Mencoba Elementary OS

Sejak sebelum punya PC sendiri, 2002 lalu, saya sudah terjebak di ekosistem Windows. Dari Windows ’98 hingga 10, sepertinya sulit sekali melepaskan ketergantungan pada platform ini ketika menggunakan PC atau laptop.

Ada sih keinginan untuk beralih ke Linux, bahkan dulu ketika masih kerja di radio, sempat iseng pesan DVD Ubuntu langsung ke Canonical. Tapi ya wacana tinggal wacana, OS-nya datang, tapi sebatas dicicipi lewat Live CD doang, tak berani instal juga.

Selalu ada alasan yang bisa dicari-cari kenapa sulit sekali bermigrasi ke Linux. Dari sesederhana nggak familiar, takut keluar dari zona nyaman, ga bisa main game, hingga kesulitan mencari pengganti sepadan untuk aplikasi-aplikasi yang sudah biasa dipakai di Windows.

Sampai beberapa pekan lalu, laptop rekan sekantor kena ransomware

Virus bernama Nelasod itu mengganti dan mengunci semua ekstensi file yang ada di laptop beliau. Padahal laptopnya keluaran baru, dengan Windows 10 original. Bah.

Dari situ saya makin kuat menimbang untuk beralih ke Linux. Akhirnya saya pun membuat beberapa counter untuk keengganan saya migrasi.

  1. Bisa karena biasa. Linux tentu berbeda dengan Windows, tapi kabarnya sekarang mempelajari Linux tak semenakutkan jaman dulu. Desktop environment untuk Linux sekarang sudah makin intuitif dan mudah dipelajar.
  2. Lagipula, di zaman now, tutorial dan segala bantuan bisa dicari sendiri, lewat situs, YouTube, maupun forum. Tenang.
  3. Semakin tua sibuk saya semakin sulit pula cari waktu untuk main game di PC atau laptop. Saya malah lebih intens bermain di smartphone, karena kemudahan untuk main di mana saja. Laptop bisa sepenuhnya digunakan untuk kerjaan, dan kebetulan pula, PC saya harddisk-nya error, sehingga sekarang tak lagi terpakai.
  4. Tinggal satu alasan, aplikasi. Kebetulan sekarang era berbasis cloud, sehingga beberapa aplikasi sudah bisa diakses cuma bermodal browser. Sisanya, semacam audio & video editor, screencast ponsel ke layar laptop, atau penampil presentasi, semoga nanti bisa ketemu yang lumayan sama fungsinya.

Jadilah, hari Sabtu lalu, saya putuskan migrasi sepenuhnya ke Linux. Atas saran beberapa kawan, dan entah kenapa feeling saya juga memilih OS ini, saya pun mengunduh Elementary OS. Setelah melalui proses yang agak bertele-tele dan bikin panik, akhirnya OS pun terinstal sempurna setelah tiga kali percobaan.

Kesan pertama? Cantik! Desainnya memanjakan mata dan beberapa kawan yang saya kirimi fotonya langsung bilang ini mirip sama macOS.

Tampilan Elementary OS

Selebihnya? Bingung lah saya. Walaupun setelah dua hari, saya sudah mulai terbiasa dengan beberapa fungsi yang beda dengan Windows, terutama itu tombol minimize yang ga ada…

Hal yang juga masih mengkhawatirkan saya adalah bagaimana mengakali suhu laptop saya yang emang dari dulu bermasalah. Di Windows saya sudah ketemu penangkalnya, nah di Linux semoga saya juga bisa ngatasinya.

Oya, satu yang saya suka juga di sini adalah kemudahan menangkap layar. Dengan tombol Alt+Print, hanya area seluas jendela aplikasi yang ingin kita tangkap yang akan tersimpan. Ini memudahkan karena kita nggak harus nge-crop lagi.

Spek laptop saya yang terbaca di About System-nya.

Masih perlu banyak waktu untuk menyesuaikan diri, tapi semoga saya bisa tetap istiqamah di jalan Linux.

2 thoughts on “Mencoba Elementary OS”

Leave a Reply to Amed Cancel reply