Rumah Ulin Dan Rumah Debu

Setelah hampir tiga pekan berlibur di Banua, sekarang saya telah tiba di Jogja untuk kembali menuntut ilmu demi mencerdaskan kehidupan bangsa seperti diamanatkan oleh undang-undang *halah*… Tidak banyak yang sempat saya lakukan di Kalimantan, selain karena kesehatan sempat drop, juga karena ada beberapa kesibukan yang menyita waktu. Salah satunya, seperti yang sempat saya ceritakan di posting sebelumnya, membantu orang tua pindahan rumah.

Berhubung hari pindahan (6 Februari) bertepatan dengan rencana merayakan ultah KKB, saya dengan terpaksa tidak bisa ikut ke Mandiangin. Maka sebagai gantinya, saya paksakan diri mengikuti acara bincang-bincang Bedah Novel Bang Sandi Firly, “Rumah Debu” esok malamnya (7 Februari). Dijemput Om Yul, kami menembus hujan lebat malam itu demi mendapat novel, cemilan dan nasgor gratisan, hohoho.. Acara berlangsung hangat dan seru, khas para pegiat sastra. Saya sendiri berhubung belum baca novelnya, tidak berani urun komentar.

Dan entah kebetulan atau apa, beberapa waktu ini saya kok banyak dapat cerita tentang “rumah”. Selain rumah terapung, pindah rumah, dan Rumah Debu, ada lagi kisah soal “rumah ulin”. Rumah ulin ini adalah sebuah rumah yang disewa orang tua saya untuk waktu 1-2 bulan ke depan, sebagai tempat tinggal sementara berhubung rumah baru belum rampung. Letaknya dekat calon rumah baru, hanya dipisahkan sepetak tanah, dan sudah dialiri listrik juga air. Rumah ini hampir seluruh bangunannya dibuat dari kayu ulin. Dari tiang (seperti lazimnya rumah di Banjarmasin yang terbuat dari kayu ulin), hingga ke dinding luar, lantai, pintu, dan jendelanya, semua dibangun dari kayu ulin. Hanya atap jenis zincalume dan dinding dalam serta plafon calciboard yang mungkin sudah bernuansa ‘modern’. Saya pun tak urung bertanya-tanya, ini yang punya rumah siapa ya?

Salah seorang tetangga yang ikut membantu pindahan, kemudian menceritakan tentang si empunya rumah. Ia bercerita kalau si pemilik rumah ini adalah orang yang benar-benar mengamalkan pepatah “hemat pangkal kaya”. Beliau seorang pekerja keras yang bahkan membangun rumahnya itu sendiri, tanpa dibantu tukang! Pekerjaannya ‘hanya’ seorang buruh angkut, dengan sebuah gerobak sebagai penopang hidup. Setiap hari beliau menerima orderan memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain, misalnya saat ada orang yang pindahan atau ingin menjual lemari atau mebel lainnya. Dari hasil kerjanya, beliau mampu menabung membeli tanah, menumpuk kayu, untuk kemudian membangun sendiri rumahnya. Dan tak hanya satu, di sebelah rumah itu, beliau juga membangunkan rumah untuk adiknya! Luar biasa benar, bahkan sulit dipercaya kalau kita hanya mengandalkan hitung-hitungan matematika…

Akan tetapi, saya kemudian tersadar, mungkin inilah rahasia kehidupan: bahwa setiap orang punya hak yang sama untuk sukses dan berhasil, dan bahwa kesuksesan setiap orang itu punya tarafnya masing-masing yang tak bisa diukur semudah mencatat skor bola. Bapak ini mengajarkan kepada saya, bahwa di luar sana masih ada banyak sekali orang-orang yang bekerja keras dan sungguh-sungguh, dan meraih sukses sebagai buah dari kesungguhannya, sebagai buah dari keteguhannya.

Rumah ulin yang memang nampak agak ‘kasar’ itu, betapapun kecil dan sederhana, adalah masterpiece empunya. Meski tak semewah rumah Gayus, misalnya, rumah itu seakan menitipkan pesan, bahwa tidak semua rumah harus dibangun semegah mungkin dari uang berlumpur hasil kemplangan pajak. Tidak semua rumah harus jadi panas akibat dibangun dari uang hasil korupsi anggaran. Masih ada rumah-rumah yang sederhana, seadanya, namun di tiang dan dindingnya tergores memori keringat, doa, dan cita-cita pemiliknya.

Sungguh, kekaguman dan keterpesonaan ini membuat saya merasa kecil, dan naif…

6 thoughts on “Rumah Ulin Dan Rumah Debu”

  1. Anu bang … kalau dulu semasa kecil di kampung, rumah ulin itu termasuk rumah mewah karena kayu ulinnya itu mahal, dan bagi penghuninya rumah ulin itu sejuk dan hawanya dingin, ademmmm … he he

    Reply
    • Apalagi sekarang kan, ketika kayu ulin semakin langka? (katanya, padahal toh masih banyak aja yang memakai, walau harganya makin lama makin mahal…)

      Reply
  2. …selalu, tulisanmu menarik, Med (bahkan lebih baik dari beberapa tulisan para penulis di surat kabar ) — ini sesungguhnya, dan tak ada hubungannya dengan rencana kau ingin membuat resensi novel Rumah Debu.
    Salam.

    Reply
  3. @Sandi Firly
    Haha, sori telat respon banget, Bang.. Lama ndak login ke wordpress ini, beberapa hari ini sibuknya poll… Selama semester ini juga kuliah padat banget, jadi terbengkalai-lah janji-janji ingin menulis ini itu.. semoga ada kesempatan untuk menyalurkan lagi hobi nulis ini…

    Reply

Leave a Comment