Tentang LEGO

The Man Upstairs: You know the rules, this isn’t a toy!
Finn: Um… it kind of is.
The Man Upstairs: No, actually it’s a highly sophisticated inter-locking brick system.
Finn: But we bought it at the toy store.
The Man Upstairs: We did, but the way I’m using it makes it an adult thing.
Finn: The box for this one said “Ages 8 to 14”!
The Man Upstairs: That’s a suggestion. They have to put that on there.

– The LEGO Movie (2014)

 


Awal 90-an ketika masih SD, saya pernah terpesona melihat iklan mainan di satu stasiun TV swasta. Saya lupa persisnya, tapi iklan itu punya dua versi cerita: kejar-kejaran antara polisi dan penjahat dengan berbagai kendaraan, di darat maupun di air, dan petualangan astronot di planet luar angkasa dengan pesawat-pesawat canggihnya. Saya tahu, mainan yang diiklankan itu pastilah sangat mahal dan mungkin tak tersedia di kota saya. Yang saya tidak tahu, ternyata itu bukan sembarang mainan, melainkan sebuah sistem bernama LEGO.

 

Dua dekade berselang saya kembali terpapar ‘iklan’ LEGO, yang kali ini panjangnya luar biasa: satu setengah jam. :mrgreen: ‘Iklan’ yang saya tonton di bioskop itu judulnya The LEGO Movie. Film ini berfungsi ganda: sebagai sarana jualan yang efektif, juga jadi ajang nostalgia, mengingat kembali mainan lama yang tak pernah terbeli; best thing I never had kalau kata Neng Beyoncé.

The LEGO Movie menginspirasi saya untuk menekuni lebih jauh dunia per-LEGO-an. Sejak awal tahun 2014, perhatian saya banyak tersita untuk mempelajari berbagai hal terkait LEGO, yang ternyata tidak sesederhana yang saya kira.

LEGO sekali lagi adalah sebuah sistem, istilah kerennya: an interlocking brick system. Sistem ini memastikan setiap elemen selalu tersambung dan kompatibel, apapun tema dan set yang kita punya, dan tahun berapapun mereka diproduksi. Sistem ini telah diterapkan sejak 1963, dan hingga kini masih menjadi standar yang tak tergantikan. Blok yang dibikin tahun 1970-an akan tetap bisa ‘klik’, nyambung dengan yang diproduksi tahun 2015. Sistem ini ditunjang pula oleh daya tahan bahan plastik (ABS) dan tingkat presisi tinggi yang diterapkan di pabrik saat proses produksi. Tak heran kalau mainan ini bisa bertahan puluhan tahun.

Ya, puluhan tahun, sehingga di tiap generasi, selalu bermunculan penggemar baru. LEGO tak mengenal usia, walaupun di kalangan fans, ada istilah ‘dark age’. Ini adalah masa ketika seorang anak yang sewaktu kecilnya penggemar LEGO, masuk usia SMP/SMA dan merasa kurang ‘keren’ dengan hobinya. Ia melupakan balok-balok plastik ini dan meninggalkannya di bawah ranjang atau di loteng kamar. Kelak, ketika dewasa, sudah bekerja, dan mungkin punya anak, ia kembali bernostalgia melihat set baru, lalu membongkar kembali koleksi lamanya. Inilah cikal bakal fans LEGO dewasa, atau yang dikenal sebagai Adult Fan of LEGO (AFoL). Merekalah sebenarnya ‘target pasar’ LEGO, meski anak-anak tetap menjadi konsumen terbesar, minimal sebagai alasan buat para ayah berkelit dari omelan ibu-ibu. 😈

Kasus saya mungkin berbeda dengan kisah para AFoL di atas. Saya tak punya pengalaman masa kecil bersama LEGO, tapi saya punya ‘alasan’ yang sama dengan mereka, yaitu Dira. :mrgreen: Jadi anak saya ini kebetulan sejak kecil senang main bongkar pasang. Nah, ketika ke Jogja, kami menginap di tempat famili yang anak perempuannya kuliah di jurusan Arsitektur UGM. Nadira terkagum-kagum melihat karya-karya Kakak Emma itu. Saya melihat kesempatan yang baik untuk mengenalkan mainan ini kepada Dira.

Kebetulan, ada tema baru yang diluncurkan sejak 2012 yaitu seri Friends. Seri ini kentara sekali menyasar target anak perempuan, lewat koleksi yang didominasi warna cerah dan girly. Kami pun pelan-pelan mulai mengumpulkan beberapa set untuk dimainkan. Sesekali, saya juga menyelipkan pembelian set dari seri City, misi pribadi tentunya, hehe…

Selain set, ada pula beberapa buku dan video dokumenter yang memperkaya wawasan saya. Ada juga aplikasi LDD yang jadi solusi hemat bermain tanpa keluar uang. Plus, bermacam pernak-pernik lain yang mungkin juga bisa jadi bahan tulisan. Sekali lagi, bakal banyak yang bisa diulas dari LEGO. Tinggal sayanya aja, konsisten atau tidak. 😈

4 thoughts on “Tentang LEGO”

  1. Satu lagi blogger maen lego. Selama ini cuma beberapa teman blogger ibukota yg obrolin. Baguslah. 😀

    Saya sempat main Lego juga waktu kecil dulu. Hanya set yang sederhana sih. Sekarang masih dark ages. Gak kebeli soalnya. Ahaha.

    Reply
    • Oya, enaknya kalau ibukota pasti lebih banyak pilihan. Di sini kalau mau cari set hanya ada di satu mal, itupun sedikit set saja yang dipajang.

      Semoga kapan-kapan bisa pesan ke teman blogger ibukota ybs :mrgreen:

      Reply
    • Kayaknya itu versi bajakannya, atau kalau istilah Lego, bootleg. Yang begitu banyak dijual di toko mainan dan pasar di sini. Klo di Banjar Lego cuma ada di Kidz Station sama di kasir Gramedia setahuku.

      Reply

Leave a Reply to Amed Cancel reply