“Terus, Gue Harus Bilang Wow, Gitu?”

Squidward dengan ekspresi khasnya: <i>indifferent</i>
Squidward dengan ekspresi khasnya: indifferent

Kalimat ini semakin sering saya dengar beberapa waktu belakangan, terutama sejak jadi tagline di iklan salah satu produk kartu selular. Ada bermacam variasi dari kalimat ini, bahkan ada variasi dalam bahasa Banjar, Jawa halus, hingga Arab. Dari penyedia kartu selular lain, ada pula fenomena “ciyus, miyapa?” sementara beberapa tahun lalu ada pula ungkapan “So what gitu loh?” yang dipopulerkan rapper Saykoji. Ketiga kalimat terebut kebetulan punya nafas yang senada: sama-sama nyinyir.

Ya, nyinyir, sinis, indifferent, dan berbagai perilaku pasif agresif lainnya makin marak dijumpai di dalam kehidupan kita. Sebagai warga Asia Tenggara yang beriklim tropis, kepala kita seolah lekas sekali terpanasi oleh pemantik sekecil apapun. Konflik menjadi makanan keseharian, di televisi lewat sinetron, reality show, hingga berita-berita rusuh antar warga, di debat-debat antar kandidat pilkada maupun antar mereka yang berbeda paham, di sekolah maupun kampus lewat bullying dan tawuran, dan tentunya di media sosial.

Yang saya sebut terakhir, kini makin mengemuka. Ketika akses informasi, meskipun katanya masih tetap terlemot se-Asia, semakin mudah dijangkau, terbuka pula panggung-panggung baru untuk konflik horizontal antar pengguna. Dari zaman milis, forum, blog, hingga FB dan Twitter, perseteruan seakan menjadi makanan empuk, berondong jagung bagi pembaca. Tak heran banyak halaman-halaman “anti grup alay” dan “f**k band hipster”, atau gerakan semacam “Indonesia tanpa Jengkol” dan “Indonesia tanpa Feté”. Di Twitter juga semakin mudah mencari #dramatwitter karena orang semakin bebas mengekspresikan amarah dengan cara yang, well, mudah, dan murah.

Ketika gadget semakin beragam dan terjangkau harganya, boleh dapat BM atau cari sekenan #eh, ketika Anjroid dengan berbagai aplikasinya semakin memudahkan pengguna dalam mengakses berbagai layanan daring, apakah masyarakat juga akan semakin mudah untuk tercerahkan? Apakah masyarakat akan semakin mudah mengakses pengetahuan dan keterampilan baru untuk memecahkan berbagai persoalan? Atau justru sebaliknya? Semakin gampang meluapkan emosi, katarsis, ngomel-ngomel di kolom komentar detik.com, dan menghujat langsung para pejabat lewat mensyen ke akun Twitter mereka?

Lalu, apa sebenarnya yang salah dengan bangsa ini? *bergaya motivator dengan backsound lembut*
Tidak lah, terlalu agung buat saya kalau harus menghakimi segenap bangsa. Hanya saja, dari Youtube saya dapat video yang lumayan mencerahkan terkait fenomena ini, yaitu tergerusnya rasa empati. Video ini ((Versi ceramah yang lebih panjang bisa ditonton di sini, kalau ada benwit berlebih.)) merupakan nukilan dari video presentasi Jeremy Rifkin mengenai bukunya, The Empathic Civilization.

Dalam video ini opa Rifkin sedikit bercerita tentang terobosan baru di dunia Neurobiologi, dengan ditemukannya “mirror neuron” di otak primata, termasuk manusia, yang salah satu fungsinya adalah terlibat dalam proses empati, alias merasakan yang orang lain rasakan. Dijelaskan pula dalam video ini bahwa empati itu bersifat alamiah, naluriah, bahkan sudah ada sejak bayi lahir dan saat balita mengenali sekitarnya. Empati muncul sebagai bagian dari cara manusia memaknai dan menghargai kehidupan. Ketika anak menyadari kalau suatu saat ia akan mati, ia akan mendapati bahwa hidup ini sangat berharga. Anak-anak mudah memahami rasa sakit ketika melihat orang lain menderita, dan jika perasaan ini terus dipelihara, sebenarnya akan banyak bermunculan filantropis baru di dunia.

Masalahnya, empati ini sendiri begitu mudahnya tergerus ketika kita beranjak dewasa. Ikatan batin manusia dengan manusia lain, atau dengan makhluk lain dan alam sekitarnya, seolah terlalu lemah dibandingkan dengan hubungan lainnya. Hubungan famili dan kesukuan, persaudaraan atas dasar agama, dan juga nasionalisme atas dasar batas negara, jauh lebih kuat dalam membangun ikatan dan menempa loyalitas. Dan tebak apa yang terjadi? Perang.

Akibat lain dari lunturnya empati adalah sifat-sifat manusiawi lainnya: narsisime, materialisme, kekerasan dan agresi. Ketika keluarga, sekolah, dan struktur sosial hingga negara gagal menanamkan rasa empati di dalam jiwa generasi penerusnya, sifat-sifat tersebut mengemuka, dan tercermin pula dalam persona-persona di dunia maya.

Mari bercermin ke akun-akun yang kita miliki, apa isinya? Keluhan? Hujatan? Omelan? Pamer makanan? Pamer kesolehan? Pamer gadget baru? Keminter? Keminggris? Pamer tulisan dengan gaya bahasa njlimet? Apa yang baru kita baca, tonton, dan dengar? Modus berbalut tulus? Sepik berlapis bait-bait puitis? Foto dengan si dia? Foto buah hati? Kutipan orang terkenal? Kutipan hatidh dan ayat suci? Cerita inspiratif tak peduli isinya hoax? (dan tambahan) Foto-foto yudisium dan wisuda? Eh ya ternyata, hampir semuanya bisa dikelompokkan ke dalam empat sifat yang disebut opa Rifkin sebelumnya: narsis, materialis, keras, ataupun agresif. ((Dalam paragraf ini, tentunya saya mencoba melesatkan ribuan anak panah ke udara, yang beberapa (ratus) di antaranya kena punggung sendiri :mrgreen: jadi jangan terlalu ditanggapi dengan emosi ya…))

Oh ya, saya bilang “hampir” loh ya. Artinya tentu masih ada banyak konten-konten berbobot dan mencerahkan yang bisa kita temukan di dunia maya. Ada banyak bloher™ yang menulis hal-hal istimewa dan harus diketahui dunia. Terlepas dari apakah seseorang menulis dengan Tulus atau ada modus, demi mencerdaskan atau mengais trepik, saya yakin konten-konten berkualitas akan selalu bermunculan, dari resep donat hingga human trafficking, dari babad pewayangan hingga Twilight #eh.

Saya melihat blog masih semencerahkan sebelumnya, ketika berkesempatan membaca blog rekan-rekan sejak era Peleton 2007, baik di tulisan lama maupun baru, selalu ada rasa bertambahnya pemahaman akan dunia, dan rasa makin sempitnya wawasan dan cupetnya sudut pandang. Dan maaf saja, ini tak bisa saya temui di FB apalagi di Twitter, meski banyak seleb dengan kultwit-nya yang gegap gempita itu. Blog, buat saya pribadi masih yang paling komprehensif untuk menyampaikan informasi, tanpa terpotong-potong karakter atau terbatasnya visibilitas.

Hanya saja, untuk soal konflik, blog memang bukan lagi yang terdepan, jadi buat yang masih suka perang-perangan, adu sinis, sarkastis dan nyinyir, silakan nikmati kolom komentar detik.com, kompas.com, Yahoo! Indonesia, atau twitwar, atau halaman gerakan anti-antian di FB. Mudah, murah, dan tentunya memuaskan naluri gemar berkonflik 😉 . Toh, semua orang bebas saja untuk bertanya “Lajeng kulo kedah sanjang Wow, mekaten?”

Karena memang, menjadi Rennaisance Men itu tidaklah gampang… ((Dipelintir sesuka hati dari komen Bapak Guru…))

Leave a Comment