Lima Alasan Menggunakan Manjaro

Catatan: Postingan kali ini ditulis dari MX Linux :))

Setelah ganti mesin dan banyak mengutak-atik Manjaro, tak bosan saya mengatakan, ini distro Linux paling nyaman buat dipakai sejauh ini. Saya memutuskan menjadikan distro ini sebagai daily driver di Mandalorian karena beberapa alasan berikut.

1 – Arch + GNOME = Cantik

Sejak boot ke Live USB, nuansa hijau nan segar menghilangkan kesan menakutkan yang sebelumnya menghantui prasangka saya terhadap Arch. Ternyata di Manjaro, tampilannya nyaman banget di mata, kayak pas banget komposisi warna dan tema yang dipakai.

Manjaro sendiri tersedia dalam berbagai rasa. Ketika akan mengunduh ISO-nya, kita juga diberi pilihan desktop environment (DE) seperti XFCE, yang sepertinya jadi DE “default” Manjaro dan posisinya paling atas, juga KDE Plasma yang katanya paling banyak dipakai pengguna. GNOME malah ditaroh agak paling bawah, mungkin agak kurang populer.

Tadinya pengen pakai XFCE, tapi takutnya Mami yang sudah mulai terbiasa dengan antarmuka GNOME di Ubuntu bakal bingung lagi. Kalau KDE, saya yang takut, masih belum berani lah intinya. Rasa lain macam Cinnamon, Budgie, Mate, i3 dll, aduh nanti dulu juga, deh. Toh sejauh ini GNOME sudah cukup memenuhi keperluan pemakaian orang satu rumah.

Saya pribadi menggunakan layout tradisional, dengan semua perkakas ditaruh di bar bawah, kayak Windows XP zaman dulu lah. Untuk tema, saya sudah jatuh hati pada Manjarin yang membuat file manager tambah cantik dan ngepas dengan keseluruhan komposisi warna sistem.

2 – Fleksibilitas Kustomisasi

Sejatinya, kustomisasi di Linux memang jauh lebih membebaskan ketimbang Windows. Akan tetapi balik lagi ke kita sebagai pengguna, sejauh apa sih pengen ngutak-ngatik sistem ini supaya sesuai dengan maunya kita.

Nah, menurut saya Manjaro ini seimbang lah. Nggak sebebas Arch murni (atau mungkin juga Debian murni) yang mungkin akan membuat orang awam kayak saya ketar-ketir. GNOME juga mungkin tak sebanyak KDE dalam hal apa saja yang bisa diutak-atik, tapi tak apa, toh saya udah takut duluan sama KDE, ‘kok. Pun, Manjaro tak se-terbatas kalau kita pakai Elementary, misalnya. Jadi, meski saya bukan tukang oprek kelas berat, saya bisa dengan mudah mencari apa yang mau saya ubah, dan sejauh ini semuanya terpenuhi lah.

3 – Dukungan AUR

Meski Arch menawarkan repo yang sudah cukup besar, kalau masih kurang kita bisa berburu di Arch User Repository (AUR). Keberadaan AUR ini membuat saya sejauh ini tak perlu mencari aplikasi ke sana ke mari. Kalau nggak ada di repo resmi, tinggal cari di AUR. Nyaris semua aplikasi seperti Google Chrome dan Zoom udah ada di sini. Tinggal DroidCam yang saya masih belum ketemu solusinya.

Oya, Pamac-nya Manjaro ini juga enak sekali dipakai. Kalau dibandingkan dengan Software Center-Solus, saya rasa Pamac ini jauh lebih intuitif dan kaya fitur. Kemudahan pakai Pamac ditambah AUR membuat saya hampir tak pernah install aplikasi lewat Terminal.

4 – Workflow

PC ini utamanya diniatkan buat kerja, sehingga menggunakan Manjaro jadi pilihan yang ideal. Pas instalasi kita diberi pilihan mau pakai LibreOffice atau FreeOffice. Saya pilih FreeOffice karena lebih nyaman untuk membuka file-file berbasis MS Office macam *.docx dan *.xlsx. Tapi saya juga tetap install Libre buat jaga-jaga.

Mikropon saya, Samson Meteor Mic bisa langsung otomatis terdeteksi di aplikasi perekam. Printer HP Ink Tank bahkan bisa langsung dipakai tanpa install apa-apa lagi, karena HP Device Manager sudah terpasang dari awal.

Sejauh ini PC udah siap tempur buat kerja. Zoom meeting juga lancar walau ya itu, karena DroidCam nggak jalan, solusinya ya join di dua tempat: hape dan PC. Hape buat share video, sementara PC buat screen sharing dan manajemen lain.

5 – Gaming

Sejauh ini Manjaro juga cukup nyaman buat saya bermain game. Driver VGA sudah langsung otomatis terdeteksi ketika saya memasang Radeon 6570. Mungkin justru dukungan untuk VGA baru seperti Vega 3 di APU-nya Athlon yang malah belum optimal sehingga saya kena masalah grafik Factorio yang ambyar kemarin.

Steam juga sudah tersedia sebagai aplikasi bawaan. Kita tinggal login dan install game. Untuk mempermudah manajemen, saya juga menginstal Lutris, yang juga mendukung beberapa emulator, termasuk WINE.


Demikian lima alasan kuat saya sepertinya akan betah di Manjaro. Akan tetapi, sejauh ini ada beberapa masalah yang sebagian juga sudah pernah saya bahas, antara lain:

  • Forum Manjaro seminggu terakhir kena musibah, sehingga saya kesulitan gugling karena hampir semua topik lama menghilang.
  • Bermain Factorio pakai VGA bawaan (Vega 3) grafiknya berantakan banget. Solusi sementara, saya pasangi VGA lama (Radeon 6570) yang masih belum support Vulkan. Semoga nanti bisa upgrade ke kartu grafis yang lebih kekinian.
  • Saya belum dapat cara instalasi DroidCam dan pengoperasiannya di Manjaro. Padahal aplikasi ini lumayan berguna untuk membuat smartphone jadi webcam saat Zoom Meeting atau Google Meet. Semoga nanti ada apdet, atau setidaknya ketemu aplikasi lain yang setara kualitasnya.
  • Masih soal Zoom, pas meeting jalan, suara di speaker entah kenapa juga jadi noise banget. Tapi kalau pakai headset suaranya normal saja, jadi sementara kalau Zoom Meeting, speaker besar dimatikan saja.

Di luar itu, Manjaro masih bersahabat dengan saya dan kelakuan saya yang kadang suka nyenggol sana-sini lalu kelabakan sendiri…

Oke, untuk eksperimen berikutnya, saya akan membahas pengalaman saya menjajal distro nomor satu di Distrowatch saat ini, MX Linux. 😀

3 thoughts on “Lima Alasan Menggunakan Manjaro”

  1. entah kenapa ya pak, di laptop dan layar monitor external saya, font Manjaro kelihatan agak kaku/pixelete. gak nyaman mata saya saat membaca text. setelah install solus terbaru rasanya hal itu seketika teratasi.

    saat ini saya end game pakai solus. saya sudah bahas di blog saya juga.

    entah nanti gimana lagi. hhehe..

    salam kenal.

    Reply
    • Salam kenal juga, Mas.

      Nah untuk font ini saya juga rasanya lebih enak pakai Solus memang, makanya saya juga balik lagi pakai Solus di laptop.

      Masalah lain yang saya temui di Manjaro, kalau bisa disebut masalah sih, update-nya ukurannya udah nyentuh giga-an. Selain itu, kadang desktop-nya suka crash dan harus logout. Balik dari logout, GNOME extension-nya mati dan harus dihidupin manual.

      Reply

Leave a Comment