Balada Kurikulum 2013

“Saya sih yang penting, pertama konsep dasarnya kita yakini ini benar.”

– M. Nuh (Mata Najwa, 9 Januari 2013)

Sejak Mendikbud yang baru, Anies Baswedan, menyetop implementasi Kurikulum 2013 (K13), timeline saya sontak dijejali pro-kontra soal K13. Semua pihak mendadak tertarik membahas dari berbagai sudut pandang. Banyak yang mendukung langkah Pak Anies meski tak sedikit pula yang menentang dan menyayangkan keputusan yang seolah tergesa-gesa itu.

Sebagai guru yang secara langsung merasakan dampak penggunaan K13 semester ini, banyak hal yang juga ingin saya bahas. Masih banyak pertanyaan yang menggantung di benak saya terkait landasan, isi, dan pelaksanaan K13 ini. Berikut beberapa di antaranya:

1. Kenapa kurikulum harus diganti?
Ini pertanyaan pertama yang terlontar ketika saya mendengar Kemendikbud mau meluncurkan kurikulum baru. Waktu itu akhir 2012, saat saya juga tengah hectic dikejar deadline tesis. Lah, malah curcol… Mendikbud lama, M. Nuh, mengatakan ini persoalan penting dan genting. Sepenting apa? Segenting apa? Tentunya harus ada alasan yang benar-benar kuat untuk mengganti kurikulum.

Ibarat kita punya mobil, lalu ada niat untuk mengganti. Tentu ada alasannya, ‘kan? Bisa jadi karena sudah lama dan bobrok, atau sudah nggak nyaman dikendarai, atau sering mogok, boros bensin, atau biaya perawatannya mahal.

Atau mungkin juga cuma karena gengsi?

Pertanyaan ini pula yang diajukan oleh Pak Anies ketika Pak Nuh mengkritik penghentian K13. Kalau memang kurikulum lama (KTSP) sedemikian bobroknya, mana dokumen yang mengharuskannya diganti? Tak cukupkah diservis aja, perbaiki kekurangannya? Seberapa parah sih kerusakannya?

Saya coba menelusuri arsip lama Kemendikbud dan di situ dipaparkan urgensi menggunakan kurikulum baru (yang waktu itu belum jelas bentuknya). Paparannya tak jauh beda dengan argumen yang digunakan pihak LPMP ketika sosialisasi K13 di daerah saya: tantangan abad 21, bonus demografi, 100 tahun Indonesia, Innovator’s DNA-nya HBR, dan sebagainya. Retorika mengambang yang sebenarnya belum menjawab pertanyaan: apakah solusinya harus dengan mengganti kurikulum?

Ah, tapi kan kurikulum baru ini sudah diuji publik, hasilnya juga ‘mayoritas publik’ setuju kurikulumnya diganti. Jadi, ganti aja ya?

2. Okelah kurikulum diganti, tapi ini ‘kok interface-nya membingungkan sekali?

Saya menganalogikan transisi dari KTSP ke K13 ini seperti dari Windows 7 ke 8. Kalau dilihat-lihat, isinya sih kurang lebih mirip-mirip saja. Paling gonta-ganti istilah di sana-sini. Update dan susun ulang materi di sana-sini. Hampir tidak ada inovasi yang benar-benar baru. Masalah justru ada di interface! Seperti halnya Metro di Windows 8 yang dianggap tak berguna dan justru membingungkan, K13 dikemas dalam jargon-jargon semacam Pendekatan Saintifik, 5M, Penilaian Autentik, Penilaian Sikap, SKL, Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar dan sebagainya yang sebagian masih mengambang dan terus-menerus direvisi sambil jalan.

Akibatnya, proses pembelajaran harus mengikuti SATU pendekatan, apapun mata pelajarannya. Penilaian menjadi demikian surreal dengan puluhan indikator untuk mengukur sikap, pengetahuan dan keterampilan. Ini ditambah lagi dengan terlambatnya peluncuran silabus, yang dijanjikan dibuat oleh pusat. Jadi silabus belum ada, pembelajaran sudah harus berjalan. Untunglah bukunya sudah ada… tapi, err…

3. Buku macam apa ini???
Masalah ketiga adalah di buku. Saya kurang tahu apakah guru mata pelajaran lainnya mengalami masalah serupa, tapi untuk bahasa Inggris kelas VIII, buku yang ada kok ya begini banget sih? Err, I expected a much-much better book, lah. Untuk semester ganjil ini, tiga bab pertama isinya kalimat-kalimat lepasan, satu bab isinya contoh-contoh kartu ucapan dan undangan, dua bab isinya grammar. Banyak sekali contoh ekspresi untuk ditirukan, sesekali ada aktivitas untuk melengkapi 5M, sementara latihan soal sangat minim. Berikut contoh isi bukunya:

Itu dari segi konten, dan karena silabus datang setelah buku terbit, isi silabus terkesan ‘dicocok-cocokkan’ dengan buku yang telah lebih dulu ada. Oke lah, tak masalah, yang penting silabusnya sudah siap pakai, ‘kan?

Nah, ini dia, di silabus yang baru, tidak ada lagi yang namanya tujuan pembelajaran, gantinya adalah indikator yang ingin dicapai dalam tiap pertemuan. Masalahnya, indikator yang diinginkan untuk setiap KD tidak dijabarkan secara eksplisit. Jadi waktu guru membuat RPP, itu indikator bikin sendiri aja ya… Oh, tidak masalah lah karena toh sudah ada bukunya. Jadi utak-atik lagi saja dari buku pegangan itu.

4. Ngomong-ngomong soal buku, bukunya mana?
*tepok jidat* Hampir saya lupa, bukunya hingga akhir semester ini belum datang juga. Di awal semester, guru hanya diberi file PDF yang harus digandakan sendiri. Katanya sementara menunggu silakan difotokopi dulu bab pertama. Bab pertama habis, lanjut fotokopi bab kedua. Begitu seterusnya.

Entah kenapa, tapi perkara buku ini membingungkan juga. Kata Wamendikbud Agustus lalu, distribusinya sudah 80 persen, tapi mungkin sekolah saya itu termasuk yang 20 persen itu, jadi sampai sekarang tak kunjung terima buku juga.

Uniknya, begitu K13 dihentikan, salah satu pihak yang paling ribut adalah, err, percetakan… Mungkin karena mereka sudah keluar banyak biaya…

5. Omong-omong soal biaya, anggarannya besar kan ya?
Besar sekali. Tak heran kalau anggota DPR periode lalu juga tak serta-merta menyetujui anggaran yang diajukan. Pihak Komisi X, terutama dari kader-kader PKS di dewan, bahkan tak percaya begitu saja hasil uji publik yang melandasi pergantian kurikulum ini.

Meski akhirnya ya diketok palu juga sih… :mrgreen:

6. Dengan anggaran sebesar itu, masak iya harus distop begitu saja pelaksanaanya? Apa nggak tergesa-gesa keputusannya?

Rezim pemerintahan baru ini memang dicitrakan dengan sifat cepat, bahkan cenderung terlalu cepat. Tapi perlu diingat kalau yang terjadi pada kasus K13 bukan “ganti menteri ganti kurikulum”, melainkan “sebelum menterinya diganti, kurikulumnya kita ganti duluan”. Yang tersisa adalah masalah di sana-sini, buah dari keputusan tergesa-gesa yang jauh lebih fatal akibatnya. Pak Anies, saya yakini, hanya tidak ingin terjadi kerusakan yang makin parah.

7. Verdict?
– K13 itu, IMHO, cuma KTSP 2.0. dengan format penilaian yang makin njelimet.
– Konsep-konsep yang dipromosikan K13, seperti pendekatan saintifik, penilaian autentik, sebenarnya ada juga di KTSP. Tidak dikemukakan secara rinci, memang, karena sejatinya KTSP memberi ruang bagi sekolah untuk menentukan metode dan teknik pembelajaran yang paling pas dengan kondisi sekolah masing-masing.
– KTSP sebagai school-based curriculum sebenarnya cukup fleksibel untuk ditambahi konsep-konsep lain. Integrasi dengan Pendidikan Karakter dan Pendidikan Lingkungan Hidup, misalnya, jadi contoh nyata betapa KTSP mudah untuk ‘dioprek’ sesuai kebutuhan.
– Pak Nuh membeberkan kekurangan KTSP dari sisi teknis: jumlah jam pelajaran, ketidakbisaan guru membuat silabus dan RPP, dan sebagainya. Kalau teknis pelaksanaan yang bermasalah, apa bukan itunya saja yang diperbaiki? Atur ulang pembagian mata pelajaran, perkuat pelatihan bagi guru. BUKAN mengganti kurikulumnya.
– Lucu juga membaca komentar Pak Nuh terkait evaluasi KTSP yang dirahasiakan demi etika. Kajian akademik kok pakai rahasia-rahasiaan toh Pak?
– Ohya, kata Pak Nuh juga, KTSP tidak sesuai dengan UU Sisdiknas. Kalau K13, memangnya sudah sesuai, ya Pak? Ah, perkara interpretasi bahasa undang-undang ini bukan wilayah yang saya kuasai. Biar yang lain saja yang membahas.
– Yang saya tidak terima itu justru klaim kalau UKG 2012 itu adalah untuk mengevaluasi penguasaan guru terhadap KTSP. Pak Nuh, katanya dulu itu pemetaan kompetensi guru, kok sekarang ganti? Skor rata-rata 45 itu malah dijadikan kesimpulan kalau guru tidak menguasai KTSP… Ini penarikan kesimpulan macam apa?
– Ditambah lagi dengan klaim di twit beliau: “Padahal, untuk #K13 guru sudah dilatih dg nilai rata-rata UKG 71.” Bisa dijelaskan lebih rinci, kapan, di mana, dan kepada siapa saja “UKG” itu dilakukan?

8. Jadi kesimpulannya apa?
Entahlah, tapi dua kali mencoba menulis panjang soal K13, hasilnya kok mbulet lagi, sih? Sulit sekali menarik kesimpulan dari banyaknya opini dan argumen yang beredar. Yang jelas saya sependapat dengan pak menteri, bahwa sebagus, sehebat, se-sophisticated apapun sebuah kurikulum, kalau yang menjalankan (baca:guru) belum kompeten, tidak merasa nyaman, masih kebingungan, dan tidak difasilitasi dengan baik, kurikulum hanya akan jadi tumpukan dokumen tanpa perubahan berarti bagi pendidikan di negeri ini. #tsaaaah

9 thoughts on “Balada Kurikulum 2013”

  1. OOT dikit; dampak dari pergantian pemerintahan beserta cara pencitraannya adalah sepinya buyer!

    Lha, kalau begitu segala macam pelajaran jaman kuliah dahulu juga sudah tidak relevan lagi dunk? Lantas, gurunya harus berguru dengan siapa?

    Ya kalau yang masih ngajar kaya ente2 sich masih ketolong, saya? Yang sudah lebih condong jadi tukang nujum sok tau ketimbang guru Bhs inggris ini, nanti kalau suatu saat mau mengajar, gimana?

    Reply
    • Soal OOT, saya ndak bisa komen apa-apa…

      Soal relevansi, ilmu zaman kuliah ya masih tetap terpakai lah, tenang saja. Pengajaran bahasa ya begitu-begitu saja dari masa ke masa, kan?

      Yang hebat itu, sekarang kita ngajar bahasa dengan “pendekatan ilmiah” a la pengajaran IPA. Ini yang jadi masalah, setidaknya buat saya. Mungkin saya yang kurang ilmu, atau “ego sektoral” sebagai anak bahasa saya yang menghambat, tapi dari dua kali pendampingan, saya masih dianggap gagal mengajar seperti yang diharapkan pengawas dan tuntunan 5M K13…

      Reply
  2. Sebagai orang luar dunia pendidikan, mengomentari yang no. 6 saja…

    Ini pendapat ‘berbahaya’ yang disebut sunk cost fallacy. Hanya karena kita sudah keluar duit banyak bukan berarti harus dikejar sampai untung. Bisa saja “jalur investasi” kita salah dan membawa kerugian lebih besar.

    Contoh: klub sepakbola C membeli striker berinisial T dengan harga mahal. Biarpun T jarang bikin gol tapi mustahil dijadikan reserve, sebab kalau iya, otomatis duit transfernya sia-sia. Maka dimainkanlah dia berulangkali bertahun-tahun dengan harapan berakhir manis. (lol)

    Kembali ke topik, tentu saja bisa diperdebatkan apa K-13 bisa berakhir manis. Namun jika alasannya karena sudah keluar biaya… sepertinya kok bukan pertanda baik. ^^;;

    Reply
    • Nah, soal sunk-cost fallacy ini menarik juga, terutama juga pemilihan contohnya… :mrgreen: Oya, ini saya link juga mengingat komplain bung So…

      Saya juga beranggapan kalau konsep, atau setidaknya niat awal K13 ini mungkin sangat baik: melatih siswa lebih sebagai pemecah masalah ketimbang penghapal materi, atau memudahkan guru menyusun materi, atau mengurangi beban pelajaran siswa. Cuma, ya seperti biasa, the devil’s in the detail. Implementasinya malah memunculkan banyak masalah baru.

      Semoga kalau jadi dievaluasi, dimatangkan, lalu direvisi, K13 bisa jauh lebih baik ketimbang yang ada sekarang.

      Reply
  3. What the hell. Berulangkali saya komen gagal terus, begitu hilangkan tag HTML langsung bisa. 😐

    (btw, harusnya di atas ada link wikipe tentang sunk cost fallacy, tapi berhubung itu ya gitu deh)

    Reply
  4. Proyek. Saya ingat awaaaaaal sekali muncul wacana ganti kurikulum ini adalah ketika Wapres Boediono berkomentar kaget ketika mengangkat tas sekolah cucu beliau yang penuh buku.

    Reply

Leave a Reply to Amed Cancel reply