Do not attempt to live without vanity, since this is impossible, but choose the right audience from which to seek admiration.
– Bertrand Russell’s Ten Commandment #6
– “Kamu jangan sombong jadi orang, baru punya mobil seken aja lagaknya udah kayak…”
– “Ih, Mas Joko sombong sekarang, nggak pernah blusukan ke warung Neng lagi…”
– “Iya tuh, orangnya cakep sih, tapi sombongnya itu nggak ketulungan!”
– “Sesungguhnya ilmu dapat membuat sombong sebagaimana harta.”
Dan kok ya sepertinya ada banyak sekali istilah yang mewakili sifat ini. Sebutlah antara lain ujub, riya, takabur, sok, belagu, arogan, suka pamer, atau di daerah saya ada istilah pinamusti atau bekoyo. Bagaimana dengan istilah di daerah Anda?
Dalam bahasa Inggris saya juga agak sulit menemukan padanan yang paling pas untuk kata “sombong”. Lah soalnya di bahasa Inggris sendiri kosakatanya beragam; ada arrogant, assuming, blustering, conceited, contemptuous, disdainful, haughty, high and mighty, high-handed, imperious, insolent, looking down one’s nose at, lordly, overbearing, overweening, pompous, presumptuous, pretentious, proud, scornful, supercilious, swaggering, too big for one’s boots or breeches, turning up one’s nose at, uppish… Wah!
Dan menariknya, begitu banyaknya kosakata terkait sombong tersebut, kayaknya kebanyakan kita sematkan kepada ORANG LAIN yang tidak kita sukai. Stigma sombong dan turunannya begitu mudah kita tempelkan di jidat orang yang kita anggap masuk dalam kriteria “sombong” tadi. Kenapa bisa begitu mudah? Salah satunya bisa jadi karena ajaran agama sejak awal melarang sifat sombong.
Dalam skriptur agama Samawi, sombong dilambangkan sebagai sifatnya Iblis yang tak mau tunduk kepada Adam. Kenapa tak mau tunduk? Karena ia (a) merasa lebih hebat karena asalnya dari api dan (b) merendahkan Adam yang cuma dari debu. Orang tentu tidak mau disamakan dengan Iblis, sehingga idealnya kita haruslah menghindari sifat sombong…
Eh, masalahnya kok di sekitar kita ada orang-orang yang kelihatannya sombong begitu, kita tidak suka, sifat mereka sudah macam Iblis saja, suka pamer hape baru, upload foto begaya di mobil, ganti cover pas liburan di Singapur, atau cerita baru ditraktir makan di hotel bintang enam. Ini tak bisa dibiarkan! Sombong sekali mereka!!!
Sombong pun bisa kita kategorikan berdasarkan apa yang disombongkan. Level terbawah sepertinya ya harta. Rumah, mobil, perabotan, gadget dll. Paslah kata Jimmy Carter, “Human identity is no longer defined by what one does, but by what one owns.” Lagian ini ‘kan yang paling mudah kita share di media sosial?
Di atasnya bisa jadi semacam sombong gegara orang tua, trah, silsilah, pangkat, dan kasta. Kesombongan a la priyayi ini mungkin peninggalan zaman feodal Londo dulu. Yang ini mungkin agak subtle ditampakkan, dan kalau bisa ke’priyayi’an diceritakan oleh orang lain saja, bawahan misalnya.
Atasnya lagi adalah kesombongan karena pencapaian, prestasi, dan ilmu. Ini agaknya paling ngeselin sekaligus paling “berbahaya” untuk diumbar. Satu contoh paling sering muncul mungkin adalah perkara “academic snobbery” alias kesombongan akademis. Seorang rekan yang kuliah di universitas nomor satu di Indonesia pernah bercerita soal dosen A yang tidak mau kerjasama dengan dosen B cuma karena beda mazhab, atau melarang mengutip dari dosen C, meskipun mungkin kutipannya relevan dengan bahasan si mahasiswa.
Kesombongan akademik ini tidak nyaman didengar, apalagi jika si snob itu dengan mudahnya mematahkan argumen lawan bicara dalam debat. Tambah sombonglah dia!
Sebentar, kenapa kok kelihatannya banyak sekali orang yang sombong ya? Dan orang-orang sombong itu kok ya tidak merasa kalau dirinya sombong? Hati mereka pasti telah tertutup oleh kesombongan itu. Padahal seberapa besar sih kekayaan, kekuasaan, atau keilmuan yang dimiliki mereka? Keciil dibanding kekayaannya Allah! Dasar orang-orang sombong! Untung saya tidak seperti mereka. Alhamdulillah saya tidak pernah merasa sombong seperti mereka! Ya, saya tidak pernah MERASA diri saya sombong!
Ummm… kayaknya di sini mulai terasa kalau kesombongan itu, well, lebih mudah dirasakan oleh orang lain. Ketika diri kita sendiri mulai menunjukkan ciri-ciri sifat semacam ‘sombong’, umumnya kita cari kosakata lain untuk meng’halus’kan sifat tersebut. Lucunya kok ya di hadapan orang lain usaha ini justru bisa membuat kita dianggap dobel sombong! Waduh!
Sebagai contoh, gambar ini mungkin mewakili:
Hwehehe, dari contoh di atas kok saya semakin merasakan kalau kesombongan itu, seperti yang dibilang kawan di atas, mudah dilihat di diri orang lain, pun sulit dirasakan jika nempel di diri sendiri. Ibarat pepatah, semut di seberang lautan tampak jelas, gajah di pelupuk mata tak terlihat. Dan tak pelak, saya teringat obrolan Sheldon Cooper dan ibunya berikut:
Mrs Cooper: Now you listen here, I have been telling you since you were four years old, it’s okay to be smarter than everybody but you can’t go around pointing it out.
Sheldon: Why not?
Mrs Cooper: Because people don’t like it.
Ya, kita tidak suka orang lain sombong. Justifikasinya mungkin ada, bahwa sombong dengan meninggikan diri sendiri dan merendahkan orang lain itu tidak baik. Akan tetapi mencap sombong sendiri adalah wujud kesombongan yang lain. Ketika kita menganggap orang sombong karena suka pamer, mungkin saat itu kita juga merasa sombong karena merasa lebih hebat bisa menahan keinginan untuk pamer.
Kesimpulannya sederhana, kita tidak suka melihat orang yang sombong…
…
…
nya melebihi kesombongan kita sendiri…
Foto Merak courtesy of Gualberto107 at FreeDigitalPhotos.net”.