Status fesbuk Om Nopy beberapa hari lalu sempat mengusik naluri “ikut nimbrung” saya, di tengah godaan kantuk akibat begadang menyiapkan presentasi. Dalam statusnya, beliau menanyakan:
“Benarkah generasi sekarang, spiritnya untuk menjadi orang berkualitas itu jauh merosot dibandingkan dengan generasi pendahulunya, benarkah mental generasi sekarang itu mudah banget putus asa, benarkah generasi sekarang itu jauh dari keberanian, itu sih katanya banyak teman dosen yang bilang, wah mahasiswa sekarang jauh beda dgn jaman kuliah dulu,pada manja, males,mental tempe,udah gitu penakut,BENARKAH ITU ????”
Saya garisbawahi kata “dosen”, sebagai benang merah dari asumsi di atas. Bukan bermasuk ad-hominem, tetapi saya teringat pada tulisan Farid beberapa tahun lalu, yang juga mengkritisi pernyataan dosen yang secara ekstrim didefinisikannya sebagai “pernyataan jahanam”. Dosen sebagai perwakilan kalangan intelektual, yang pastilah dekat dengan kaidah dan metodologi penelitian ilmiah, tentu mafhum kalau pernyataannya, sekecil apapun, harus bisa dipertanggungjawabkan. Klaim di atas, bisa jadi adalah hasil pengamatan dosen yang bersangkutan terhadap mahasiswanya. Bisa jadi telah ada yang meneliti, dan beroleh generalisasi yang mendasari asumsi di atas.
“Atau mungkin itu cuma sekadar obrolan di warung kopi?”
Itupun bisa saja terjadi, yang jelas obrolan di warung kopi sekalipun, ketika sudah diangkat ke ranah publik seperti FB, bisa menjadi wacana yang sepertinya menarik untuk dikupas, apalagi ini menyangkut generasi sekarang dan mahasiswa, calon penerus masa depan bangsa… Yang jelas, klaim “teman dosen” di atas memiliki empat kata sifat: manja, malas, bermental tempe, dan penakut… Empat kata sifat yang dimiliki mahasiswa ini, kemudian digeneralisir ke keseluruhan generasi, yang menghasilkan kesimpulan bahwa generasi sekarang punya sifat: bermental mudah putus asa dan jauh dari keberanian, dan akhirnya memunculkan asumsi bahwa spirit generasi sekarang untuk menjadi orang jauh merosot dibandingkan generasi pendahulunya…
Ketika kita bicara generasi, maka kita bicara sesuatu yang besar, sekumpulan manusia dari “time frame” tertentu dengan berbagai permasalahannya. Pertanyaannya, apakah mahasiswa, wabil khusus, mahasiswa bapak/ibu dosen di atas, dapat dikatakan mewakili keseluruhan generasi? Berapa persen anak muda yang jadi mahasiswa? (Ada yang punya datanya? Saya pernah dengar sih 2%, entah benar salahnya.) Apakah sudah lebih besar dari lulusan SD, SMP, sampai SMA/SMK yang tidak kuliah tapi langsung terjun ke dunia kerja atau berwirausaha? Yang jelas, adalah sangat tidak adil membebankan vonis demikian kejam ke seluruh populasi “generasi muda”.
Those who criticize our generation forget who raised it.
Kutipan di atas boleh jadi merupakan apologi kaum muda terhadap kritik “kaum pendahulu” mereka. Kita hidup di dunia yang sejatinya turun-temurun sebagai warisan generasi sebelumnya. Lebih-lebih, adalah mustahil “memotong satu generasi” kecuali ada genosida ultra massal, yang hasilnya pun, belum tentu optimal dalam mencetak penerus yang so called berkualitas.
Yah, meski demikian, selemah apapun “metode sampling” dari klaim di atas, saya masih tertarik dengan berbagai kata sifat yang ada di dalamnya. Faktanya adalah, memang ada anak muda yang malas, manja, dan penakut (kalau yang mental tempe, rasanya gimana ya, tempe kan sudah diakui sebagai makanan yang kaya gizi? Lalu, yang keren itu apa? Mental burger? Mental kebab?).
Faktanya juga, masih ada kan, anak muda yang rajin, mandiri, dan pemberani? Banyak anak muda kita yang menjadi juara di berbagai perlombaan, Olimpiade Sains, Festival Sastra, Kontes Robot, dan yang terbaru, tim Sepakbola Junior dari Indonesia yang mengalahkan Italia di Milan dan jadi juara.
“Iya saya tahu, tapi-tapi-tapiβ’ kan masih lebih banyak yang jelek daripada yang bagus? Berapa sih perbandingannya? 1000 banding 1 juga belum tentu…”
Mari beranalogi, Spanyol juara piala dunia 2010, maka 31 negara lainnya adalah pecundang, dan ratusan negara lain yang tidak lolos piala dunia adalah super duper pecundang. Get the point?
Perlombaan, kompetisi, dan kontes tak lebih dari sekadar puncak gunung es. Saya baru dua tahun jadi guru di pinggiran kota kecil di Kalimantan, namun telah dengan mata kepala sendiri melihat bahwa masih ada banyak anak muda yang penuh semangat menuntut ilmu ke sekolah, rela berbasah-basah dan berpanas-terik, susah payah menyiapkan diri kala ada lomba, dan rela berlatih sampai berpatah-tulang *serius!* demi mengejar prestasi. Anak-anak itu, yang matanya penuh binar dan semangat itu, sungguh tak sanggup untuk saya katakan mereka manja apalagi pengecut. Maulana yang meraih perak senam artistik tingkat nasional, atau Elsha yang mendapat peringkat 3 lomba cipta puisi se-Kalimantan Selatan, hanya contoh dari ribuan anak lainnya yang mampu menoreh prestasi, dan tentu jadi kebanggaan seumur hidup bagi dirinya; sesuatu yang kadang dianggap orang dewasa sebagai sekadar “proyek” semata!
Ada lebih banyak lagi prestasi yang sifatnya intangible, tak terukur dengan angka, harga, apalagi piala. Ketika seorang anak muda mampu membuat dessert a la resto, mampu menghafal surat-agak-panjang, mampu mengumpulkan sekian juta dolar chip, mampu meraih pagerank 3, mampu merajut sarung tangan, mampu memainkan satu lagu dengan gitarnya, mampu mengerjakan PR tanpa dibantu, dan berbagai ‘mampu’ lainnya, yang mungkin bagi orang dewasa tidak penting dan tidak bermanfaat, namun bagi mereka dan kawan-kawannya bermanfaat, membantu, dan menyenangkan.
Tidak, orang dewasa kemudian mereduksi prestasi itu hanya sekadar yang fenomenal, luar biasa, mencengangkan, extraordinary; singkatnya membawa dobrakan. Sumpah Pemuda? Berapa yang ikut? Apa tujuan para sejarahwan mencatat kongres tersebut? Sebagai pembenaran bagi berdirinya Indonesia Raya yang Merdeka? Apakah cita-cita tersebut sudah terwujud ketika pembangunan dan pemerataan begitu tidak seimbang antara pusat dan daerah?
Angkatan 66? Ah, akhirnya sejarah memperlihatkan sendiri, bahwa itu cuma politik pencitraan TNI dan CIA dalam rangka kudeta kekuasaan. Sejak itu, Indonesia Raya yang Merdeka ini terjerumus dalam jeratan economic hitmen, utang dan korupsi berkepanjangan. Jangan lupakan pula apa yang kemudian terjadi pada para pemuda PEMBERANI saat peristiwa MALARI. Masih ingat?
Reformasi 98? Ah, terlepas dari darah yang telah tertumpah, toh kaum “elit” angkatan 98 ini saat ini sudah tak ada bedanya dengan gaya politisi generasi sebelumnya. Berapa persen dari mereka yang masih konsisten membela kepentingan rakyat?
Jadi parameternya apa? Haruskah para mahasiswa kembali berdemo bersama-sama, menjatuhkan SBY, misalnya? Saya ragu, bukan karena mereka tidak berani, melainkan karena mahasiswa di era Web 2.0. sekarang ini justru sudah lebih MELEK INFORMASI.
Beberapa komen saya di status Om Nopy (yang maksud lebih rincinya telah saya coba uraikan di atas) dijawab dengan pertanyaan pamungkas: “Andaikata memang tidak ada sama sekali yangg dilakukan generasi terdahulu untuk membesarkan generasi sekarang, bahkan terus memberi tauladan jelek dengan semua itu…. berarti dengan berdalih itu semua mengaminkan kualitas generasi muda sekarang yang seperti ini memprihatinkannya… berarti jawaban dari pertanyaan status saya,.. bener donk asumsi itu semua….. (doh), jadi sekali lagi benar kualitas turun…alibi terbesar gara2 generasi pendahulu banyak ndak bener, dan generasi muda mengaminkan dan melazimkan penurunan kualitas diri ini, saya pun dengan pembelaan argumentasi itu, apa juga udah nyampe 1000 data kalau generasi muda sekarang berkualitas? or hanya pembelaan?”
Tidak, saya tidak bisa menyalahkan sebuah asumsi, karena asumsi seseorang itu adalah sesuatu yang sudah pasti dianggap benar; menurut yang empunya asumsi tentunya. Saya hanya tak merasa nyaman dengan dikotomi benar-salah terkait manusia, apalagi menggeneralisir segelintir oknum mahasiswa di kota besar dengan keseluruhan generasi muda di Negara Kesatuan Republik Indonesia Raya yang Merdeka ini. Om Galeshka di status Plurk-nya mengatakan “generalisasi emang bagian yg perlu dalam menjalani hidup. tapi sebisa mungkin, rasanya jgn digunakan kalo menyangkut manusia/orang lain π ” dan saya sedikit banyaknya sependapat dengan beliau. Jadi kalaupun saya disuruh menjawab pertanyaan Om Nopy di atas, maka jawaban saya jadi mirip lagu dangdut: “Tidak Semua… Laki-lakiiii….“.
Terakhir, sebaiknya yang masih suka menyalahkan kelakuan anak muda zaman sekarang perlu membaca dwilogi legendaris karya Mbah Geddoe yang ditulis ketika usianya masih 17-18 Tahun…
*Kayaknya kepanjangan deh… *
Kalo sekedar asumsi, siapapun bisa.
Yang jelas saya ya ga percaya gitu, argumennya sudah kau ulas habis2an di atas.
Contoh nyata dari mahasiswa berkualitas, silakan tengok anak2 di asemgede 31 itu *eh
Ah tweetable π
*komen setelah baca cepat*
saya pecinta sekaligus pembenci generalisasi *acung-acung tangan*
kembali mengutip ryan bingham; “I’m like my mother. I stereotype. It’s faster.”
Saya pribadi setuju dengan kutipan di atas. Lebih cepat, ringkas, tak mesti bertele-tele. Toh seberapa banyak waktu yang bisa kita berikan untuk menelaah satu per satu, sebutlah, keunikan manusia dengan segala sifatnya? Egois, selfish? I am.
Contoh lain saat belajar, dimulai dari klasifikasi umum, baru beralih ke kelompok-kelompok kecil, sampai pengecualian-pengecualian unik. Lebih gampang metode begitu kan?
Sebalnya, bisa berbalik pada saya. Sering digeneralisasi juga. Jadi yaaa.. cinta-cinta benci gitu deh
Akhirnya paling banter saya cuma bisa menggeneralisasi sekaligus berusaha terbuka pada pengecualian. Kalau pengecualian itu belum muncul juga.. ya maap. I do stereotype π
Soal generalisasi terhadap kaum muda.. ah, ciri orangtua terlena pada nostalgia masa lalu. Post power syndrome lalu berusaha membangkitkan gairah hidup dengan mencari masalah, membandingkan diri dengan anak muda yang energinya masih berlimpah *komen cari mati*
π
Tuh kan, tidak lepas dari generalisasi kan saya? π
menurutku bersumber pada *sering dengan mudahnya menyalahkan orang lain* jarang berpikir mungkinkah aku yang salah …
dan seperti kebanyakan orang yang banyak *bersuara* di tv *kayaknya klo ga masuk tv g keren jadi aku harus masuk tv* mereka banyak memprotres, mempertanyakan mempermasalahkan banyak hal tentang suatu kasuh tapi tidak pernah memberi masukan, beginiloh caranya.
sehingga apa yang diluar *dirinya* dianggap tidak becus
@ Warm
Eitu mahasiswa asemgede kan masih masuk “generasi terdahulu”…
@ Galeshka
Itu siapa yang bikin ya kutipannya?
@ Takodok!
Yah, itulah makanya, studi mengenai manusia yang berkembang pesat abad ini terus menerus mengalami revisi secara sporadik. Karena apa yang terjadi lima-sepuluh tahun lalu saja bisa jadi tidak relevan lagi dengan realita sekarang, apalagi bergenerasi sebelumnya, mengingat manusia-manusia yang memegang kendali juga berbeda, baik pola pikir, tujuan maupun seleranya.
Dan hey, betul juga, generalisasi kok dibalas dengan generalisasi sih? Jeruk makan jeruk dong… *melirik kembali ke postingan di atas, eh saya juga ternyata membuat generalisasi…*
@ Kania
Televisi memang berperan besar dalam mempengaruhi pola pikir masyarakat ya Mbak… Akhirnya ketika semua berkiblat kepada apa kata TV, ketika keseragaman pola pikir adalah hal mutlak, mau tak mau kita terseret pada banalitas yang “menjanjikan”.
Dulu saya pikir social media seperti blog bisa mengubah anggapan tersebut, tapi ternyata makin ke sini, social media justru bisa jadi alat efektif untuk menggiring opini, sebagai santapan baru televisi… *teringat hip kasus cicak-buaya dan prita*
Lhaa… saya juga tadi langsung terpikir dua posting ybs. Kita sepemikiran. π
BTW, terkait soal generasi tua memandang generasi muda:
So, yeah…
Intinya, mari kita baik tua ataupun muda, untuk bisa lebih banyak berkarya lagi.