Inception, Visi, dan Konstruksi Mimpi

Terakhir kali saya menyaksikan film di bioskop adalah pada 2007, ketika nonton bareng *gratis* No Reservations di 21 DM Banjarmasin. Nah, sudah sekitar 2,5 tahun saya baru nonton bioskop lagi, dan kali ini saya dapat kesempatan nonton di Cinema 21 Amplaz, Yogyakarta.
Kacaunya adalah, saya memilih film Inception dengan kondisi fisik kurang fit, masih radang, masih sakit kepala, dan sorenya baru selesai belajar matrikulasi statistika dengan tabel dan kurva dan peluang dan peubah acak dan distribusi normal dan sebagainya melayang-layang di depan mata.

Okelah, yang jelas, terlepas dari pernyataan Andrea Hirata saat Meet ‘n Greet Sabtu (24/6) lalu kalau untuk menonton film ini harus ‘bingung’, filmnya sendiri memang keren dan orisinalitasnya kental. Nuansa The Dark Knight masih mendominasi mengingat studio, sutradara, penata musik dan beberapa pemerannya adalah juga mereka yang mampu meredefinisi filosofi Batman dengan cerita yang luar biasa ituh.

Alur ceritanya adalah… mbulet kalau mau diceritain, yang jelas ada mesin mimpi, trus mereka yang bermimpi bermimpi lagi dalam mimpi si pemimpi, trus dalam mimpinya mimpi itu mereka bermimpi lagi, trus dalam mimpinya mimpinya mimpi itu mereka harus selamat, kalo nggak bakal jatuh ke level mimpi terbawah, trus….

Enough with the plot, karena bukan itu yang ingin saya bicarakan dalam tulisan kali ini. Saya justru tertarik untuk menarik hubungan konstruksi mimpi (di film ditokohkan lewat karakter Ariadne-nya Ellen Page) dengan visi di dunia nyata. Kebetulan pula, saya baru membaca trilogi “Kartun Riwayat Peradaban“-nya Larry Gonick. Buku ini secara jenaka sekaligus sinis membuka wawasan saya mengenai perkembangan peradaban di muka bumi dari zaman batu hingga era Renaissance. Dan ternyata, yang disebut “peradaban manusia” itu tak bisa jauh-jauh dari konspirasi kolaborasi pemimpin-pemuka agama-militer-pedagang, di mana mereka secara langsung mengarahkan negara dan rakyatnya, entah itu ke arah kemakmuran, pertempuran, atau kehancuran.

Korelasinya adalah, bahwa dunia yang kita diami sekarang, merupakan mimpi dari para pendirinya dahulu. Istilah mimpi di sini bukan sekadar bunga tidur, melainkan cita-cita, ambisi, hasrat, nafsu, keinginan yang kuat, atau apapun namanya, yang sederhananya bisa disebut visi. Visi inilah prasyarat berdirinya peradaban-peradaban besar, dan para pemimpin besar kerap dikenang karena visinya dalam membangun bangsanya. Julius Caesar, Alexander, Umar bin Khattab, dan Ir. Soekarno, misalnya, di levelnya masing-masing, punya visi jangka panjang yang bahkan mampu melewati panjang usia mereka sendiri dalam membentuk bangsa yang dipimpinnya.

Peran pemuka agama juga punya peran tak kalah penting dalam konstruksi visi ini. Tak semua pemimpin punya visi yang benar-benar mantap, atau kalaupun punya, terkadang mereka tak punya cukup nyali dan keyakinan dalam mewujudkannya. Di sinilah pemuka agama/ritus/sekte/apapun yang bisa dianggap menjadi “provokator” bagi pak bos dalam merealisir mimpinya. Karakter Yusuf dalam Inception mungkin mewakili peran ini, sebagai chemist yang menggunakan obat bius tertentu sebagai mediator mereka agar bisa masuk ke dunia mimpi. Dalam sejarah banyak diceritakan bagaimana para shaman/sorcerer/dukun/nabi/apapun biasanya melakukan semedi, ritual, memasak ramuan, mengisap uap/asap, dan berbagai cara lainnya dalam rangka mencapai kondisi tertentu (trance?) di mana nantinya ia bisa “berkomunikasi” dengan “arwah/dewa/leluhur/jin/apapun” sehingga diperoleh “pencerahan”. “Pencerahan” inilah yang disampaikan ke pak bos, untuk kemudian disikapi dengan cara tertentu oleh sang penguasa.

Selebihnya adalah tugas para eksekutor: birokrat, tentara dan saudagar. Tujuan utamanya adalah kemakmuran terpusat, utamanya di ibukota. Ditariklah pajak untuk membiayai pembangunan, dicarilah sumber daya untuk bahan baku pembangunan, dan direkrutlah tenaga kerja untuk mengisi slot terbawah piramida peradaban ini. Rakyat menentang pajak? Tentara turun tangan. Sumber daya susah didapat? Beli dari negara luar yang memiliki, atau kalau perlu invasi, sehingga aset negara tersebut otomatis jadi milik negara penjajah. Tenaga kerja? Beli di pasar budak, atau jadikan rakyat negara jajahan sebagai budak. Semuanya tentu di bawah ancaman tentara atau iming-iming emas saudagar. Dan peradaban pun berkembang, dan yang dikenang, umumnya hanya satu dua orang.

Kelihatan biadab dan kuno? Tidak juga, sebenarnya. Peradaban berkembang, dan manusia mungkin jadi jauh lebih “beradab dan manusiawi” sekarang ini. Agama-agama lama digantikan agama baru yang lebih tertata aturannya, sistem pemerintahan dan ekonomi berkembang sesuai tuntutan zaman, pun juga militer lewat hierarki dan perkembangan teknologi senjatanya.

Akan tetapi, kalau kita lihat, piramida serupa masih tetap digunakan di mana-mana, apapun agama, sistem pemerintahan, maupun ekonominya; bahwa ujung-ujungnya masih ada stratifikasi sosial, ada “pengkastaan” dan ada berbagai pola perbudakan dan invasi dalam tata dunia baru sekarang ini. Yang membedakan hanya istilah dan bentuknya, sementara esensinya toh sama saja. Perbudakan digantikan istilah outsourcing, TKW, buruh murah, dan sebagainya. Invasi diklaim sebagai “pembebasan”, dan penguasaan sumber daya alam masih terjadi di depan hidung kita lewat korporasi-korporasi besar; Arutmin, Newmont, Freeport, Shell, etc. Saudagar menguasai hajat hidup rakyat, pemuka agama menguasai mimpi terbesar rakyat: surga, militer menguasai harta terbesar rakyat: kebebasan, sehingga akhirnya rakyat terkungkung dalam rutinitas demi bertahan hidup, dan mau tak mau harus mencari pelarian dan pengalih perhatian ke hiburan, televisi, musik, film, atau yang lebih tinggi lagi, hedonisme berwujud seks, minuman, atau narkoba; yang kesemuanya, tiba-tiba saja hadir entah-dari-mana-dan-gak-penting-dicari-cari-dari-mananya-yang-penting-nikmati-saja.

Hey, terkadang yang paling menguntungkan adalah punya pemimpin yang tak punya visi, sehingga dengan gampang bisa “diarahkan” oleh bawahannya: pemuka agama, militer, dan saudagar. Atau strategi lain? Jadikan saja tentara, pemuka agama atau si taipan jadi pemimpin, beres toh?

Jadi, adek-adek nanti cita-citanya kalao sudah besar mau jadi apa?

19 thoughts on “Inception, Visi, dan Konstruksi Mimpi”

  1. mau tak mau harus mencari pelarian dan pengalih perhatian ke hiburan, televisi, musik, film, atau yang lebih tinggi lagi, hedonisme berwujud seks, minuman, atau narkoba; yang kesemuanya, tiba-tiba saja hadir entah-dari-mana-dan-gak-penting-dicari-cari-dari-mananya-yang-penting-nikmati-saja.

    Masbro pernah baca [ini] ? Relevan dengan paragraf di atas IMO. Masyarakat tak berdaya bukan karena pemerintah totaliter, melainkan karena tenggelam dalam sea of trivialities. Barangkali bisa dianalogikan “obat bius peradaban”. CMIIW tho. :-/

    Menariknya adalah, kalau sarana pengalihan itu hilang, hierarki yang sudah mapan berpotensi goyang-goyang — sebab akhirnya masyarakat terpaksa concern pada hal-hal seperti ekonomi & sospol. Jadi sedikit-banyak dia berperan mempertahankan status quo.

    BTW saya belum nonton filmnya, jadi ndak bisa komen terkait review. ๐Ÿ˜›

    Reply
  2. tulisan yang apik sekali ๐Ÿ™‚ memang harus “bingung” nonton film ini… ๐Ÿ™‚ kalo nggak bingung nontonnya nggak berhasil. hahaha

    Reply
  3. keburu nonton film shutter island. dan lebih nendang shutter island menurut saya karena lebih realistis. tapi inception, meski plotnya hampir sama bener dengan shutter island, memang memukau.

    Reply
  4. @ Nurrahman
    Monggo ditonton mumpung masih diputer… Ndak bakal nyesel kok, pusing iya…

    @ Sora
    Satir itu, satir :mrgreen:

    Anyway, sea of trivialities juga pernah dibahas om Guh di sini. Dan memang, sesuatu yang remeh temeh itu terkadang dibikin penting dan heboh dan ‘hip’ oleh persepsi kita sendiri kan? Entah itu berupa Football Manager, Arsenal, Fabregas, Teori Evolusi, Ariel, atau coklat…

    *pemilihan contoh yang agak gimanagitu… ๐Ÿ™„ *

    @ Gentole
    Tapitapitapiโ„ข itu Shutter Island nggak ada Ellen Page…

    Reply
  5. keren… judulnya menarik bgt… tiap orang yg lewat pasti ga bakal ganti page sebelum baca sampe selesai… walaupun ada suatu misi lain dalam tulisan ini… hehehe… ternyata semua yg di dunia ini ga jauh dari yang namanya konspirasi ya… lain waktu bahas masalah freemasonry bang… biar ak lebih jelas… makasih…

    Reply
  6. @ Asop
    Anu, kalo kata Mas Alle, nontonnya harus dalam kondisi “otak prima”…

    @ Kin
    Misi lain apaan sih? Bikin penasaran aja… Freemasonry? Halah, nonton Zeitgeist Addendum dulu gih…

    @ Gentole
    Ya, mau gimana lagi… Cast buat Mal sudah kadung terlalu “tinggi”, kalo imbangannya kurang “wah” malah njomplang kan? *ngebayangin Lindsay Lohan, misalnya, yang jadi Ariadne…*

    @ Sora
    :mrgreen: :p

    Reply
  7. wah nonton film ini kayanya harus diputer berulang kali biar ngerti. tapi yg paling saya tangkap adalah pesannya, yaitu bahwa dunia ini hanya mimpi.

    dan seperti sudah dibilang admin, bahwa dunia yg kita pijak merupakan buah dari visi orang terdahulu, dan visi itu hasil bermimpi. maaf klo salah ngartiinnya.

    ini kunjungan perdana saya. btw, saya baru baca buku Larry Gornick yg perkembangan bahasa, jadi ada 3 ya?

    Reply
  8. @ Kin
    Di IDWS ada versi “hemat”-nya tuh, cuman 150MB-an

    @ Zian
    Apanya yang betul? Apa cuma sekali? *garuk-garuk*

    @ Feoth (Dibaca pake P boleh?)
    Hahaha, salam kenal ya, ๐Ÿ˜‰ .

    Kalo kata Bondan mah, “hidup berawal dari mimpi”.

    Dan ini juga perkara pilihan (dan kesempatan), apakah kita mau (dan mampu) mewujudkan mimpi tersebut, atau cukup larut dalam angan-angan, andaikan, jikalau, dan sebagainya.

    Larry Gonick bukunya ada banyak tuh, saya baru punya yang bundel tiga edisi. Tapi yang perkembangan bahasa itu buku yang mana ya (judulnya)?

    Reply

Leave a Reply to sora9n Cancel reply