Dawn of the Seeker (2012) – Dragon Age Rasa Anime

“Your prejudice misleads your judgement, Cassandra. To see the truth, you must look through the eyes of your heart, and not just the ones in your head. Not everything is what it appears on the surface…
Sorry, I must sound just like a father lecturing his child.”

– Byron


Jika Anda penggemar video game bergenre dark fantasy RPG, mungkin sudah familiar dengan seri Dragon Age. Game keluaran BioWare ini kebetulan adalah salah satu game favorit saya. Jalan cerita yang kompleks, konflik yang berlapis, bermacam karakter dengan keunikan masing-masing, ditambah kualitas grafik yang bagus dan nyeni, membuat saya betah berlama-lama berkeliling di seantero Ferelden.

Seperti game-game populer lainnya, Dragon Age pun tak luput dari garapan sampingan lainnya dalam rangka memaksimalkan profit. Dan kali ini, Dragon Age diangkat menjadi film panjang, dengan judul Dragon Age: Dawn of the Seeker (DotS). Berbeda dengan game-nya yang full 3D, DotS digarap sebagai film anime dengan menggabungkan karakter 2D dan lingkungan 3D.

Tokoh utama dalam DotS adalah Cassandra Pentaghast. Yang pernah memainkan Dragon Age II tentu mengenal ibu bos galak yang menginterogasi Varric sepanjang narasi DAII ini. Nah, di film ini diceritakan masa muda si ibu, dan perjalanannya mengungkap konspirasi besar beberapa tokoh-tokoh penting yang ingin mengkudeta Orlais. Dalam perjalanannya ia ditemani oleh Regaylan, seorang circle mage kepercayaan mentor Cassandra, Byron. Hubungan Cassandra-Gaylan ini seakan menguatkan sifat tsundere yang dimiliki Cassandra di kemudian hari :).

Musuh terbesar mereka adalah seorang blood mage bernama Frenic, yang bersama kompatriotnya berusaha merebut Orlais dari kekuasaan Chantry, orde agama mayoritas di Orlais. Chantry sendiri tak sepenuhnya bersih dan teraniaya, karena diam-diam, ada oknum-oknum yang berambisi meraih kekuasaan yang lebih tinggi. Oknum-oknum ini berkonspirasi dengan blood mage membuat rencana yang ‘sesuatu banget’ saat pertemuan para Grand Cleric (bos-bos Chantry antar negara), dengan bocoran mengejutkan: memanfaatkan naga yang dikendalikan gadis Elf kecil bernama Avexis.

Sampai di sini, sepertinya hampir semua elemen utama yang ada dalam Dragon Age sudah ter-cover di film ini. Selain itu, ini kali pertama saya akhirnya melihat langsung setting Orlais, yang sebelumnya hanya diceritakan dari mulut ke mulut baik di DA:Origins maupun DA II. Sebagai kerajaan terbesar di benua Thedas, Orlais digambarkan cukup mewah dan kaya raya dibandingkan Ferelden yang terkesan ‘ndeso’.

Adegan pertarungan tentu tak boleh luput dari perhatian, karena gameplay Dragon Age yang utama selain membaca ribuan baris dialog adalah bertarung. Sepanjang film, saya tak bisa tidak, terus menyematkan kelas petarung ke setiap tokoh yang ada. Cassandra tentunya seorang rogue, karena lebih senang berkelahi dengan dua pedang, menyerang dari belakang, dan menggunakan belati sebagai senjata pamungkas. Byron adalah tank dengan armor lengkap dan berat, siap menerima serangan setiap musuh. Gaylan cenderung lebih ke healer sedangkan Frenic seorang shapeshifter yang bisa berubah wujud menjadi burung gagak.

Kualitas grafik film ini bisa dibilang sangat bagus, ditunjang pula dengan akting pengisi suaranya yang mantap. Sayangnya, plot yang dihadirkan terkesan datar-datar saja dan terlalu mudah ditebak. Mungkin karena sebagai prolog, tidak ada hal yang benar-benar baru yang bisa dihadirkan di film ini.

Kekurangan lain dari film ini adalah minimnya kemunculan ras lain. Hanya ada satu elf (Avexis) yang memegang peran kunci, dan seingat saya, tak seorang pun dwarf dan qunari yang muncul. Mungkin ini karena Orlais yang mewah dan ‘tinggi’ itu merupakan tempat yang kurang bersahabat bagi warga kelas dua seperti mereka, atau, bisa jadi mereka sengaja disimpan untuk film-film berikutnya, dicicil lah biar bisa bikin kisah baru lagi :p.

Overall, film ini tidak benar-benar istimewa, cukup menarik mengikuti konflik yang ada, namun ya, begitu-begitu saja. Nilai plus di grafik dan akting pengisi suaranya seakan tertutupi pula oleh kehambaran plotnya. Akan tetapi, sebagai tontonan ‘bak buk’ dan tambahan referensi bagi penggemar game-nya, film ini bolehlah. Lebih-lebih lagi, gaya anime-nya memberi nuansa baru bagi game yang tadinya kental bergaya medieval banget. Jadi berasa nonton Claymore gitu…

Leave a Comment