Create the Impossible (LEGO Story Part 2)

(Tulisan ini lanjutan dari posting sebelumnya mengenai sejarah The LEGO Company) ((Sebagian besar masih saya sarikan dari buku Brick by Brick oleh David C. Robertson dan artikel di Daily Mail.))

“Blame is not for failure, it is for failing to help or ask for help.”

– Jorgen Vig Knudstorp ((Presiden dan CEO LEGO sejak 2004.))

LEGO vs Era Digital
Kjeld Kirk Kristiansen adalah sosok sentral yang membawa The LEGO Company menjadi perusahaan mainan terkemuka di era 1980-an hingga menjelang abad 21. Ia sukses memperkenalkan ikon LEGO paling terkenal: minifigure, dan mengembangkan banyak tema yang melegenda, seperti Castle, Space dan Pirates.

Masalah muncul di awal dekade 90-an, ketika LEGO harus menghadapi tantangan terbesar industri mainan: dunia digital. Video game menjadi mainan anak paling ‘hip‘ kala itu. Sony, Sega, Nintendo, bahkan Microsoft silih berganti mengeluarkan konsol dengan grafik yang makin lama makin canggih. Di hadapan piranti tiga dimensi interaktif yang aduhai itu, LEGO nampak bagai seonggok balok yang obsolete, ketinggalan zaman. Selain itu, komputer pribadi (PC) juga mulai merambah ke rumah-rumah, TV kabel dan pemutar video juga memudahkan anak menyaksikan film dan serial terbaru yang makin mantap SFX-nya. Teknologi digital mengubah cara anak-anak berimajinasi. Mereka tak perlu lagi medium dari balok plastik yang kaku, saat apa yang ingin mereka buat, petualangan yang ingin mereka alami, tersaji begitu nyata di layar kaca.

Di luar persaingan dengan pabrikan video game, LEGO juga menghadapi masalah dengan sesama produsen mainan. Paten untuk balok mereka kadaluarsa, yang artinya, pabrikan lain bebas memproduksi balok yang sama persis dengan punya LEGO. Inilah cikal bakal bootleg yang kian menjamur sekarang.

Transformasi LEGO
LEGO menanggapinya dengan melakukan ekspansi besar-besaran di pertengahan 90-an. Semakin banyak tema dan set diluncurkan, sembari menyasar berbagai segmen konsumen lewat lini produk baru yang mereka luncurkan. Divisi pemasaran LEGO memastikan produk mereka tersebar ke seluruh dunia. LEGO bahkan membangun taman hiburan baru, Legoland Windsor di Inggris.

Sayangnya, semua usaha ini tidak sepenuhnya berhasil. Tema dan set baru yang dibuat terkesan asal-asalan dan mengejar target, sehingga kurang diminati. Begitu pula dengan lini produk baru yang tak jelas pangsa pasarnya, justru malah memperbesar biaya produksi. Selain itu, ekspansi pemasaran juga berdampak pada ongkos distribusi yang meningkat. Puncaknya, pada tahun 1998, untuk pertama kalinya sejak didirikan, LEGO mengalami kerugian…

Kjeld kemudian menunjuk Poul Plougmann sebagai deputinya di LEGO, serta menyerahkan mandat operasional perusahaan kepada mantan bankir itu. Targetnya jelas: menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan. Plougmann pun mengambil langkah taktis dengan melakukan PHK massal dan menyuntikkan darah baru: karyawan muda dari seluruh dunia dengan bermacam keahlian, minat, dan visi.

Era Plougmann ditandai dengan kesuksesan besar yang diraih tema pertama LEGO yang mengambil lisensi dari luar: Star Wars. ((LEGO Star Wars saat ini menjadi tema tersukses dan paling banyak diproduksi di LEGO.)) Kebetulan, saat itu trilogi pertama dari prekuel film besutan George Lucas juga baru diluncurkan. Kesuksesan LEGO Star Wars menginspirasi mereka untuk kembali membeli lisensi dari film lain, seperti Harry Potter dan Indiana Jones.

Plougmann juga membawa LEGO berinovasi dalam berbagai hal. Inovasi seolah menjadi kata kunci menghadapi abad 21, bahkan meski harus menantang prinsip-prinsip tradisional perusahaan yang masih didominasi karyawan senior. Inovasi ini sangat terlihat terutama dalam keberaniannya menyasar target pasar baru: anak-anak yang tak suka main LEGO. Ia memperkenalkan Jack Stone dan Galidor, dua tema yang dianggap lebih keren, lebih gelap, dan sarat nuansa pertarungan, seperti yang disukai anak-anak penggemar game dan seri laga di TV.

LEGO juga merambah dunia digital lewat website dan aplikasi LEGO Digital Designer (LDD). LDD merupakan kumpulan database semua elemen LEGO yang bisa disusun sesuka hati oleh pengguna. Lewat LDD, fans bisa merancang sendiri model yang mereka inginkan, untuk kemudian memesannya secara online.

Selain itu, LEGO juga membangun dua Legoland baru, mengembangkan jaringan pemasaran sendiri lewat LEGO Store, sampai masuk ke dunia hiburan lewat video game, serial TV, dan DVD. Intinya, inovasi di segala lini, semaksimal mungkin. Hasilnya, hingga 2002, LEGO terus meraup keuntungan. Akan tetapi, semuanya kemudian berubah sejak 2003.

Ketika Perahu Mulai Goyah
Jorgen Vig Knudstorp adalah salah seorang rekrutan baru di LEGO kala itu. Ia bertugas menganalisis masalah-masalah yang ada di perusahaan, terutama yang berkaitan dengan keuangan. Dari analisisnya, ia menemukan inti permasalahan sebenarnya yang dihadapi perusahaan, yaitu inovasi. Ya, inovasi yang berlebihan, namun ternyata tidak menghasilkan keuntungan sesuai harapan.

Selama 2002, pendapatan LEGO ditopang oleh penjualan dua produk berlisensi, Star Wars dan Harry Potter, yang kebetulan tahun itu sama-sama merilis film kedua mereka. Setelah demam film mereda, dan anak-anak berkurang minatnya membeli produk waralaba tersebut, LEGO pun gelagapan. Penjualan menurun drastis dan di akhir tahun 2003, mereka kembali merugi, kali ini dalam jumlah yang sangat fantastis: 225 juta dolar. LEGO bahkan nyaris dijual ke perusahaan lain demi menghindari pendarahan yang makin parah…

Keruntuhan dan Kebangkitan Kembali
Melihat kehancuran perusahaan yang diwarisi turun temurun dari kakek dan ayahnya tentu tak terbayangkan oleh Kjeld. Ia harus memutuskan, apakah melepas LEGO untuk diakuisisi perusahaan lain, atau melakukan perbaikan, sebisanya. Kecintaannya terhadap LEGO dan nilai-nilai ideal yang dipegang pendahulunya membuatnya memutuskan memilih opsi kedua.

Plougmann kemudian diberhentikan, dan Knudstorp ditunjuk menggantikannya. Di bawah bimbingan Kjeld, si rookie ini bertindak cepat. Ia berbekal analisis keuangan yang cermat dan tahu apa yang harus dilakukannya: mengembalikan LEGO ke khittah-nya sebagai perusahaan pembuat mainan konstruksi.

Knudstorp tahu, jadi gurita dengan berusaha meraih profit dari semua ceruk pasar bukan hal bijak, dan malah membuat perusahaan tidak fokus. LEGO berubah menjadi perusahaan entertainment ketimbang pabrikan mainan. Mereka kelewat inovatif sehingga malah melupakan orang terdekat mereka: toko dan anak-anak penggemar mainan konstruksi.

Knudstorp mengambil langkah strategis dengan melepas semua Legoland dan divisi video game ke pihak ketiga. Ia kemudian juga memperbaiki hubungan dengan jaringan toko mainan yang sempat merasa tersakiti akibat niat LEGO membangun toko sendiri.

Yang paling utama, Knudstorp mereformasi divisi produksi dengan memutuskan untuk kembali ke core products. Memang, produk berlisensi menghasilkan banyak uang, namun sebagian keuntungan harus dibagi dengan pihak luar. Satu-satunya produk asli LEGO yang masih menguntungkan adalah Bionicle.

Tak pelak, Bionicle adalah penyelamat LEGO di kala krisis. Tak seperti Galidor dan Jack Stone yang ‘sok keren’ namun malah sangat jauh dari nuansa LEGO (dan terbukti gagal total di pasaran), Bionicle yang nampak ‘geeky‘ justru melahirkan barisan penggemar fanatik baru. Makhluk-makhluk aneh ini relatif murah, namun tingkat kesulitannya menantang, tak seperti Jack Stone yang dirancang sederhana dan ditargetkan untuk anak-anak yang kurang bisa kurang suka membangun.

Proses penghematan juga mereka lakukan sejak awal proses produksi. Sepanjang dekade 90-an hingga 2003, para desainer, atas nama inovasi, merancang berbagai elemen baru sesuka hati mereka. Konsekuensinya, tiap elemen baru membutuhkan cetakan/mold baru, yang harganya sangat mahal. Membuat satu mold bisa menghabiskan hingga puluhan ribu dolar, pun elemen yang dihasilkan kadang sedikit sekali digunakan pada set tertentu saja. Knudstorp menutup celah kebocoran ini dengan menyetop pembuatan mold baru, kecuali jika benar-benar diperlukan.

Solusinya, desainer dipaksa merancang set dengan memperhitungkan nilai setiap elemen. Alih-alih asal mengikuti pakem berpikir “outside the box“, mereka justru harus berpikir “inside the brick“: bagaimana menghasilkan set baru yang menarik, tingkat kesulitan dan mutunya sesuai standar LEGO, namun biaya yang dikeluarkan tetap rasional.

Penghematan ini terutama dijalankan di LEGO City. Tema ini dihidupkan kembali untuk mengajak para orang tua yang dulu penggemar Town Plan bernostalgia, sekaligus menarik minat anak-anak penggemar mainan konstruksi untuk kembali ke akar LEGO yang sempat terlupakan.

LEGO City sukses besar di pasaran. Bersama Star Wars dan Bionicle, tema ini menyelamatkan LEGO dari kebangkrutan. Ekspansi produk kini dilakukan dengan lebih cerdas dan ekonomis di tangan Knudstorp.

Setiap tema baru dibuat dengan perencanaan yang lebih matang dan segmen pasar yang jelas. Untuk anak-anak penggemar action dan laga, ada Ninjago dan Chima. Untuk level expert ada Creator dan Architecture. Bagi penggemar robot disediakan Mindstorms, dan bagi segmen anak perempuan tersedia Friends. Setiap tema baru ini punya keunikan sendiri namun tetap kokoh berpijak ke sistem permainan.

The LEGO Movie
Puncak promosi LEGO adalah diluncurkannya film bioskop pertama mereka, The LEGO Movie. Film ini sukses besar di pasaran dan mendapat banyak penghargaan. ((kecuali Oscar, tentunya.)) Hal tersebut berdampak pula pada keuntungan perusahaan yang semakin besar.

Saat ini, dengan pasar video game yang makin jenuh ditambah kecenderungan orang tua untuk melirik kembali mainan “tradisional”, LEGO mengambil keuntungan dari brand mereka yang identik dengan kreativitas dan imajinasi. Sinergi yang harmonis antara inovasi perusahaan dan loyalitas pelanggan membuat LEGO jadi merk paling diingat kalau bicara mainan konstruktif.

Selalu menarik buat saya untuk melihat, produk apa lagi yang akan mereka luncurkan, inovasi apa lagi yang akan mereka buat, dan tantangan besar apa lagi yang akan mereka hadapi. Kisah LEGO sebagai sebuah perusahaan mengajarkan banyak hal buat saya, terutama dalam memadukan idealisme dan strategi meraih keuntungan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *