Call me old-fashioned lover boy, tapi kalau disuruh memilih, saya lebih suka bekerja di depan PC dibanding laptop. Entah kenapa, ada nuansa yang tak bisa terganti ketika klak-klik mengetik di keyboard besar diiringi suara kipas casing.
Memang, sekarang keberadaan PC makin tergeser oleh perangkat macam laptop dan gadget portabel lainnya. Laptop dan smartphone memang lebih ringkas dan mudah dibawa, sehingga memudahkan bagi yang pengen kerja sambil hangout di luar, misalnya. ‘Kan nggak masuk akal kalau harus gotong CPU segede gaban ke café.
Tapi tetap saja, karena saya ini (ngakunya) introvert, saya lebih suka kerja sendiri dengan PC di meja kayu peninggalan Mas Rahmat yang dulu ngontrak rumah pas saya tinggal ke Jogja. PC menemani saya sejak masa kuliah hingga sekarang, dan terhitung sudah tiga PC yang saya gunakan. Postingan kali ini saya coba merekap ketiga PC tersebut.
01 – Si Putih (2002-2012)

Sebagai PC pertama tentu Si Putih ini sangatlah bersejarah. Walau kini udah nggak bisa dihidupkan lagi, jasadnya masih tersimpan di loteng atas. Dibeli tahun 2002, sempat jadi korban listrik pas tower PLN dicolong maling dulu, dan harus kena overhaul tahun 2005.
Pas awal beli, speknya udah lumayan lah di zamannya, pakai Intel Pentium 4 1,5 GHz, RAM 128 MB (!) dan Harddisk 20 GB (!!!). RAM itu kemudian saya tambah satu keping sehingga total jadi 256 MB, dan pada 2004, pas ada duit lebih, saya beli HDD dengan ukuran jumbo saat itu: 80 GB. Yang 20 GB dengan angkuh saya pensiun dini-kan.
Sialnya, si 80 GB itulah yang jadi korban listrik meleduk. Pas lagi format ulang Windows XP, listrik mati, dan tewaslah si HDD dengan sukses. Untung masih ada si 20 GB yang masih setia. Masalahnya, pelan-pelan motherboard-nya juga bermasalah, efek dari kelistrikan yang parah itu. 2005, mobo VIA itupun ambruk, dan harus ganti ke mobo ASUS. Sedihnya, saat itu teknologi RAM sudah berubah, dan SDRAM yang dulu dipakai di VIA jadi obsolete. Saya pun harus beralih ke 512 MB DDR generasi pertama.
2006, karena kapasitas penampungan makin seret, mau tidak mau HDD baru dibeli. Kali ini saya beli yang 40 GB aja, sehingga total gandengan jadi 60 GB. Selain itu, saya nemu VGA Card bekas, NVidia GeForce 4 MX yang masih layak pakai lah.
Sampai situ, rasanya tidak ada upgrade yang berarti buat Si Putih. Casing dan Prosesor tak pernah ganti. Power supply juga rasanya awet tak pernah rusak, walau sering kena hajar listrik tak stabil PLN. Yang jebol kalau nggak stavolt, ya langsung mobo dan HDD…
Dari 2008 sampai 2010, penurunan performanya makin terasa, apalagi saat itu internet mulai marak dan menuntut kinerja komputer yang lebih tinggi. Kebetulan saat itu saya juga beli laptop, sehingga PC mulai jarang dipakai.
Nah, akhir 2011, ada niatan untuk upgrade PC lagi. Saat itu, dengan alasan bikin media pembelajaran untuk bahan tesis, saya merasa perlu naikin spek PC. Setelah nanya ke kawan yang lebih menguasai, PC saya ternyata udah ketinggalan banget teknologinya. RAM saat itu sudah generasi DDR 3, dan Harddisk juga tak lagi pakai slot parallel ATA yang kabelnya besar-besar itu. Jadi kalau saya ganti motherboard, misalnya, mau tak mau semua komponen lain harus ganti juga, mengingat prosesor, RAM, dan HDD-nya udah nggak mendukung. Mau tak mau, saya pun harus menabung dulu.
02 – APU (2012-2020)

Setelah pundi-pundi terkumpul, PC baru pun dirakit awal 2012. Highlight utamanya tentu adalah migrasi dari Intel ke AMD. Prosesor yang saya ambil adalah seri APU (Accelerated Processing Unit), yaitu gabungan CPU dan GPU dalam satu chip. Kelak, seri APU ini jadi jualan utama AMD di kalangan pengguna PC kere hore.
Seri APU yang tertanam di PC saya adalah AMD A4-3400 (Llano) 2,7 GHz. RAM yang digunakan sebesar 4 GB DDR 3, dan HDD secara ekstrem melonjak jadi 500 GB. Kerja jadi lebih nyaman, media buat tesis kelar, kuliah pun selesai, dan saya pulang tahun 2013. PC pun beralih fungsi jadi sarana main game…
Tak puas dengan kinerja APU yang memang tak bakal sekuat kartu grafis “betulan”, saya pun ngambil VGA Card kelas bawah, HIS Radeon HD 6570. Main game jadi lebih lancar dan beberapa game berat semacam Tomb Raider dan Dragon Age Origins bisa dilibas walau dengan konfigurasi rata kiri.
Tak banyak yang saya upgrade di APU ini selama delapan tahun pemakaian ini. Toh dengan spek yang ada, PC-nya tak bermasalah buat kegiatan sehari-hari. Power supply, mobo Biostar A55MH, prosesor, dan RAM tak pernah ganti. Yang rusak cuma HDD-nya yang akhirnya mati di awal 2019, hingga PC sempat nganggur hampir setengah tahun. November lalu saya beli HDD 500 GB baru, dan saya pasangi Ubuntu. Upgrade terakhir yang saya tambahkan Juni lalu adalah ganti monitor dari 14 ke 20 inci, dan beli speaker yang rada lumayan buat mengganti speaker USB lama yang udah dipakai sejak 2008.
Nah, sejak pakai Linux, APU malah mulai sering batuk. RAM 4 GB-nya kayaknya kurang, dan VGA-nya yang ketuaan mulai kurang kompatibel. PC jadi sering nge-freeze kalau banyak buka tab browser atau aplikasi berat. Proses booting juga sering kena loop sehingga harus sering reset. Selain itu, entah kenapa saya nggak bisa instal distro lain macam MX, Elementary atau Solus. Semuanya gagal dengan masalah yang bermacam-macam pula. Yang install-able cuma Ubuntu, sehingga saya nggak punya pilihan lain.
Masa pandemi membuat load kerjaan makin banyak juga. Ditambah lagi, laptop Mami rusak dan mati total, sehingga ia terpaksa mengungsi ke PC. Pakai Linux gapapa lah, masih bisa dipelajari. Cuma ya itu, bootloop yang kadang bermenit-menit bikin kerjaan terhambat. Saya sih ga masalah karena masih ada laptop ASUS X550Z, yang meski panasan dan tombol A-nya copot, masih bisa jalan lancar dengan Solus.
Nah, Mami pun saya tawarkan beli laptop baru atau rakit PC aja. Ia pilih yang kedua, dengan pertimbangan kerjaan sekarang yang lebih banyak dari rumah. Pertimbangan lainnya tentu, dengan budget lebih ketat, kita bisa dapat spek lebih tinggi. Saya pun bongkar celengan lagi.
03 – Mandalorian (2020- )
Akhirnya, Kamis (30 Juli) lalu kami ke toko komputer. Spek yang dirakit terserah si abang toko saja, berhubung saya nggak ngikutin perkembangan PC zaman now; lebih seru ngikutin perkembangan gadget Android soalnya. Dapatlah PC APU kembali dengan spesifikasi AMD Athlon 3000G 3,5 GHz + GPU Radeon Vega 3 dipasang di mobo ASRock A320M-HDV R4.0. Untuk RAM digandeng 2×4 GB DDR 4, dan upgrade paling penting, 240 GB SSD. Ya, akhirnya saya pakai SSD juga, sungguh tertinggal sekali.
Yang unik buat saya justru casing-nya yang sebenarnya generik saja. Cuma namanya itu loh, sama kayak salah satu serial favorit si Mbak. Jadilah saya namai saja PC baru ini Mandalorian. Desainnya cukup elegan juga dengan warna hitam pekat plus tempered glass di samping, dan sedikit aksen lampu LED warna-warni di depan, ala-ala PC gaming gitu.

Spek segini semoga cukup untuk pemakaian sehari-hari yang nggak berat-berat amat. Kalau pun nanti dirasa kurang, mobo yang ada katanya masih support untuk naik ke Ryzen 3 atau 5. HDD di APU lama sudah saya pasang juga, dan saya masih ngecek apa kartu VGA lama, si 6570 masih layak pakai di sini, atau harus cari yang baru.
Untuk pilihan OS, saya mencoba menginstal Manjaro, dan ternyata saya suka! Ini distro kayaknya gue banget, tapi karena saya belum pernah pakai Arch sebelumnya, sepertinya beberapa minggu ke depan akan banyak penyesuaian. Sejauh ini pemakaian di PC lumayan lancar jaya, belum ada kendala berarti.
Demikianlah rekapan tiga PC yang menemani saya kurang lebih 18 tahun terakhir. Kalau dihitung-hitung, usia tiap PC ini ada di rentang 8 sampai 10 tahun, jadi semoga Mandalorian bisa bertahan setidaknya hingga tahun 2028…