Kang Sejo Melihat Tuhan

Banjarmasin, 26 Maret 2007

Dari sekian banyak “capsule” ((istilah SmartFM untuk insert sepanjang 5-10 menit, dibawakan oleh para pakar dan tokoh, berisi pencerahan kepada pendengar terkait motivasi, pengembangan diri dan kontemplasi)) yang pernah saya dengar di SmartFM, tulisan Pak Mohammad Sobary, yang pernah dimuat di majalah Tempo, 12 Januari 1991 ini yang paling saya sukai. Senang sekali akhirnya saya bisa dapat versi tulisannya, setelah sekian lama mendengarkan versi audio yang dibawakan sendiri oleh Pak Sobary dengan logat mBantulnya. Saya malahan sempat berniat membuat transkrip sendiri lalu mempostingnya di sini, tapi dengan sedikit search pakde Google akhirnya nemu juga.

KANG SEJO MELIHAT TUHAN

Bukan salah saya kalau suatu hari saya ceramah agama di depan sejumlah mahasiswa Monash yang, satu di antaranya, Islamnya menggebu. Artinya, Islam serba berbau Arab. Jenggot mesti panjang. Ceramah mesti merujuk ayat, atau Hadis. Lauk mesti halal meat. Dan, semangat mesti ditujukan buat meng-Islam-kan orang Australia. Tanpa itu semua jelas tidak Islami.

Saya pun dicap tidak Islami. Iman saya campur aduk dengan wayang. Dus, kalau pakai kaca mata Geertz, seislam-islamnya saya, saya ini masih Hindu. Memang salah saya, sebab ketika itu saya main ibarat: Gatutkaca itu sufi. Ia satria-pandita. Tiap saat seperti tidur, padahal berzikir qolbi. Jasad di bumi, roh menemui Tuhan. Ini turu lali, mripat turu, ati tangi: mata tidur hati melek, seperti olah batin dalam dunia kaum sufi.

Biar masih muda, hidup Gatutkaca seimbang, satu kaki di dunia satu lagi di akhirat. Mirip Nabi Daud: hari ini puasa, sehari esoknya berbuka. Dan saya pun dibabat …

Juli tahun lalu saya dijuluki Gus Dur sebagai orang yang doanya pendek. Bukan harfiah cuma berdoa sebentar. Maksudnya, tak banyak doa yang saya hafal. Namun, yang tak
banyak itu saya amalkan.

“Dan itu betul. Artinya, banyak ilmu ndak diamalkan buat apa?” kata Pak Kiai sambil bergolek-golek di Hotel Sriwedari, Yogya. Apa yang lebih indah dalam hidup ini, selain amal yang memperoleh pengakuan Romo Kiai? Saya merasa hidup jadi kepenak, nikmat.

Dalam deretan Sufi, Al Adawiah disebut “raja.” Wanita ini hamba yang total. Hidupnya buat cinta. Gemerlap dunia tak menarik berkat pesona lain: getaran cinta ilahi. Pernah ia berkata, “Bila Kau ingin menganugerahi aku nikmat duniawi, berikan itu pada musuh-musuh-Mu. Dan bila ingin Kau limpahkan padaku nikmat surgawi, berikanlah pada sahabat-sahabat-Mu. Bagiku, Kau cukup.”

Ini tentu berkat ke-“raja”-annya. Lumrah. Lain bila itu terjadi pada Kang Sejo. Ia tukang pijit -maaf, Kang, saya sebut itu- tunanetra.

Kang Sejo pendek pula doanya. Bahasa Arab ia tak tahu. Doanya bahasa Jawa: Gusti Allah ora sare (Allah tak pernah tidur): potongan ayat Kursi itu. Zikir ia kuat. Soal ruwet apa pun yang dihadapi, wiridannya satu: “Duh, Gusti, Engkau yang tak pernah tidur …” Cuma itu.

“Memang sederhana, wong hidup ini pun dasarnya juga sederhana,” katanya, sambil memijit saya.

Saya tertarik cara hidupnya. Saya belajar. Guru saya ya orang macam ini, antara lain. Rumahnya di Klender. Kantornya, panti pijat itu, di sekitar Blok M. Ketika saya tanya, apa yang dilakukannya di sela memijit, dia bilang, “Zikir Duh, Gusti …” Di rumah, di jalan, di tempat kerja, di mana pun, doanya ya Duh, Gusti … itu. Satu tapi jelas di tangan.
“Berapa kali Duh Gusti dalam sehari?” tanya saya.
“Tidak saya hitung.”
“Lho, apa tak ada aturannya? Para santri kan dituntun kiai, baca ini sekian ribu, itu sekian ribu,” kata saya
“Monggo mawon (ya, terserah saja),” jawabnya. “Tuhan memberi kita rezeki tanpa hitungan, kok. Jadi, ibadah pun tanpa hitungan.”
“Sampeyan itu seperti wali, lo, Kang,” saya memuji.
“Monggo mawon. Ning (tapi) wali murid.” Dia lalu ketawa.

Diam-diam ia sudah naik haji. Langganan lama, seorang pejabat, mentraktirnya ke Tanah Suci tiga tahun yang lalu.
‘Senang sampeyan, Kang, sudah naik haji?”
“Itu kan rezeki. Dan rezeki datang dari sumber yang tak terduga,” katanya.
“Ayat menyebutkan itu, Kang.”
“Monggo mawon. Saya tidak tahu.”

Ketularan bau Arab, saya tanya kenapa doanya bahasa Jawa.
“Apa Tuhan tahunya cuma bahasa Arab?”
“Kalau sampeyan Dah Duh Gusti di bis apa penumpang lain …”
“Dalam hati, Mas. Tak perlu diucapkan.”

Ia, konon, pernah menolak zakat dari seorang tetangganya. Karena disodor-sodori, ia menyebut, “Duh, Gusti, yang tak pernah tidur …” Pemberi zakat itu, entah bagaimana, ketakutan. Ia mengaku uang itu memang kurang halal. Ia minta maaf.
“Mengapa sampeyan tahu uang zakat itu haram”? tanya saya.
“Rumah saya tiba-tiba panas. Panaaaas sekali.”
“Kok sampeyan tahu panas itu akibat si uang haram?”
“Gusti Allah ora sare, Mas,” jawabnya.

Ya, saya mengerti, Kang Sejo. Ibarat berjalan, kau telah sampai. Dalam kegelapan matamu kau telah melihatNya. Dan aku? Aku masih dalam taraf terpesona. Terus-menerus.

Mohammad Sobary, Tempo 12 Januari 1991

17 thoughts on “Kang Sejo Melihat Tuhan”

  1. Ada lho, bapaknya anak yg AFS disini juga tunanetra dan pemijat, GustiAllah memang ora sare… kita yang suka sare, Gusti Allah ngerti semua bahasa, manusia yg suka ga ngerti bahasa alam, bahasa isyarat dan bahasa2 halus lainnya :(, thanks artikelnya. BTW udah nulis yg di shalat smart mas, aku udah tuh..meski agak bingung da ga ngerti maunya pak Shodiq apa?

    Reply
  2. Apa yang lebih indah dalam hidup ini, selain amal yang memperoleh pengakuan Romo Kiai?

    Blaikkk!!! Kalau kyai-nya kyai edan gimana? Memang kyai punya kemampuan untuk memberi pengakuan akan amal seseorang?
    Kalau Kang Sejo mah benar2 siiippppp….salut dech

    Reply
  3. “Nrimo bukan berarti duduk topang dagu dengan mulut terbuka nunggu lalat masuk mulut atau padi tumbuh di perut.
    Nrimo berarti berusaha, berdoa (dan berterima kasih kepadaNya), waspada, tetapi tidak menyesali nasib.”
    Itulah kang Sejo. Itu Kejawen, itu cara dan jalan hidupnya orang Jawa.
    Bagi yang kurang ngerti:
    Nrimo dudu lungguh ngenteni mencloke laler ing cangkem utawa tukule pari ing weteng. Nanging rekoso, waspodo, matur nuwun nyang njeng Gusti ingkang ndadoske urip, ora nyeseli nasib.

    Reply
  4. Bukan salah saya kalau suatu hari saya ceramah agama di depan sejumlah mahasiswa Monash yang, satu di antaranya, Islamnya menggebu. Artinya, Islam serba berbau Arab. Jenggot mesti panjang. Ceramah mesti merujuk ayat, atau Hadis. Lauk mesti halal meat. Dan, semangat mesti ditujukan buat meng-Islam-kan orang Australia.

    Ini maksudnya Monash University? Wah, wah, ternyata ada orang yang seperti itu juga ya… 😀

    Ah, itu memang benar. Islam yang merdeka, tidak terpaku tetek bengek seremonial. Yang penting, hatinya putih bersih.

    Mencerahkan. Terima kasih.

    Reply
  5. @ Manusiasuper
    Pertamax lebih mahal dari premium!

    @ Peyek
    Semoga masih mas.

    @ Evy
    AFS itu apa Bu? (Hehe, maklum ndak pernah ke Amrik)
    *Mengalihkan pembicaraan dan pura-pura ndak lihat kalo ada pertanyaan*

    @ Antobilang
    Sudah jangan sedih. Coba lagi!

    @ deKing
    Weh, waktu tahun 91 beliaw masih jadi simbol perlawanan terhadap hegemoni SiMbah bos!
    Kalau Kang Sejo saya setuju, emang benar2 siiippppp….

    @ Raffaell
    Makanya saya amankan, siapa tau nanti link-nya tutup.

    @ Helgeduelbek
    Omongan Pak Guru mirip headernya si Guh aja? Hehe..

    @ Agorsiloku
    Dan hati juga jadi swejuk mas.

    @ Anak Sultan
    Dan dua hal itu, sabar dan syukur, sekarang sepertinya mahal sekali harganya…

    @ Tukangkomentar
    Wakakak, kalo saya malah ndak ngerti yang bagian belakangnya pak! Bahasa Jerman ya?

    @ Mr. Geddoe
    Iya, Monash Univ. Oz.

    Hati siapa yang tau? Toh yang bisa dihakimi orang kan apa yang nampak oleh indra saja.

    @ Kang Kombor
    Kang Kang 😀

    Reply
  6. @ Mr Geddoe
    Jangan menghakimi, karena untuk jadi hakim butuh ilmu™! 😀

    @ Dimas
    Salam kenal juga. Makasih link-nya.
    Pencerahan yang indah. 🙂

    Reply

Leave a Reply to tukangkomentar Cancel reply