Flo, Jogja, dan Rasa Memiliki

Bahwa kasus Flo sudah begitu ramai diperbincangkan di jagad maya, mungkin semua kita sudah maklum. Bahwa kini kasus serupa terjadi lagi di Bandung, ini juga tambah bikin mumet.

Ada banyak persepsi dari lingkar medsos yang saya ikuti mengenai Flo dan omongannya. Kebanyakan reaktif, terutama kawan-kawan yang pernah menetap di Jogja, tak terima rumah kedua mereka dihina-dina sedemikian rupa. Sebagian lagi justru mengeluhkan sikap reaktif ini, apalagi mengingat sampai ada yang membawa kasus Flo ke ranah hukum. Cerita jadi makin panjang sampai-sampai Flo harus menghadap empunya Jogja untuk minta maaf. Sebagian lagi, yang lebih hipster intelek melek hukum, membahas soal pasal karet UU ITE yang dijadikan landasan. Pasal karet yang sama yang pernah menyeret seorang ibu, Prita Mulyasari.

Saya ikut yang mana? Yang reaktif lah :mrgreen: karena saya juga pernah tinggal tiga tahun di Jogja. Kota ini di ingatan saya masih jadi kota yang begitu cozy, nyaman untuk ditinggali. Harga-harga murah, makanan melimpah *lirik perut, dan orangnya ramah. Ada memang yang pernah bikin tak nyaman; seperti kepanikan saat Merapi meletus, atau macetnya yang bottleneck, atau perilaku warga pendatang yang kadang mengesalkan. Jogja bukan kota yang sempurna, tetapi setidaknya sebagian hati saya telah tertambat di sana.

Saya mungkin bukan satu-satunya yang terpesona pada Jogja. Setidaknya beberapa kawan sesekali masih meng-update status “Kangen Jogja” sekian lama setelah lulus. Ada yang terpesona dengan keindahan alam, gunung, dan pantainya, ada pula yang mengagumi keragaman budayanya. Ada yang mensyukuri berlimpahnya buku, ada pula yang mengangeni senyum mBak penjual lotek #eh. Tak harus tinggal lama untuk mengklaim kota ini sebagai tempat favorit untuk dikunjungi, lagi dan lagi. Jogja seolah menarik banyak orang untuk ikut merasa memiliki.

Rasa memiliki inilah, yang mungkin membuat banyak yang “terserang” dengan pernyataan Flo. Rant semacam itu sebenarnya sudah jamak terjadi di era sosmed yang minim empati ini. Kemarahan dibalas dengan kemarahan, dengan keroyokan, dengan tuntutan. Dan seperti lazimnya tindakan yang diambil saat sedang marah, kadang akibat jangka panjangnya tak terpikirkan.

Padahal, seperti kata Ratu Hemas, kebencian bisa muncul dari mana saja. Flo ngomel, tapi ia tidak secara masif, terstruktur, dan sistematis™ mengajak orang lain untuk membenci. Di sisi lain, banyak pihak lain, selebtwit, seleblog, seleb fesbuk, yang punya kemampuan menulis bagus, retorika dan diksi luar biasa menggugah, toh memanfaatkan kemampuannya untuk menebar kebencian, hasutan, bahkan fitnah. Yang begini haruskah juga kita biarkan? Atas nama apa? Kebebasan berbicara?

Di sini saya tersadar, ocehan Flo sebenarnya tak lebih dari sekadar buih kata, kalau saja kita bisa dengan mudah mengabaikan. Karena perkara suka dan benci itu adalah persepsi, pribadi. Kadang tak harus beralasan, pun kadang bisa temporer sifatnya. Yang bahaya itu, sekali lagi, yang menebarkan kebencian dan mengajak orang di lingkarannya untuk turut membenci, secara masif, terstruktur, dan sistematis™! 😈

2 thoughts on “Flo, Jogja, dan Rasa Memiliki”

  1. Saya pribadi memandangnya begini, internet itu volatile. Bayangkan saja, dalam 5 menit tweet dan RT susul-menyusul, belum lagi ditambah Facebook, Path, dsb. Sekuat apapun pengguna pasti lama-lama terjadi ego depletion.

    Kalau sudah begitu, ya, cuma panas dikit bisa langsung meletup. 😆

    Kebebasan berbicara itu penting. Akan tetapi yang tak kalah penting, yang mau berbicara itu tenang, sopan, terkendali, dan lurus pikirannya… 😆

    Reply
    • Wah, artikel soal ego depletion itu menarik juga.

      Yaa, seperti kata Mbak Ira “think before posting” itu, meski basi di era serba tergesa sekarang ini, tetap mesti berlaku, khususnya untuk menjaga reputasi kita sendiri :mrgreen:

      Reply

Leave a Comment