“Do not raise your children the way [your] parents raised you, they were born for a different time.”
– Ali ibn Abi Thalib
Jiah, judulnya itu “motivator” banget!
Iya, saya tiba-tiba saja kesambet Mario Teguh ketika secara impulsif ingin menulis ini. Awalnya adalah ketika member salah satu grup di Facebook memposting video berikut:
Video yang sebenarnya umum saja, dan banyak presentasi serupa bertebaran di YouTube. Hanya saja, ada beberapa hal yang mengganjal, terutama ketika menyangkut perbandingan kondisi “pendidikan” yang ideal dengan yang tengah berjalan.
Pertama, anak-anak yang kita ajar berasal dari generasi yang berbeda.
Dulu waktu sekolah, saya cuma dapat informasi dari berlangganan majalah Ananda seminggu sekali, dan sesekali membaca buku di perpustakaan. Sekarang anak-anak bisa memperoleh berbagai informasi dalam hitungan detik, langsung ke genggaman mereka.
Setahun lalu seorang guru di sekolah saya bercerita kalau anak-anak bikin grup band, dan mempromosikan video mereka lewat Facebook dan YouTube. Batin saya pun bersorak, inilah generasi masa kini; anak SMP yang sudah bangga dengan kreasi mereka. Lalu, sebulan lalu guru yang lain bilang, anak-anak bikin video Harlem Shake versi SMP, di kelas, dengan properti sekolah… Kali ini batin saya kembali tersentak, aduh cepatnya progres mereka…
Seperti halnya kutipan Imam Ali di atas, John Dewey juga menjelasan, bahwa kita harus menyiapkan anak-anak kita bukan untuk dunia di masa lalu, bukan pula di masa kita saat ini, melainkan untuk masa depan mereka.
Masalahnya, konsep “masa depan mereka” itu yang seperti apa? Apakah masa depan mereka harus kita samakan dengan pencapaian kita saat ini? Ataukah dengan cita-cita kita yang tak kesampaian? Ataukah kita justru sudah menetapkan vonis mengikat, bahwa masa depan mereka akan seperti ini, seperti ini, dan seperti ini?
Karena masa depan itu, well, kok ya terasa absurd…
Kedua, fungsi sekolah (harusnya) sudah berubah. Sekolah seperti yang kita kenal sekarang adalah produk revolusi industri dari abad ke-18, dengan bolehlah ada tambalan di sana-sini. Konsepnya tetap sama selama ratusan tahun: anak dari satu kelompok usia yang sama dimasukkan ke mesin produksi bernama ruang kelas, diproses lewat pembelajaran sit-in bersama-sama dengan waktu yang rigid dan target seragam, dan nanti dikeluarkan dari mesin produksi lewat pintu ujian. Hasil akhir diseleksi untuk memilah dan memilih yang layak untuk diproses dulu di bangku kuliah dan yang langsung dilempar saja ke pasar. Ya, pasar. Semua akhirnya terpulang ke pasar untuk menyerap produk sekolahan tersebut sesuai kebutuhan.
Dan pasar zaman sekarang, katanya tidak lagi terlalu memperhatikan ijazah atau kualifikasi akademik semacam itu. Sekarang yang dicari yang bisa kerja, mau lulusan apa terserah. Kinerja yang akhirnya menentukan terserap tidaknya komoditi bernama lulusan itu.
Masalahnya, seberapa besar sih sebenarnya kebutuhan pasar? Seimbangkah dengan kuantitas serta kualitas produk yang tengah dihasilkan sekolah? Dan di mana anak-anak yang so called bermasalah, tak mampu dan putus sekolah bisa diposisikan?
Ketiga, guru seperti apa yang mampu mencetak generasi penerus dengan masa depannya yang gilang gemilang? Karena bisa dibilang dengan kecepatan dan percepatan iptek seperti sekarang, kompetensi guru menjadi taruhan. Ini tak lepas dari pabrik pencetak guru, alias kampus-kampus keguruan yang harus terus menyesuaikan dengan kondisi zaman.
Masalahnya bagaimana dengan produk-produk sebelumnya? Guru yang belajar di era 1990-an hingga 2000-an diajar oleh dosen yang belajar di era 1970-an hingga 1980-an. Mereka akan mengajar anak-anak di era 2010-20-30an. Siapkah? Seberapa siap? Apa saja yang harus dipersiapkan?
Intinya adalah bagaimana mengisi celah yang muncul dari perbedaan generasi ini, mengingat ibu guru di foto itu sudah kelewat sering dibuli murid-muridnya yang cerdas-cerdas itu di berbagai situs meme…
Ah, pusing sendiri jadinya, kembali ke revisi dulu ah!
*log out*
Kredit foto guru: www.lacoe.edu/Jobs/CertificatedTeachingJobs.aspx