Balada Argumentasi Sinetron Yang Tertukar-Tukar

Oke, akhirnya saya terpancing juga untuk ikut-ikutan bicara topik mainstream (lagi)!! *Ini semua gara-gara kalian: Mas Joe, Mas ArEsensi, Pak Guru, dan Mas ArGentole! 👿 *

(Sebelum mbaca, mohon ikutan polling dulu yaaa… 😉 )


Pertama-tama, izinkan saya mengingatkan Anda semua pada satu janji yang pernah dilontarkan Menkominfo Sofyan Djalil medio 2007 lalu (sebelum beliau kena reshuffle); bahwa beliau akan menindak tegas sinetron yang banyak mengumbar kebencian dan sejenisnya. Janji tinggal janji. Empat tahun berselang, dua menteri telah bergantian memegang tampuk, sinetron toh masih merajai rating televisi kita. Ketika internet *katanya* sudah diblokir dari situs p0rn0, dan Blackberry sudah diultimatum ini itu, sinetron ternyata masih tetap belum tersentuh…

Tentu, keluhan akan buruknya kualitas sinetron tak pelak mengemuka. Harusnya sih tidak masalah; Death of The Author kalau kata filsuf mah, sudah berani bikin karya, ya siap-siaplah kalau ada yang mengkritisi. Dan kesempatan kali ini, yang jadi tumbal adalah Putri yang Ditukar (PyD). Keluhan yang paling umum dialamatkan pada sinetron ini, kalau boleh saya ringkaskan adalah:
– Jam tayangnya yang extraordinaire: 3 jam sehari, 7 hari seminggu, pada waktu utama!
– Alur yang tidak logis, bertele-tele, dipanjang-panjangin, atau kata Bang Haji: Terr Laa Luu!
– Akting yang standar, datar, dan seragam.
– Pembodohan, tidak mendidik, dan tidak mengemban amanat UUD 1945: Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.

Banyak yang membandingkan sinetron sekarang dengan sinetron zaman doeloe; Si Doel, Sengsara Membawa Nikmat, Siti Nurbaya, Jendela Rumah Kita, ACI, dan sebagainya. Romantisme masa lalu ini saya rasa kurang pas, mengingat kondisinya sekarang sudah berbeda. Sinetron dulu digarap serius karena hanya tayang sepekan sekali. Penulis skenario dan sutradaranya umumnya berpengalaman di bidang teater dan film, sehingga sinetron yang dihasilkan lumayan sekualitas lah dengan film. Selain itu, jumlah stasiun televisi juga masih bisa dihitung dengan jari.

Sekarang, oh, stasiun tivi ada belasan! Perebutan kue rating berlangsung gila-gilaan; demi mengejar profit tentulah. Mana ada yang mau bikin stasiun tivi kalau harus merugi? Demi rating dan iklan, mau tak mau berbagai kepentingan harus dijejalkan ke para sineas yang bertanggung jawab mengisi slot acara setiap harinya, apalagi kalau menyangkut prime time, rating tinggi adalah harga mati!

Jadilah, demi uang dan periuk nasi, para pekerja sinema harus merelakan perkara idealisme, kualitas, selera, dan bla-bla-bla lainnya makin dikesampingkan. Istilah “freedom of speech won’t feed my children” seperti ujar Manic Street Preachers benar-benar berlaku di sini. Terserah kalian mau bilang apa, demi profit, tayangan yang digemari mau tak mau harus dipertahankan, apapun konsekuensinya, termasuk memanjang-manjangkan episode hingga tiga digit…

Pemanjangan ini bukan tanpa resiko. Mau tak mau, sineas akan terjebak dalam melodrama, dan ujung-ujungnya ketika kejenuhan menyergap, tayangan pun akan ditinggalkan. Kejadian serupa pernah terjadi dengan Warkop DKI dulu; film-film awal mereka sangat berbobot, penuh sindiran terhadap rezim berkuasa dan kondisi sosial masyarakat, namun makin lama karya-karya mereka sesudahnya makin terjebak pada melodrama: slapstick dan paha. Si Doel Anak Sekolahan, jangan salah, juga bernasib sama. Si Doel 1-3 menurut saya masih sangat bagus, namun sesudahnya, ketika ceritanya harus dipanjang-panjangkan, lama-lama penonton juga bosan, dan kemudian beralih ke sinetron lain.

Jadi, Cinta Fitri atau PyD pun, saya pikir sebenarnya tinggal menunggu waktu saja, sampai ada tayangan lain yang kemudian mampu mengalihkan minat pemirsa. Masalahnya, sekarang solusi tontonan pada waktu yang bersamaan itu apa? Tivi berita kita juga toh sama menjemukannya; yang satu pokoknya menjelek-jelekkan pemerintah, yang satu lagi mempertahankan kepentingan bos besar dan partainya. Saluran lain? Uya Kuya keliling menghipnotis orang? Kenapa ga sekalian Gayus dan Cyrus saja yang dihipnotis biar ngaku? OVJ? Melihat Sule dan Azis dorong-dorongan menghancurkan properti yang tidak ramah lingkungan? Sketsa? Dengan joke-joke garing dan lebay mereka? Liga Super? Liga Primer? Wasit dikejar-kejar dan dikeroyok? Atau produk asing yang tidak nasionalis macam film Hollywood, drama Korea, EPL, La Liga, dan Fear Factor? Halah, selalu ada celah untuk meng-sinis-i setiap tayangan, bahkan untuk yang sekelas Kick Andy sekalipun…

Dan omong-omong soal tanggung jawab mencerdaskan ummat bangsa, kok ya saya teringat dengan pembahasan para narablog dulu, ketika membahas siapa yang paling berkepentingan memberikan kontribusi yang mencerahkan kepada masyarakat umum. Dulu, saya menangkap kesan ‘dorong-dorongan’, bahwa netter belum merasa mampu sepenuhnya untuk diberi mandat menjadi Sang Pencerah. Sekarang, kebalikannya, ketika sebagian netter menyuarakan uneg-uneg mereka (yang, hey, bukan kali pertama ini!), reaksinya justru terdengar semacam “Siape lo? Emang lo udah bikin apa?” di kuping saya. Dan sejujurnya, kesan inilah yang membuat saya merasa kurang sreg dengan tulisan Mas Frozensi dan Mas Ahgentole.

Bahwa di atas langit masih ada langit, bahwa ternyata ada stratifikasi selera, bahwa kebebasan memilih adalah hak semua bangsa, itu saya juga mau-tak-mau sependapat. Hanya saja, kita juga berhak memilih untuk tidak menutup mata dan telinga (apalagi sampai menutup hidung *lirik Om Warm*) bahwa 3/7™ dengan cerita absurd dan akting datar meskipun tak bisa dipungkiri kalau Nikita Willy itu memang jelita itu, anggaplah, sudah keterlaluan.

Sinetron itu ibarat fenomena mie instan, atau nasi putih, yang sempat diributkan Gunawan Rudy kapan lalu di Twitter… Akan tetap banyak yang mengonsumsi meski beberapa pihak mengklaimnya sebagai barang kwalitet™ rendah. Karena seperti sebuah kutipan di tulisan Bang Aip, “selalu ada pasar untuk apa saja”. Akan tetapi, ketika kemudian ada yang melontarkan kritik, apapun niatan di baliknya, kita yang sempat membacanya ini harusnya dapat mengambil hikmah. Masih baaanyaak orang-orang di luar sana yang tak terpapar sama sekali dengan kritik semacam ini, sedangpun di satu sisi, sinetron terus dipaparkan setiap hari, setiap malam, di tiap rumah, di tiap keluarga.

Dan kutipan-kutipan dari Alexander Thian, seorang penulis skenario sinetron dan FTV ini, buat saya sudah cukup sebagai penutup; semoga mewakili jeritan hati para sineas lainnya (saya potong-potong semena-mena dari sini):

Si produser bilang gini, “Kalian ini bikin sinetron! Bukan film!! Nggak perlu dialog-dialog yang ketinggian!! Pembantu mana ngerti! Yang saya butuhkan rating! Saya gak butuh dialog bagus! Gak perlu kata-kata bersayap! Gak perlu bahasa simbolis! Gak laku! Dialog yang kalian bikin saya gak ngerti!”

Salah satu nyeletuk, “Kenapa gak boleh kasih dialog bagus?” Jawabannya, “Soalnya yang nonton pembokat, pembantu, asisten RT, babu!! Dan emak-emak!! Mereka gak ngerti! Saya juga nggak!”

Demi kualitas. Apa?! Kualitas? Harusnya RATING begok!

Kita selalu diminta membuat cerita yang beda, tapi, ujung-ujungnya akan dibelokkan ke arah yang dimaui produsernya.

Terakhir, tokoh utama di sinteron yang kita garap adalah anak yang rebel dan nyebelin. Ujung-ujungnya? Tukang nangis lagi.

Padahal kalo dipikirin, sebagai produsen seharusnya produser yang membentuk trend, bukan mengikuti trend. Iya, nggak?

Kita, sebagai penulis, pengin banget-banget bikin skrip sekelas Friends, atau Modern Family. Apa daya, uang produser yang berbicara.

Selama rating masih bagus, maka sinetron itu akan terus diproduksi. Tapi kebanyakan orang akan langsung mencaci maki penulisnya. Kalo kita bikin cerita yang keren gila dan gak laku, siapa yang dimarahi? PENULIS!

TAPI, gue percaya kok. Suatu hari nanti akan ada sinetron yang bener-bener mengutamakan kualitas, tanpa memandang profit yang didapat.

50 thoughts on “Balada Argumentasi Sinetron Yang Tertukar-Tukar”

  1. Masalahnya, sekarang solusi tontonan pada waktu yang bersamaan itu apa? Tivi berita kita juga toh sama menjemukannya; yang satu pokoknya menjelek-jelekkan pemerintah, yang satu lagi mempertahankan kepentingan bos besar dan partainya. Saluran lain? Uya Kuya keliling menghipnotis orang? Kenapa ga sekalian Gayus dan Cyrus saja yang dihipnotis biar ngaku? OVJ?

    saya sudah menyerah dengan tipi lokal. tanpa bermaksud sombong, tipi berita itu? berat sebelah semua. sinetron? saya tak tahan dengan cerita yang dipanjang-panjangkan. uya kuya dan reality show? halah! rekayasa semua itu! OVJ? pertama-tama sih lucu, tapi lama-lama jadi capek dengan joke mereka yang slapstick. dan infotainment? alasan utama saya berhenti nonton tipi lokal adalah saya muak dengan infotainment yang beritanya superlebay.
    Karena saya minoritas yang tidak suka dengan semuanya, saya mengalah. berhenti nonton tipi lokal. mungkin kalo masterchef indonesia tayang saya bisa balik lagi nonton tipi lokal *curcol*

    Reply
  2. Pindah channel atau mematikan TV itu pilihan. Ada juga yg namanya hak ketika ada orang2 yg memilih utk menyuarakan komentar & kritik terhadap suatu hal, karena menganggap sikap pasrah tidak menyelesaikan masalah. Masalah? Nyatanya ada jg yg merasa sinetron ini jd masalah, setidaknya di beberapa keluarga yg cuma punya satu TV.

    Bila kemudian masih banyak pihak yg status quo & puas dgn kualitas sinetron yg sudah ada -semata2 krn keluarganya menyukainya-, ya tidak apa. Silakan menulis juga, syukur2 bisa berbagi cerita apa yg dilihatnya di sana. Ini bukan masalah pemaksaan selera 🙂

    Reply
  3. Saya sedikit klarifikasi bagian ini:

    Sekarang, kebalikannya, ketika sebagian netter menyuarakan uneg-uneg mereka (yang, hey, bukan kali pertama ini!), reaksinya justru terdengar semacam “Siape lo? Emang lo udah bikin apa?” di kuping saya. Dan sejujurnya, kesan inilah yang membuat saya merasa kurang sreg dengan tulisan Mas Frozensi […]

    Saya mengamati, terjadi distorsi atas statemen saya perihal “kontribusi” (di postingan Esensi) yang menjadikan nada suaranya terdengar sekasar di atas, padahal tidak sebegitunya. Sasaran dari pernyataan yang terkesan menantang tersebut adalah mereka yang terlampau sinis, sok menghakimi dan, sialnya, tanpa argumentasi. Posisinya agak-agak mirip seperti ini kira-kira: Kita masak makanan, lalu ada orang yang entah datang dari mana, mencicipi masakan kreasi kita, dan ternyata misuh-misuh, “Masakan macam apa ini?! Puih! Tidak mendidik ada enak-enaknya. Mau dikemanakan masa depan bangsa nasib dunia kuliner negeri ini?!” —nha, kalau dikomentari sesemprul itu, logis kiranya jika kita yang sudah capek-capek masak, langsung tegang urat-leher, “Memangnya situ sendiri bisa masak?! Coba bikin, lalu kita lihat seberapa waras rasa masakan kreasi situ!” (itu versi ikut-ikutan sarkasnya, versi netralnya seperti format yang saya kemukakan di blog). Jadi saya mohon maaf apabila di bagian “Not Action Prihatin Only” saya terkesan tinggi-hati 😕

    Reply
    • Saya bisa memahami ada orang yg bisa mengomentari masakan enak sinetron karena dia beberapa kali mencicipi masakan enak menonton sinetron lain (bisa jadi sinetron asing). Lalu menyimpulkan apa saja hal-hal yang enak dari masakan baik dari sinetron itu dan selanjutnya bisa memberikan masukan. Tidak perlu punya restoran production house untuk bisa memasak memberikan komentar.

      Reply
      • O tentu, saya paham betul itu. Tapi kalaupun memang hendak berkomentar, saran saya mbok ya frekuensi pemakaian diksi yang seperti bernada orang kenak darah tinggi itu dikurangi, lebih bagus diganti dengan yang selain itu. Seperti pekerja kantoran yang stress karena pekerjaan, lalu diberi saran, tapi diberi sarannya oleh seorang pengangguran, dengan cibiran pula! Pasti tidak enak toh, mending kalau nadanya empatik, tentu tak akan perlu dihardik balik.

        Reply
  4. Tafi… tentu saya yang mengeritik juga sah dikritik bukan?

    Btw, saya kepikiran itu benar nggak sih kalo sinetron itu pembodohan seperti kata banyak teman-teman blogger? Apa memang sudah ada penelitiannya ya?

    Reply
    • Saya kok melihatnya lebih ke aksioma (serampangan) ya. Maksudnya, hanya karena plotnya, alurnya, dialognya, main-ideanya, semuanyanya begitu medioker™ dan terkesan bodoh, jadinya ditarik kesimpulan ke sana.

      Tentu, saya pribadi belum sreg dengan pandangan “tindakan bodoh” = (berefek) “pembodohan” 🙄

      Reply
    • @ dana

      sebenernya kalo langsung nembak ke sinetronnya saya belum pernah baca. tapi kalo tentang visualisasi dan afirmasi yang repetitif, saya pernah baca sih. dengan dasar seperti itu makanya saya berani “nyalahin” sinetron-sinetron itu. tapi entah juga sih…sapa tau penafsiran saya salah. bagaimanapun juga yang saya baca itu buku psikologi, dan saya membacanya dengan dasar keilmuan sebagai anak mipa 😐

      mbak memeth atau kimi mungkin lebih kompeten buat njelasinnya 😀

      Reply
      • Iya, saya tahu soal repetitif dan pengaruhnya pada iklan. Tapi kalo untuk sinetron khusus rasanya belum ada penelitian tentang ini. Mungkin bisa dilakukan agar lebih jelas dan terarah jika kita ingin komplain.

        Reply
  5. Begini saja: kalau anda setuju sinetron adalah pembodohan dan permasalahan utama bangsa, maka anda mestinya juga percaya bahwa video porno Ariel-Cut Tari-Luna Maya adalah sumber segala kerusakan moral sehingga anak tetangga anda sudah mesum di usia balita.

    Red Herring? Boleh disebut begitu. Tapi pembandingan ini tidak terlalu ngawur, jika melihat ada kecenderungan mengambing-hitamkan sesuatu karena moral orang sekitar rusak.

    Ini konyol rasanya. Beberapa self-acclaimed aktifis socmed protes bukan main saat Tifatul hendak blokir BB dan sensor konten porno dengan alasan moral urusan masing-masing, tapi kini menjadi tifatul-tifatul baru hendak menyensor apa yang layak dan tidak layak bagi tontonan masyarakat.

    Reply
    • Ini konyol rasanya. Beberapa self-acclaimed aktifis socmed protes bukan main saat Tifatul hendak blokir BB dan sensor konten porno dengan alasan moral urusan masing-masing, tapi kini menjadi tifatul-tifatul baru hendak menyensor apa yang layak dan tidak layak bagi tontonan masyarakat.

      THIS!

      Reply
    • Makanya saya selalu merasa aneh kalau sinetron dituntut harus mendidik dan bermoral. Dan lucunya kritik ini sama-sama dilontarkan oleh fans PyD ke CF. Pernyataan seperti ini terdengar seperti wejangan2 P4 dan Orba.

      Saya lebih menuntut sinetron Indonesia memperbaiki kualitas script, akting, dan penggarapan; karena negara ini punya talent untuk itu dan PH punya duit untuk membiayainya. Sinetron yang layak tidak harus berat, tetapi harus ada usaha. Menurut saya, penghinaan kalau bilang mayoritas intelektualitas orang Indonesia hanya mampu menikmati sinetron yang cuma kaya PyD.

      Reply
  6. sinetron kesukaan emak kok malah dijelek-jelekin
    drpd ngejelekin sinetron kesukaan emak mendingan kamu tuh ngejelekin kebiasaan ngerokok bapa mu itu toh
    ngerokok sudah jelas tidak sehat toh
    sudah ada penelitian soal ngerokok toh
    kalau sinetron apa ada gitu penelitiannya

    Reply
  7. Soalnya yang nonton pembokat, pembantu, asisten RT, babu!! Dan emak-emak!! Mereka gak ngerti! Saya juga nggak!

    waaaah ini bahasa si produser terlalu generalis ya? ART saya ngga suka tuh nonton s(h)itnetron, emak saja juga tidak. Beberapa ART teman-teman saya yang saya tahu sih juga ga suka nonton s(h)itnetron.

    Mungkin karena mereka sudah tercerahkan. Punya pilihan lain ketimbang s(h)itnetron. Sudah banyak pilihan bagus dan menghibur lainnya ketimbang liat mata melotot-lotot dan bibir monyong-monyong dengan layar close-up yang bikin eneq dan malah jadi stress ngeliatnya. 🙂

    Apa yang bisa kita lakukan untuk membuat “pilihan lain” itu menjadi semakin banyak dan variatif. Kalo punya modal, bikin stasiun televisi sendiri. Yang acara-acaranya mendidik. Tapi ya harus siap miskin kayaknya, kalo sangat idealis gitu. Ada satu stasiun tipi baru dulu, yang katanya khusus buat anak-anak, ternyata ga tahan juga menghadapi gempuran jaman. Terakhir saya liat, tayangan anak-anaknya jauh berkurang. Malah yang ada menampilkan video-video clip band-band (yang katanya cemen itu). Errrrrr itu kan tontonan khusus anak-anak sekarang? :mrgreen:

    atau kalo ga ya bikin PH sendiri. Bikin sinetron sekelas Keluarga Cemara, dan harus siap mental ga laku. :mrgreen:

    Kalo ga kuat modal, ya bikin gerakan sarkas, mudah-mudahan bisa menggerakan hati yang lain yang belum tercerahkan.

    *duh kok saya malah nge-blog di mari sih*
    *sungkem Bang Amed*

    Reply
  8. Saya baru ingat lagi habis baca post ini, kalau dulu ada janji Menkominfo Sofyan Djalil. Serius bener-bener lupa. ^^;

    Re: rating dan tuntutan pasar, sepertinya sistemnya memang agak kacau IMHO. Saya ingat dulu pernah baca wawancara Raam Punjabi — di majalah TEMPO kalo ndak salah. Yang dia bilang kira-kira mirip Alexander Thian di atas. Mencoba buat sinetron idealis, tidak ada yang nonton, jadi ya lebih baik menjual mimpi. 😕

    *IMHO & CMIIW*

    Reply
  9. karena itulah dikontrakan saya di banjarmasin tak ada televisi, dan kalau sedang berapa dirumah, tipi dikamar seringkali tak saya gubris karena terlalu banyak meneriakkan kebohongan. Demikian…

    *kalau situ jadi bitang sinetronnya saya akan mempertimbangkan kembali keputusan untuk tidak nonton sinetron lagi*

    😀

    Reply
  10. @ Joe

    Keterlaluan ya, Joe? :))
    Ya macam si Aris konon membelokkan topik diskusi dengan membawa-bawa Spongebobs 😛

    Tapi menuduh bahwa sinetron sudah membuat tetangga menggosip dan perangai masyarakat penikmatnya sakit sama macam anggapan fans Tifatul bahwa internet dengan 3GP bokep Ariel menyebabkan anak tetangga mesum dengan teman mainnya.

    Sensor/boikot internet/BB dimana konten porno beribu, No, tapi sensor/boikot sinetron/TV karena sinetron, Yes? Apa beda dengan tiffy & the genk yang beranggapan lebih waras dan & makhsum dari netter? 😆

    Kalau mau kebebasan, kalau mau demokrasi, maka terimalah bahwa ada yang memilih untuk menikmati sinetron seperti orang memilih untuk merokok. Sesederhana itu kan, Joe? 😀

    @ Sora

    Red Herring itu pokoknya™ sejenis Red Alert, bahaya yang mesti diwaspadai paska perang dingin. Cek saja Uncyclopedia.Org

    *tabur garam* 😈

    Reply
  11. @ alex

    ah, kalo aris sih cuma maen analogi, saya blm menganggapnya red herring :mrgreen:

    tapi lanjut, perkara kebebasan memang bs dibilang ga ada bedanya sama kasus blekberi. hanya saja, ta’pikir gerakan ini masih sebatas kritik (meskipun sarkas), tidak ada kebijakan yang mengikat di dalamnya (macam keputusan menteri). cuma keluh-kesah tak tertahankan saja, mungkin. nanti kalo dituruti sama ph ya syukur, ga dituruti ya kampret 😆

    dan saya sendiri juga punya andai-andai, andai tayangan sinetron macam pyd diganti dgn tayangan lain yang – sebut saja – lebih “berkelas”, apa iya penggemar-penggemar sinetron bakal merasa haknya diculik paksa dan diinjak-injak? beberapa yang saya tau menonton sinetron hanya karena, “habis ga ada tontonan lain, sih.” 😀

    Reply
    • Perasaan dulu ada proyek sinetron yang katanya berkualitas (kalo nggak salah Strawberry), tapi apa lacur, penggemarnya sangat sedikit hingga tidak bisa diteruskan. Kalo sudah begitu ya pasti pak Raam balik lagi ke PYD dan sekitarnya. :))

      Reply
  12. kenapa bagian menutup hidung jadi melirik2 saya ?
    apakah karena saya belum mandi ? *eh

    dan apapun,
    yang cuma bisa sirik itu, buktikan dong dengan produk yg berkualiti, jang cuma omong doang

    apalagi Nikita Willy memang menggemaskan, kok *eh

    Reply
  13. @ dana

    eh, stroberi itu berkelas? pernah denger judulnya sih. tapi mungkin waktu itu saya memilih ga nonton garagara trauma; takut mengonsumsi mutu yang sama.

    promonya juga kurang gencar mungkin ya…

    tapi yg jelas saya selalu mencoba menyempatkan nonton dunia tanpa koma. walopun awalnya ada kekuatiran juga, tapi situ pasti tau saya bertahan karena apa 😛

    Reply
    • @Joe: katanya sih dibuat dengan idealisme. Aku sempat menonton beberapa episode tapi (mungkin) saking idealisnya, aku nggak ngerti jalan ceritanya. Terpaksalah cari tontonan lain.

      Hem… emang pemain dunia tanpa koma siapa? 😀

      Reply
  14. @ Joe

    1). Soal kritik.

    Dalam kritik terhadap “durasi 3 jam PYD” itu sudah melebar menjadi semacam -mengutip pendapat Gentole- hate speech pada mereka yang menikmati sinetron, terlepas mrk menikmati karena ikhlas atau terpaksa ikhlas sebab tak ada tonton lain. Beragam postingan blog yang pang-ping-pung dan/atau track-track-an di ranah blogosphere, banyak berimplikasi seolah mrk paling faham dan paling patut menentukan apa layak ditonton atau tidak, mana bermutu mana tidak. Malah ada yang bikin judul Sinetron Indonesia Harus Mendidik. Harus, lho. Harus. 😀

    2) Soal “berkelas”

    Meski pakai tanda kutip, tapi sinetron “berkelas” itu macam apa? Dunia Tanpa Koma yang konon mantap dan dibintangi aktris sekaliber Dian Sastro, padam. Kenapa? Karena ini soal selera pasar. Dengan kata lain, boleh jadi memang sinetron yang dicibir-cibiri sebagai hiburan “krisis identitas” di salah satu komen itu justru hiburan yang dinikmati.

    Silakan kritik PH, stasiun TV atau bahkan Menkominfo karena sinetron. Tapi merendah-rendahkan mereka yang nonton sinetron, itu cuma melambangkan kecongkakan selera belaka. Tak lebih dari kaum snob versi socmed, Joe.

    Reply
    • @ alex

      errr…saya mau ngeles dikit… :mrgreen:

      soal kritik, iya, saya akui memang rentan terbaca sebagai hate-speech, meskipun saya pribadi masih berbaik-sangka kalo itu dilakukan saking mangkelnya pada kondisi yang seperti sekarang ini. soal selera memang nggak bisa dipaksakan. saya setuju. karenanya saya berusaha sebisa mungkin pisuhan saya ya saya alamatkan kepada pihak pembuat saja, bukan pihak penikmat. kalo ngetawain penikmat yang membela sinetron, saya lebih milih buat ngetawain cara mereka berdiskusi ketika membela sinetron kesayangannya 😀

      soal berkelas, aiii…itu sudah saya kasih tanda kutip untuk menyingkat tempo saya mengetik. tapi tidak perlu kita bahas lagi ttg hal ini :mrgreen:

      ada banyak kemungkinan, sih… “konspirasi” pihak ph yang menekan penulis cerita bisa jadi salah-satu penyebabnya. setau saya tren itu bisa diciptakan. maka boleh jadi karena terbiasa dengan sinetron dengan kelas seperti sekarang ini, pasar mengikutinya hanya karena itulah mode yang ada untuk saat ini, dan itu masih ditambah role-model mereka (artis-artisnya) yang membintangi apa yang umum dinikmati oleh mereka selama ini.

      sampe sekarang saya masih curiga. curiga kalo pasar sebenarnya bukan menikmati apa cerita yang disajikan, melainkan siapa yang membintangi cerita itu. seandainya idola mereka pindah haluan membintangi sinetron yang “berkelas”, kayaknya selera mereka dimungkinkan pula untuk “naik derajat” 😈

      (lex, lex, udah pake tanda kutip itu…)

      btw, saya akui juga, sih, kalo dian sastro itu kurang merakyat. walopun kualitasnya oke – menurut saya – tapi buktinya dia jarang menang panasonic award (yang make polling sms itu) :mrgreen: yang menang biasanya ya bintang-bintang sinetron itu. mungkin itu juga yang kemarin bikin dunia tanpa koma jadi kerasa kurang ngangkat

      Reply
      • sampe sekarang saya masih curiga. curiga kalo pasar sebenarnya bukan menikmati apa cerita yang disajikan, melainkan siapa yang membintangi cerita itu. seandainya idola mereka pindah haluan membintangi sinetron yang “berkelas”, kayaknya selera mereka dimungkinkan pula untuk “naik derajat” 😈

        JEDEEERRR!!!

        *siyal-siyul sambil lirik-lirik tanah*

        Reply
  15. Tambahan:

    Sodara-sodara yang mengira Gera’an Koin itu dan postingan-postingan yang menyertainya adalah kritik belaka, silakan merambah ke Fans Page dari Gera’an Koin Untuk PYD itu sendiri.

    Di sana tercantum terang kalimah-kalimah ala kaum snob dari mereka yang menyebut diri narablog/aktifis socmed. Seperti “Seharusnya kita bertanya kepada para pencinta sinetron Putri Yang Ditukar, kenapa sangat menyukai sinetron ini? Apa bagusnya?”

    Ini kesombongan namanya. Sama seperti orang yang merasa dirinya keren karena sudah menonton opera di Australia bertanya pada mereka yang nonton lenong, “kenapa suka lenong? Apa bagusnya?”

    1. Karena kau tahu yang bagus menurutmu, tidak semua orang harus memberitahu alasan mereka menikmati hiburan.

    2. Seharusnya? Kenapa harus? Kenapa? Krusial sekalikah untuk tahu motif para penikmat hiburan pada hiburan yang mereka sukai. Lama-lama orang-orang cerdas di socmed akan bertanya kenapa suka BH berenda atau celana dalam.

    Ini yang aku dan Gentole kritiki dan menyebut parapundit socmed begini terlalu patronistik.

    Reply
  16. @ Joesatch
    Betul. Kalo sering baca2 tabloid infotainment bisa sering lihat surat pembaca yang minta dibuatkan sinetron yang memasangkan artis idolanya, lengkap dengan harus dipasangkan dengan siapa. Begitulah…

    Reply
  17. Selamat datang Med.

    Saya ndak senang sinetron; tapi ini masalah selera, dan masalah pilihan. Tak perlulah sinetron dipaksa-paksa kudu mendidik dsb. Kan segmen pasarnya beda. Penikmat TV itu cuma perlu memilih. Tak usah memaksa tayangan kudu mengikuti selera dan kebutuhannya.
    Tentu lain ceritanya kalau situasi geografis maupun kultural tertentu telah memarginalisasi paparan si penikmat terhadap channel yang itu-itu saja; dan ini butuh pendekatan logika lain, yang saya saat ini sedang ogah ngobrolinnya.

    Kembali ke soal selera, saya sendiri paham dilema yang dihadapi penulis. Dalam hal ini saya tidak menyalahkan mereka, karena menurut selera saya yang paling menjijikkan dari sinetron itu bukan ceritanya, tetapi sinematografinya.
    Saya percaya skenario semurahan apapun bisa digarap jadi tontonan yang apik di tangan sutradara yang mumpuni. Satu contoh, saya paling eneg melihat adegan banting piring, atau seseorang nyenggol bahu orang lain, atau buang muka, atau adegan sepele lainnya, yang harus diberi aksentuasi slow motion, lalu diulang-ulang sampe 3 kali. Apa-apaan sih?
    Contoh lain, efek suara musik yang berlebih-lebihan. Adegan orang melotot saja kudu diberi sound orkestra gonjrang-ganjreng seolah-olah adegan Hitler bangkit dari kubur (masih dengan slow motion dan perulangan juga tentunya).

    Tapi ya begitulah. Yang begitu-begitu itu masih ada yang suka, jadi ya ndak bisa disalahkan kalau masih ada yang mau jual.

    Reply

Leave a Comment