Ketika menulis gonjang-ganjing Putri yang Ditukar dua hari lalu, saya tak menyangka ramenya akan sepanas ini. Sepanjang Rabu kemarin, saya lihat komentar berdatangan silih berganti, dari satu blog ke blog lain. Blog saya yang jablay™ juga ikut menikmati sedikit cipratan keramaian itu, dengan, hingga tulisan ini saya posting, sudah ada 40-an komentar plus beberapa pingback yang masuk. jumlah hits tidak usah saya ekspos deh…
Hari ini, sepertinya suasana sudah agak mereda. Saatnya saya mencoba membuat keributan baru merangkum apa yang telah dan tengah terjadi, sekalian menanggapi komen-komen di posting tersebut. Bukan apa-apa, sistem reply-di-bawah komen membuat sahut-sahutan komen di blog saya kok jadi amat tidak linear, dan membuat pening sendiri… Ini membuat saya sempat berpikiran untuk mematikan saja fitur reply ini, dan kembali ke metode komentar linear konvensional. Selain itu, sepertinya tidak semua komentar perlu saya komentari, karena sahut-sahutan yang terjadi sebagian sudah mewakili pendapat pribadi saya.
[proses tanggapan dimulai]
– Untuk Om Yulian, yang mengusulkan menjual TV, seperti sudah saya sampaikan, jika solusinya kemudian adalah pasang Sp**dy, well… Sepertinya ada promosi terselubung nih… 😈
– Untuk Mbak Ira, reality show, sebagus apapun, sepertinya ada kecenderungan pula untuk dipanjang-panjangkan jikalau rating-nya bagus, jadi saya khawatir itu acara masak Masterchef akan bernasib serupa, apalagi jika salah satu chef-nya ada yang se-alluring Farah Quinn…
– Untuk Mbak Memeth dan mereka yang mengingatkan nostalgia 2007, saya juga merasakan hal yang sama. Komen dengan intensitas tinggi (di atas 30-an per posting) dengan sebagian besar di dalamnya tidak berkategori junk waktu itu merupakan hal yang biasa. Diskusi mengalir luar biasa seru, dan enak untuk diikuti. Semoga ini bisa jadi awal huru hara baru kebangkitan para blogger renta™.
– Untuk Nonadita, pelajaran yang bisa saya tarik adalah: bolehlah kita mengkritik sebuah produk, tapi juga sebisa mungkin menjaga perasaan yang menikmati. Kritik yang disampaikan tanpa menakar kadar sarkasme di dalamnya, justru bisa memicu resistensi, yang berakibat esensi kritiknya justru terkaburkan. So, berkritiklah dengan bijak… #eh
– Untuk Pak Presiden/Frozen/Esensi/Aris Susanto, terkutuklah Sodara karena membawa kami ke ribut-ribut atas nama opera sabun ini! 👿 . Ah, ya. Saya memahami kok, maksud postingan Sodara, hanya saya memang memilih menulis di bagian itu secara dangkal dan tendensius demikian, biar memicu konflik lanjutan hohoho…
… dan sepertinya saya berhasil, sudah pantes jadi penulis skrip sinetron belum yaa?
Dan tolong, jangan lagi beranalogi soal masakan di sini, bikin lapar! *rebus mie instan*
– Untuk Momon, kritik membangun, semoga akan terus menjadi bentuk apresiasi dalam setiap karya anak manusia.
– Untuk Bang Dana, seperti yang pernah ditulis di status Mas Gentole Alex©,who will watch the watcher?
Oke, masalah pembodohan, saya juga tak paham benar. Tapi katanya efek audio-visual terhadap anak secara psikologis terkadang bisa sangat luar biasa loh. Itu Game GTA San Andreas katanya dulu pernah dituntut kan, karena dituduh “mengajari” anak berbuat kekerasan. Atau anak yang lompat dari atap karena mengira dirinya bisa terbang pakai sapu layaknya Harry Porter… Ah, urusan ini, Bu Medina sepertinya lebih kompeten menjawab…
– Untuk Alex©, perkara red herring, no need to argue lagi ya? Sudah kau jawab sendiri. Saya memahami apa yang kau sampaikan di berbagai kolom komentar sampai tanganmu kapalan dan lalu kau salahkan Tuan Presiden Tanpa Menteri sebagai kambing hitamnya. Saya juga paham betul gaya tulisanmu yang eksplosif, sinis dan tanpa tedeng aling-aling. Yang saya sayangkan hanyalah, kau kali ini kebanyakan memberi label kepada opponent-mu; yang paling kentara kau sebut ialah “self-acclaimed aktifis socmed” itu. Hem, jika yang kau maksud *ini asumsi saya loh, bisa benar-bisa salah*, adalah bahwa mereka yang kau labeli itu adalah sombong, tinggi hati, snob, opinion-leader wannabe, karena berasal dari Pulau Jawa (baca: Jakarta), terpelajar, berselera tinggi, dan sebagainya, well jangan lupa pula, itu sinetron-sinetron diproduksi di mana? Siapa yang membikinnya? Apa motifnya?
Tidak, saya tidak ingin berargumen lagi, karena sayapun paham, kau tidak sedang mengkritik substansi kritik terhadap sinetron, melainkan attitude para pengkritiknya, begitukah? CMIIW. Sinis balas sinis, egois balas egois.
– Untuk Etikush, rating, sayangnya masih jadi tolok ukur layak tidaknya sebuah tayangan diperpanjang. It’s all about business, and much much money, you know… Dan, ya. PyD itu ratingnya tinggi sekali, lakunya luar biasa. Seorang kawan kemarin balik dari pulang kampung di Bojonegoro, dan cerita betapa hebohnya warga sana menyaksikan sinetron ini.
– Untuk emak, saya tidak masalah emak tahu red herring atau tidak. Tapi gimana kalau gini aja emak, saya jelek-jelekkin sinetron kesukaan emak, juga saya jelekin kebiasaan merokok bapak? Biar adil gitu? Biar saya dicap durhaka sama dua-duanya? Hohoho…
Cat: Emak saya yang aseli sukanya tayangan dangdut, tidak suka sinetron, dan bapak yang saya aseli tidak merokok.
– Untuk Mbak Chic, “mata melotot-lotot dan bibir monyong-monyong dengan layar close-up” itu, buat sebagian orang justru yang paling ditunggu loh, emosi tersalurkan dengan baik ketika melihatnya, baik secara serius maupun karena eneq. Sama aja kayak pas nonton piala AFF, teriak-teriak jumpalitan, sumpah serapah keluar, atau jerit-jerit pas liat Irfan 😳 …
Soal program mendidik, meski bukan di ranah televisi, saya pernah tiga tahun kerja di radio. Di situ banyak hal yang saya pelajari dalam menghasilkan acara bermutu sekaligus mencerahkan, dan banyak sekali mempengaruhi saya ketika menjadi guru sekarang. Sebelum Mario Teguh Golden Ways booming di TV seperti sekarang, sebenarnya sudah banyak motivator lain yang memberi pencerahan. Tapi ya itu, berapa persen sih mereka yang dengerin radio?
– Untuk Sora, itulah sebabnya saya awali posting terdahulu dengan janji itu. Saat ini kalau ngomongin Kominfo pasti ingatnya Pak-Tif-yang-dibully-massal melulu, blokir-blokiran dan sebagainya. Kita lupa kalau dulu, otoritas berwenang sudah pernah juga berjanji untuk bertindak tegas. Dan mengapa hingga sekarang belum ada realisasi? Kira-kira kenapa? Pertanyaan yang sama dengan kenapa hingga sekarang FPI belum bisa juga ditindak tegas: KEPENTINGAN.
– Untuk Awym, ah, situ kan memang introvert saja, jadi hobinya ngurung diri di kamar… *glepak*.
– Untuk Nia, seperti sudah saya tulis di postingan tersebut: Romantisme masa lalu ini, somehow saya rasa kurang pas, mengingat kondisinya sekarang sudah berbeda.
– Untuk Sibair, harapan sama juga disuarakan banyak orang, tapi sekali lagi, sinetron itu bisnis besar, uang bicara banyak di dalamnya.
– Untuk Om Warm, kembali, ini tak sekadar sirik atau iri atau dengki Om; ini menyangkut keselamatan negara! Kalau perkara produk berkualiti, nah ini, menyerahkan seenaknya tanggung jawab membuat tandingan berharga mahal kepada para pengkritik yang jelas-jelas kere itu, well, Ther-La-Lu… *elus jenggot*
– Untuk menone dan komentator senada, tidak ada sinetron tidak menjamin pendidikan di Indonesia akan membaik kan? Ketahuilah kalau sistem pendidikan kita itu luar biasa korupnya…
[/proses tanggapan diakhiri]
Fyuh, cape ngetiknya. Dan saya tersadar, kalau saya tadinya mau membuat semacam refleksi atau review setelah satu semester kuliah, juga tentang nilai-nilainya, terbengkalai gara-gara meributkan opera sabun ratusan episode. Hiks. Sedikit banyak saya merasa senasib dengan Pak Guru dan Mas Gentole, dan bersiap melabrak Aris Susanto 👿 !!!
Yang jelas, saya sebenarnya senang karena blogosphere jadi rame lagi, hidup lagi seperti era 2007 dulu, dan diskusi ini pastilah membawa faedah yang cepat atau lambat akan semakin mendewasakan yang terlibat; yang fence-sitting, maupun yang nonton via binokular sahaja. Perkara pendapat yang terbelah, saya yakin, adu argumen ini toh nanti juga akan cair dengan sendirinya, kita tetap berteman *sejauh ini belum ada yang niat saling unfriend/unfollow di FB dan Twitter kan?* dan semoga akan selalu begitu. Seperti kata Dumbledore:
It takes a great deal of courage to stand up to your enemies, but a great deal more to stand up to your friends.
Dan sekali lagi, jangan salah kira, masalah sinetron adalah perkara laten lawas di kalangan blogger. Tidak percaya? Berikut saya sertakan sedikit tulisan lama tersebut, sekadar menyegarkan memori kembali:
– Chaidir – Setantron™
– Chika – Sinetron di Indonesia
– Chika – Sinetron Indonesia, What’s Next??
– Chika – Oh Tidaaakkk!!! Lagi-lagi Sinetron Indonesia
– DeathBerry – Sinetron adalah Akal Bulus Cinta dan Film Cengeng
– Fortynine – Menjual Mimpi
– Geowana – Banner Anti Sinetron “Murahan”
– Abeeayang – PERSETAN DENGAN TUHAN!!!
*Oya, saya lupa siapa yang menulis tentang pemeran utama sinetron teraniaya, yang dibikin versi onionhead dulu itu, juga link-nya. Kalau ada yang masih ingat, mohon ditautkan yaa…*
Terakhir, mari kita tutup postingan kali ini dengan sebuah lagu dari Incubus, “Idiot Box”
You keep your riches and I’ll sew my stitches,
you can’t make me think like you, mundane.
I’ve got a message for all those who think that
they can etch his words inside my brain
T.V., what do I need?
Tell me who to believe!
What’s the use of autonomy
when a button does it all?
So listen up,
glisten up closely all,
who’ve seen the fuckin eye ache too.
It’s time to step away from cable train
And when we finally see the subtle light,
this quirk in evolution will begin
to let us live and recreate
T.V., what do I need?
Tell me who to believe!
Whats the use of autonomy
when a button does it poop?
T.V., what should I see?
Tell me who should I be?
Lets do our mom a favor and drop
a new god off a wall.
Let me see past the fatuous knocks.
I’ve gotta rid myself of this idiot box!
Let you see past the feathers and flocks,
and help me plant a bomb in this idiot box!
From the depths of the sea
to the tops of the trees
to the seat of a lazy boy…
staring at a silver screen!!
Catatan: “Idiot Box” adalah juga episode SpongeBob SquarePants favorit saya, dengan tagline-nya yang populer: “i-ma-gi-na-tion!!!”
pertamax….!
Dan nuansa 2007 itu semakin kentara terasa…
Udahlah.. cukup ngomongin sinteronnya…
mari diskusikan hal yang lebih penting.. Harimau Sumatera kek atau apa gitu lah.
Hehehe… maaf ya tiba2 nimbrung :p
Masalah penting, sebenarnya saya (secara subyektif) biasanya menganggap penting apa yang saya posting. Penting bagi siapa? Paling tidak penting buat saya pribadi sih, apakah itu temanya tentang Kalimantan, listrik, batubara, atau tentang kehidupan personal saya, sekadar ingin berbagi.
Tema sinetron yang diangkat ini pun saya anggap penting, karena terkandung tujuan Traffic™ di dalamnya…
Numpang lewatttttttt……
Zuingggggggg
Tuiiiiitttttt
Bzzzzzzzzz……..
Tuh, gegara numpang lewat doang, jadi masuk akismet deh…
Ini benar-benar suatu kehormatan, benar-benar membuat saya terharu (nick, nama gelar, nama blog, nama KTP, semuanya disebutkan), ah… padahal tak perlu sebegitunya saya sampai dipuji sedemikian rupa. *bibir bergetar, air mata membayang* #eh?
Hyah… apa daya lah, nasi sudah jadi lontong™, toh saya juga ndak menyangka kalau apa yang telah saya pantik ternyata malah berujung pada
kebakaran jenggotsaling bersahut-sahutannya blogger-blogger lawas, yang, pada gilirannya, berdampak serius pada kehidupan IRL.Tapi omong soal dampak di dunia nyata, saya juga transaksi bisnes jadi mandek 2 hari! 👿
*log out* 😆
@ Tuan
PersistentPersidenMungkin gegara lama ndak ribut-ribut, jadi mood-nya berpengaruh ke kehidupan nyata ya? Atau perlukah kita undang kembali Nona “F” agar kembali nostalgia adu ribut dan edit komen dengan Sodara? Gimana?
Aku komplen.
1). Soal label self-acclaimed socmed aktivists, aku tak akan menarik ucapanku. Sejumlah dari pencoret wall FP Gerakan Koin utk PyD, postingan dan komentar, memang mengklaim diri aktivis socmed.
Kebanyakan memberi label? Kurasa itu adil untuk mengingatkan bahwa bukan aktifis socmed saja bisa memberi label. Aku sendiri memberi label, sementara sekian lainnya bergerombol memberi label dengan aneka argumen 🙂
Kau sadar kalau “the watcher” tidak disadarkan bahwa mereka tdk makhsum? Yang terulang adalah pers yang kebablasan seperti paska-reformasi. Akan merasa dirinya, medianya, corong kebenaran satu-satunya. Pers pernah di posisi socmed hari ini. Tapi pers sendiri tidak kebal kritik. Lalu apa socmed ini? Corong TOA mushala yang suci?
Aku sendiri pengguna socmed. Mungkin juga termasuk dalam kalangan activist socmed dalam skala kecil.
Sebab itu aku tak peduli latar belakang mereka yang di socmed. Termasuk aku sendiri. Med, socmed itu bukan barang luks. Bukan konsumsi elit. Bocah kampung di pinggir gunung Rinjani pun bisa menjadi bagiannya cukup dengan pakai layanan GPRS. Tak ada keagungan besar sekali di socmed sehingga terlalu mulia untuk tak boleh gantian dikritik sikap dan opini di dalamnya. Mau dari Pulau Jawa atau Sabang atau dari Timbuktu, itu tak masuk akal. Anak kampungku juga ada kok yang congkak karena ambil S2 di Texas. Snob kagetan.
Ini bukan ruang kuliah dimana dogma tempat menentukan kualitas nilai masih berlaku. Ini internet. Aku membalas komen mungkin sambil mancing di sungai kampung. Atau orang socmed mungkin sambil jongkok di toilet pinggir Ciliwung.
Maka, jika socmed tak mampu menertawakan dirinya, orang sepertiku dengan senang hati membantu 🙂
Soal substansi? Sudah terwakili oleh postingan Gentole dan komen2ku di sana. Tak ada hal substantif selain (ini generalisasi memang) pameran level selera dan tolok ukur kualitas yang subyektif.
Begitu.
@Alex
Inilah—menurut saya—titik temunya. Alex, Gentole beranggapan bahwa karya kreatif tidak dapat dinilai karena subyektif. Ini salah, karena hal-hal yang subyektif juga bisa dikritik. Jika kritik yang dimaksud hanya sekadar bilang bagus dan jelek seperti orang pada umumnya, maka lagi-lagi kita tidak sependapat, karena kritik memang tidak sekadar bilang bagus-jelek. Kritik seni menunjukkan kenapa sebuah aspek seni tidak tercapai, alasannya apa, tentu dengan reasoning yang masuk akal. Inipun bisa disanggah dan bisa didiskusikan.
Dan sayangnya, selama keributan PyD dkk berlangsung, belum ada diskusi yang di level itu. Semakin debat ini berlangsung, semakin jauh kita dari itu.
@ Alex©
No 1, sudah saya rangkum kan? Ini perkara attitude kan? Sinis balas sinis, label balas label kan? Tapi saya suka komenmu yang ini:
Nah, mawas diri itu yang sebaiknya mulai kita tanamkan dalam sanubari masing-masing kita, para pegiat media sosial ini, bahwa setinggi apapun pemikiran kita, sehebat dan semegah apapun yang sudah kita tuliskan di media maya ini, kita toh sama-sama masih menginjak bumi yang sama…
@ Herman Saksono
Semoga saja di lain kesempatan, ada ruang untuk berbagi kritik, tanpa harus saling tuding dan saling label deh.
Eh itu di atas mesti yang 2) soal substansi.
*ralat*
Sepertinya yang untuk Dana itu, kata Quis custodiet ipsos custodes (who will watch the watcher) bukan di status Gentole, tapi di statusku. Dan itu justru bukan merujuk pada penonton sinetron, melain pengamat/kritikus pada (pilihan penonton) sinetron. Dalam hal ini ya social media ini: FB, Twitter, Blog. Ringkasnya ya supporter Gerakan Koin yang sudah sampai menilai para penonton sinetron tersebut.
Siapa akan mengamati si pengamat? Social media, aku percaya, adalah alat utk social control. Termasuk utk social media itu juga. Jadi juga bisa menjadi alat utk self-control antar sesama aktifis socmed ini/itu sendiri.
Last comment lah soal ini. Menyerah. Sudah.
Ustad Al Esensiyah itu memang sialan. I rest my case deh. 😆
@ Ralat
Sudah saya betulkan. Sorry terlewat, sepertinya saya juga mulai mengalami penurunan daya pedantik saya…
Lah, yang saya maksudkan ke komen untuk Bang Dana juga seperti maksud yang kau jelaskan itu kok…
eaaaa kirain apa gitu linkback banyak banget dari postingan ini. 😆
kayaknya sisi positif dari PyD adalah membangkitkan para blogger *uhuk* jadul *uhuk* untuk kembali aktif ngeblog. hayooo siapa yang belum nulis soal PyD?
*ditendang sekampung*
@Chika
Hehehe, dipikir-pikir, kamu banyak juga nulis soal sinetron dulu itu ya Jeng…
..keselamatan negara ? hmm soal ini, korelasinya masih perlu dilihat sebarannya dan standar deviasimya,pak
dan yang saya maksud omong doang itu yang bisa misuh2 doang tampa solusi itu maksud saya, piye sih dong ah…
apapun, saya kagum dengan yg komen dengan segala argumennya, juga yang ngasih tanggapan dengan argumen yang tak kalah cerdasnya, dan hanya gara2 PyD, sungguh mhe-ngha-ghum-khanh 😈
@Om Warm
Ngomen pake bahasa statistik lagi, awas! Tak masukin SPAM !!! 👿
Saya juga khawatir kalau masterchef itu akan dipanjang-panjangkan. demi rating…
dan awal perdebatan ini adalah karena rating.
tapi saya tetap beranggapan kalau si PYD ini adalah salah satu jenis pembodohan. meskipun yang menonton belum tentu bodoh. meskipun saya bukan psikolog saya tahu pasti kalau segala sesuatu yang ditonton berulang pasti akan membekas di kepala. apalagi ini : 3 jam perhari.
bagi para ibu-ibu saya percaya mereka sudah tahu baik dan buruknya. bagaimana dengan anak kecil. dengan para ababil. dan itulah yang terjadi kalau cuma ada satu televisi di rumah. jangan katakan apa yang mereka tonton itu pasti tidak akan berpengaruh. salah satu contohnya adalah reaksi para pendukung sinetron yang berlebihan seperti bisa kita saksikan di wall gerakan koin itu.
Segala sesuatu yang berlebihan pasti akan buruk. kenapa PYD yang jadi sasaran karena kebetulan ratingnya tinggi dan seperti semua tayangan lain di Indonesia, keuntungan harus dikeruk sebesar-besarnya…
Segala yang berlebihan itu, IMHO, juga termasuk kritik sinis dan sarkasme yang berlebihan ya?
Untuk anak-anak, katanya resepnya adalah perkara penanaman mindset: siapa yang lebih dulu, siapa yang lebih menarik, siapa yang lebih bisa dipercaya. Selama orang tua masih sanggup menelikung media hiburan apapun dalam ketiga hal ini, ada harapan kalau ekses negatifnya masih bisa diredam… *teori-nya sih…*
Bagaimana kalau emaknya malah sibuk nonton sinetron tersebut? berdasarkan pengamatan di sekeliling saya. biasanya kalau nonton sinetron terkadang tidak ped
laptop dodol! *banting laptop*
maaf, keburu kepencet meskipun belum selesai.
Berdasarkan pengamatan saya terkadang kalau sudah nonton sinetron orang sering melupakan yang ada di sekeliling bahkan meskipun saat anaknya minta diajarin bikin peer.
Orang seperti Aris yang bisa mengambil hikmah dari sinetron yang ditontonnya amatlah jarang. satu dalam seribu, mungkin….
*kesummon linkback*
ah kok ada yang bahasannya makin jauh ya? dari awal kan yang dikritisi adalah sinetronnya, pesan di dalam sinetron itu dan yang paling parah adalah jam tayang, bukan siapa yang menonton sinetron dan men-judge selera mereka 🙂
*berlalu*
*delete draft postingan*
*nonton debat antar blog sajalah*
Hohoho, mbok tetap ditulis aja toh Mbak… gapapa juga kok, hitung-hitung nambah
ributkhasanah dunia per-blog-an…Itu saya, waktu omaigat masih aktif tahun 2008-an. 😆 Link-nya:
http://omaigat.wordpress.com/2007/08/09/harusnya-kita-kasihan-pada-mereka/
BTW…
Analogi yang menarik. 😛
*merasa termasuk kaum yang demikian*Naa, itu dia… saya beneran lupa soale… Thanks diingatkan.. jadi ngakak ulang bacanya..
Perkara binokular, itu memang saya tujukan untuk beberapa oknum blogger
renta™…Terima kasih rangkumannya 😀
Sebetulnya tidak apa jika pengkritik sinetron dibilang sombong atau yang lain, karena ini sama sekali tidak mementahkan argumentasi bahwa sinetron Indonesia memang buruk.
Tudingan sombong justru menunjuukan bahwa sudah tidak ada argumen lain untuk menyangkal bahwa sinetron Indonesia buruk.
eh? lho? kita kan ga satu kontrakan…
@Masjoe..
Arghgh, maksudnya sodara situ, sodara kembar-lain-bapak-lain-emak itu….
@ Mas Herman
Well, tergantung ditanya ke siapa. Menurut Budhe saya sih Cinta Fitri itu lumayan bagus. 😆
*saya tidak suka sinetron sih*
*one man’s trash, other person’s treasure, etc*
@sora9n
Apakah bude Anda bisa memberikan penjelasan kenapa itu bagus? Di share di sini begitu. 😀 Kritik itu kan tidak sekadar bilang bagus atau jelek, tapi membuat reasoning kenapa bilang bagus atau jelek.
@Mas Herman
Sebenarnya poin saya begini. Seperti ditulis di uraian yang tentang kesenian tempo hari, perkara “bagus” atau “buruk” itu amat relatif. Larinya kembali pada pemaknaan pribadi. Dan yang seperti itu kadang tak ada logikanya. 🙂
Kira-kira begini deh. Contoh dari dunia musik. Kita tahu musik alay itu banyak dikritik: liriknya cengeng lah, nadanya menye-menye lah, dsb. Tapi banyak orang yang suka. Kenapa? Karena mereka merasa “kena”. Di situ seni punya emotional accomplishment. Biarpun secara teknik amburadul tetapi orang senang. 🙂
Nah itu kira-kira mirip dengan kenapa orang suka nonton sinetron. Budhe saya semangat nonton Cinta Fitri, tetapi kalau didebat, hampir pasti tak bisa menjelaskan. Karena itu soal “rasa”. Beliau enggak suka nonton film2 box office di Global/Trans7. Sementara menurut saya — justru box office itu lebih keren daripada sinetron. 😮
Yang saya bilang bagus beliau tidak bisa menangkap. Yang beliau bilang bagus saya nggak ngerti. Karena *selera* kita berbeda. Dan itu tak selalu logis.
* * *
Coba deh, kalau memang seni itu logis, kita kumpulkan anak-anak alay buat mendengar Beethoven. By logic Beethoven itu teknik dan penyajiannya lebih bagus. Tetapi: apakah sesudah mendengar Beethoven anak-anak alay dijamin bakal suka? Belum tentu.
Itu lho maksud saya. Selera itu soal “rasa”. Biarpun logika bilang “kamu harusnya suka Beethoven”, kalau alay lebih tergugah dengar ST12, kita bisa apa? 😉
@ Herman Saksono & Sora
Silakan berdiskusi lebih jauh, hanya saja perlu saya ingatkan, katanya kalau “term of reference”-nya beda, bisa da nyambung loh diskusinya.. Takutnya jadi kayak debat Matahari Mengelilingi Bumi dahulu… *sekadar reminder…*
…
Benar. Menunjuk bahwa pengeritik sinetron itu sombong tidak mementahkan argumen bahwa sinetron itu (menurut si pengeritik itu) buruk.
Tapi bahwa mengatakan sombong itu lalu argumen itu menjadi benar, well…. beauty is in the eye of the beholder.
Sinetron itu seumpama babi. Muslim yang percaya babi itu buruk, haram dimakan, akan berargumen sekian dalil dari ayat sampai cacing pita dan penelitian bahwa pemakan babi memiliki perangai tidak pencemburu sehingga kehidupan free sex berkembang bla bla bla…
Itu boleh dipegang. Oleh siapa? Si muslim itu sendiri.
Yang makan babi? Mereka akan tetap memiliki alasan kenapa mereka suka, apa enaknya, apa baiknya. Mereka bisa bilang si muslim sombong karena vonisnya yang demikian, yang mengatakan babi itu buruk. Tapi belum tentu babi buruk bagi mereka.
Aku tidak makan babi dan tidak memiliki hobi menonton sinetron. Tapi mutu dari suatu hiburan seperti mutu makanan: kalau suka nikmati, tak suka tinggalkan. Silakan protes ke MUI atau pemerintah kenapa membolehkan babi dikonsumsi atau sinetron dinikmati. Silakan berargumen. Toh itu cuma soal pilihan. Ini negara bebas. Kebebasan seseorang utk suka atau tidak dengan sesuatu, tidak mnjadi alasan untuk boleh menggugat orang yang menikmatinya. Tidak melanggar hukum jika ada yang mau bilang sinetron menurutnya bagus. Tidak juga ada keharusan untuk menjelaskan dimana bagus-buruknya suatu hiburan menurut si penikmat. Kalau mau begitu, negara ini jadi negara komunis saja: one cook, one market, one controller.
#gatalkomengjuga
#kembalikegoafilsafat
hmmmm, begini, masalah introvert… introvert mana sama situ? dan masalah teman sekamar itu sepertinya tidak mungkin si Mansup, apakah dia adalah kakak tingkat satu kampus saya yang lulusan prodi BK, hahahaha *maaptidakmenyebutmerek karena saya juga lupa namanya… BTW, kapan pulang, saya nyari guru english yang sama2 introvert nih #makanbeling 😀
Ah… saya tidak mau terlibat dalam diskusi/argumentasi/kontroversi/komentarsisasi panjang tentang sinetron PyD ini….. saya cuma mau usul posting saja tentang Film negara Obama yang akan dibatasi/dilarang putar karena ditakuti akan menggusur pocong pocong indonesia…. itu saja, dan ingat saya tidak pernag Promo..he..he..
ya ampun maap mas.. saya baru tau klo ke summon disini… 😀 Tapi ini postingan lama ya.. gpp lah.. mempererat silaturahim 😀