TIDAK ADA YANG DIKERJAKAN.. jadi gimana menilainya? 😆

    @Setanmipaselatan
    Tulis Joe! Seperti kemarin kau nulis soal Kominfo ituh…

    Reply
  5. he … rada susah sih untuk sekarang, tapi kelak bisa dong diterapkan hal semacam itu? Anu bang, kenapa ya banyak yang suka nyari kerjaan yang “kadang di kantor itu TIDAK ADA YANG DIKERJAKAN.”

    Saya jadi binun, apa enaknya berangkat ke kantor, trus sesampainya di kantor cuma santai-santai saja alias tidak ada yang dikerjakan. Rutin setiap hari sampai masa pensiun, hedehhhhh … daripada berangkat ke kantor tapi kadang gak ada yang dikerjakan mending di rumah saja, toh gajinya tetap dibayar bukan?

    Tapi, ada jenis pekerjaan pns itu yang masih bisa dilihat kinerjanya bang … semisalnya tenaga pendidik. Mudah-mudahan saja tenaga pendidik itu tetap punya tanggung jawab terhadap kecerdasan rakyat, karena gaji mereka juga berasal dari uang rakyat.

    Reply
  6. ah ya inget tes di salah satu departemen, eh Bank..
    sampe terakhir tes cuma tinggal bertiga, interview terakhir. Saya ditanya, punya sodara ngga di sini. Saya yang waktu itu baru lulus kuliah dengan polos menjawab “tidak”.

    Hasilnya bisa ditebak lah.. saya tidak lolos. Waktu itu rasanya ga masalah, mikirnya belum rejeki.

    Beberapa minggu kemudian, ketemu kakak tingkat yang sudah duluan kerja di situ. Kok ya ndilalah dia nanya “kamu kemaren di tes bareng si itu ya? Ga lolos?”. Saya bengong mengangguk-angguk doang. Ngga lama si kakak tingkat berkata lagi “ya wajar sih ga lolos, saingan mu keponakannya Gubernur sih”.

    Dan saya cuma bisa berkata “asyem” dalam hati.

    Ya ngga apa-apa sih, mangkel aja. Tau dia keponakannya Gubernur Bank itu ya saya ga bela-belain bangun pagi demi tes terakhir 😆

    *eh, Bank yang pake gubernur kan cuma satu ya?*
    :mrgreen:

    Reply
  7. Buktinya mana? Ada kwitansi? Ada surat perjanjian? Bisa anda tunjukkan? Atau anda, lagi-lagi, hanya membicarakan ‘hantu’ ? :mrgreen:

    Bisa saya buktikan! Hanya…………..pertanyaan selanjutnya adalah;
    1. Apa yang lantas akan terjadi pada diri saya pribadi di dunia nyata
    2. Mau kerja di mana lagi di seluruh Indonesia setelah itu?
    3. Apa setelah saya berhasil membuktikan, lantas saya dan kerabat kenalan saya masih hidup? Bahkan kalau masih hidup pun, masih bisa kerja? Masih bisa bersosialisasi?
    4. Apa setelah saya buktikan, Presiden sekalipun bersedia memberikan perlindungan hukum pada rakjatnya?

    Ah sudahlah, nanti blog ini dibredel….
    :mrgreen:

    Reply
  8. @ Nia
    Bagi sebagian orang ini sepertinya memang membingungkan dan absurd, tapi bagi sebagian lagi, INI SURGA, hohoho.. 😈

    Dan mengharapkan tenaga kependidikan berlaku lebih profesional itu juga agak sulit, mengingat profesi guru sendiri diletakkan di posisi terbawah rantai makanan..

    @ Takodok!
    Eh, eh, siapa setannya? Dan kenapa takut kualat?

    @ Chic
    Sering sekali saya mendengar mereka yang bercerita soal gagal diterima, hanya karena ‘salah’ menjawab pertanyaan ‘sakti’ di atas. Tak heran, kalau akhirnya negeri ini dikuasai para mafia… *muter OST The Godfather*

    *eh, Bank yang pake gubernur kan cuma satu ya?*

    Bank yang mana ya itu??? *purapuralupa* :mrgreen:

    @ Fortynine
    Jadi intinya ada rasa ‘takut’ dan ‘khawatir’, ya? 😈

    @ Midcool
    Saya juga tidak niat jadi PNS. Tapi saya pengen jadi guru, dan untuk itu sekaligus saya terpaksa jadi PNS, hohoho.

    Reply
  9. Bukan. Tapi, apa gunanya menjadi benar, ketika tindakan yang kita lakukan ternyata tidak benar dihadapan makhluk lain. Apa gunanya jadi pahlawan, ketika orang orang disekitar kita justru menjadi korban.

    Think you always know what I mean…

    Reply
  10. soal ginian ya
    saya ga ngerti
    sungguh, soalnya asli tak pernah menemukan bukti
    walaupun malah pernah bergelut langsung saat seleksi berlangsung
    dan nyatanya semua berlangsung dengan baik2 saja, tuh

    dan ini soal fakta yang dilihat dan dialami sendiri,
    jauh dari pembelaan diri atau apalah
    demikian
    :mrgreen:

    Reply
  11. @ Fortynine
    Karena seperti pernah saya bilang dulu: Bahwa hal yang paling mencabik idealisme, terkadang bernama realita… 😆

    @ Warm
    Demikianlah “hantu” itu adanya Om..
    :mrgreen:

    Reply
  12. ups, lagi lagi soal ini. KKN masih meraja di bumi Indonesia ini. Alhamdulillah saya lolos pns tanpa sepeser, tanpa pendekatan ke penguasa. dan karenanya saya bisa masuk kantor dengan tidak menunduk malu

    Reply
  13. ga titip ga rame…ga asik lagi…itu mungkin slogan bagi mereka…padahal apa enaknya seh jadi titipan???saya saja merasa terusik ketika di kantor saya ada hal spt itu??
    lam kenal 🙂

    Reply

Leave a Reply to hamida Cancel reply