Saya pertama mendengar soal buku Paulo Coelho, The Alchemist dari radio tempat saya bekerja, sekitar tahun 2005. Waktu itu dibuat semacam sandiwara radio (aih istilahnya 90-an sekali…) beberapa puluh episode dan diputar secara berkala. Tertarik dengan ceritanya, akhir 2005 saya pun membeli bukunya.
Karena kesibukan di tempat kerja, menggarap skripsi, dan mengurusi istri yang tengah hamil, buku ini baru sempat dibaca ketika saya dapat waktu luang, saat Nadira lahir dan harus dirawat di inkubator selama 12 hari. Saya yang mudah terpesona ini pun begitu terpukau dengan cara Coelho membangun narasi cerita sembari menyisipkan kalimat-kalimat kutipable seperti ini.
The secret of happiness is to see all the marvels of the world, and never to forget the drops of oil on the spoon.
Entah dipinjam siapa, buku itu kemudian tak ada lagi di rak. Akan tetapi isi pesannya, tentang mengikuti kata hati, mengarungi legenda pribadi dan sebagainya kadung melekat. Pun, ketika kesempatan mengambil S-2 datang tanpa diduga, penggalan isi novel itupun terngiang kembali. Tekad terpatri, proses dijalani tanpa ada rasa takut gagal, dan Jogja akhirnya menjadi persinggahan berikutnya.
Di Togamas Gejayan, kemudian saya merasa harus membeli kembali buku ini. Dan kalau sampai saya beli buku yang sama lebih dari sekali, pastilah itu salah satu buku terpenting yang pernah saya baca.