Home

Home, hard to know what it is if you never had one
Home, I can’t say where it is but I know I’m going home
That’s where the hurt is..
U2 – Walk On

Dalam bahasa Inggris, ada perbedaan yang jelas antara house dan home; yang pertama lebih bernuansa fisik, sementara yang kedua, psikis. Keduanya dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “rumah”, tidak ada pembedaan, mungkin karena kita orang Indonesia sudah duluan punya rasa keterikatan, atau seperti yang dibahas di postingan Grace, “attachment” yang luar biasa terhadap rumah tempat kita tinggal.

Dan rasa ‘terikat’ itu beberapa hari ini semakin besar saya rasakan, mengingat besok Minggu tanggal 6 Februari 2011, akan menjadi hari terakhir saya menginjakkan kaki di rumah ini; sebuah rumah yang terlalu banyak menyisakan kenangan buat saya, keluarga, dan para sahabat.

Rumah ini, Jalan Hikmah Banua No 103 Rt 30 Banjarmasin, dibangun pada 1992. Ketika itu daerah ini masih sepi; rumah kami merupakan yang ketiga dibangun. Seberang rumah masih dipenuhi sawah membentang, dengan jalan yang masih berupa tumpukan koral, pasir putih, dan tanah merah. Bangunannya sepenuhnya dari kayu, dan ketika awal didiami, masih ‘setengah jadi’, berhubung bapak ternyata membangun rumah yang terlalu besar jika dibandingkan dengan budget yang tersedia kala itu… Proses perampungan bahkan terus berlangsung bertahun-tahun, setahap demi setahap, seiring membaiknya perekonomian keluarga. Rumah yang terlalu besar ini, beberapa lama ini terus dikeluhkan oleh emak, mengingat beliau kelelahan mengurus rumah sendirian, terutama sejak nenek tiada, sementara saya dan adik sudah tinggal di rumah masing-masing. Akhirnya kami memutuskan untuk coba menawarkan rumah ini, siapa tahu jelek-jelek masih ada yang berminat.

Beberapa bulan lalu, saat saya masih di Jogja, emak mengabarkan kalau rumah kami telah ditawar orang untuk dibeli. Setelah proses negosiasi, kedua belah pihak pun menyetujui harga yang tentu tidak semahal Fernando Torres dan waktu serah terima. Bapak meminta waktu untuk membangun rumah baru dulu, baru setelah itu pindahan dilakukan. Tenggat waktu tersebut adalah besok. Jadilah, beberapa hari ini kami habiskan untuk mengepak barang-barang, membongkar lemari dan tempat tidur, menyisihkan yang tak terpakai, dan mengikhlaskan hati.

Ya, mengikhlaskan hati, karena rumah ini telah hampir 19 tahun kami diami. Banyak kenangan terukir di sini, di setiap sudut dan dindingnya yang merapuh. 19 tahun sudah saya menginjak lantainya yang selalu mengeluarkan bunyi yang khas, membuat banyak toddler seperti Nadira dan Nabil senang belajar berjalan di sini. 19 tahun sudah atap sirapnya melindungi kami dari hujan dan panas. 19 tahun sudah ruangan-ruangannya menjadi saksi bisu berbagai peristiwa yang menimpa kami sekeluarga, susah, senang, derita, bahagia, tangis dan tawa…

Rumah ini jadi saksi kelulusan saya dan adik sejak SD hingga sarjana. Ya, saya menyiapkan latihan perpisahan SD, kabaret perpisahan SMP, baju nanang Banjar untuk upacara ‘batapung tawar’ lulusan SMA, dan jas-toga Yudisium-Wisuda sarjana, semuanya di sini.

Rumah ini kerap jadi basecamp bagi teman-teman saya dan adik, terutama sejak kami SMA. Mereka, entah kenapa, senang sekali berkumpul di sini, bahkan menginap sampai berhari-hari. Bermacam aktivitas menghiasi malam-malam di rumah ini, dari bakar jagung di malam tahun baru, hingga pontang-panting dikejar deadline tugas kuliah; termasuk di antaranya, menyelesaikan skripsi kami… Beberapa rekan tidak perlu disebutkan namanya bahkan senang memboyong kekasih(-kekasih) hati masing-masing ke mari… *ihik*

Rumah ini juga tempat saya juga membina cinta *uhuk*, merancang masa depan, membahas hal-hal yang katanya serius, hingga menikah. Saya melangsungkan resepsi di sini. Walimah pernikahan adik saya bahkan juga dilangsungkan di sini. Nadira dan Nabil kemudian mengisi rumah ini dengan tingkah polah mereka. Dan nenek, yang sejak dulu menjadi bagian tak terpisahkan dari keluarga kami, berpulang di sini.

Rumah ini tempat saya menggarap proyek-proyek terjemahan khas mahasiswa, menuliskan surat lamaran kerja pertama saya, menjadi saksi ketika saya tepar kelelahan usai dihajar event, hingga ketika kemudian saya lulus menjadi guru. Rumah ini juga tempat saya menyiapkan diri sebelum Ujian seleksi PPs UNY. Ya, rumah ini juga menyaksikan saya mencari nafkah dan mengembangkan karier demi keluarga…

Ada terlalu banyak hal untuk dituliskan, sebenarnya, dan takkan habis kenangan itu untuk diungkit-ungkit kembali. Yang jelas, rumah ini akan selalu ada di hati kami, mereka yang pernah mengisinya dengan beragam kisah dan mimpi. Dan semoga rumah yang baru kelak akan pula memiliki secuil nuansa yang sama, karena kami, orang-orang yang kelak berkumpul di sana pun, juga tetaplah orang-orang yang sama…

Salah satu sudut rumah kala selamatan

10 thoughts on “Home”

  1. …dan lagi-lagi farewell 🙁
    Bapak saya pernah kepikiran untuk suatu hari menjual rumah yang saya tinggali sekarang dan pindah ke suatu daerah lain yang lebih tenang untuk hari tua. Tapi ibu saya berharap kalau masih ada rejeki, lebih baik rumah ini jangan dijual karena terlalu banyak kenangan di dalamnya. Mudah-mudahan Ayah juga nanti sependapat sih 😛
    .
    Selamat berpindah ke rumah baru ya Bang Amed, semoga rumah baru akan terisi lebih banyak kenangan manis dan menjadi turning point dalam hidup keluarga. 🙂

    Reply
  2. Rumah yang sekarang ditinggali keluarga saya di Jogja itu rumah tua, konon kabarnya sudah berumur lebih dari 100 tahun. Namun demikian, saya sempet ngalami pindah-pindah juga. Waktu lulus SD dulu, ibu saya pas pindah tugas dari Ponorogo ke Sleman, deket tempat lahir saya dan Bapak saya. Jadinya waktu itu kami ngepak-ngepak barang, dan migrasi ke Jogja, yang kira-kira membutuhkan 6 jam perjalanan itu, perlu beberapa mobil, soalnya sofa dan lemari juga dibawa ke Jogja. Saya ga ingat benar sih, tapi kayanya dulu heboh bener. Omong-omong, komik Casper dan Richie Rich saya sepertinya tertinggal di rumah itu. Dan tahun ini sudah 14 tahun saya ga ke Ponorogo. Lewat pun ga pernah, soalnya setiap kali ngunjungin anggota keluarga lain di Malang / Surabaya, kami selalu lewat Ngawi – Madiun. Dan rumah yang dulu kami tinggali selama kira-kira 7-8 tahun itu, yang dikelilingi di kiri dan belakangnya ada hamparan sawah luas itu, rumah dinas depan Puskesmas Sukorejo itu, konon kabarnya sudah hampir rubuh, karena ga ada yang ninggali… 🙁

    *panjang bener*

    Semoga rumah barunya membawa barokah bagi Bang Amed sekeluarga, amiiinn. 😀
    Barangkali butuh bantuan, saya mungkin bisa kasih jadi mandor jarak jauh. :mrgreen:

    Reply
  3. Saya terharu baca postingan ini …
    *dengan mata berkaca-kaca*

    Selamat menempati rumah yang baru, semoga menjadi tempat tinggal yang nyaman untuk seluruh keluarga pian 🙂

    Reply
  4. @ Warm
    Berat memang om, terlalu banyak kenangan saya lewati di rumah itu…
    @ Grace
    Thanks Grace 😉
    Ah, kalau bisa sih jangan dijual lah selama masih mampu ngurusinnya… Tapi berbagai pertimbangan tentu juga harus diperhatikan dalam memutuskan dijual tidaknya sebuah rumah…

    @ Itikkecil
    Hehe, sekarang keadaan sudah tenang kembali…

    @ Lambrtz
    Eh iya, banyak ya rumah-rumah tua peninggalan Belanda di Jogja.. Saya pernah ke salah satu rumah tua tersebut, pas kebetulan ada kawan yang nginep di sana, jadi mikir yang macem-macem, untung kemarin datangnya siang.. *halah*
    Kalau di Banjarmasin, rata-rata rumah ndak bisa bertahan lama, lekas reyot, karena selain bahannya dari kayu, bawahnya rawa dan cuacanya sangat humid. Jadi lekas “jabuk” kalo kata orang sana.

    Eitu beneran mau jadi mandor??? :mrgreen:

    @ Syafwan
    Aduh, sekarang sudah pulang Wan.. Km kemarin kada umpat bedah novel Bang Sandi pang… Jakatida ketemuan…

    @ Nia
    Nggeh, makasih Cil ai… Tuh nah, anggrek habis diwaris tetangga dan keluarga…

    @ Fortynine
    Versi U2 resminya ya “hurt”… Kalo versi situs-situs lirik komersil, memang sering “heart”.

    @ Yulian
    Kalau gak salah, pian kenal kah Om?

    @ anonim (jaga nyawa)
    Dan anda bukan orang satu-satunya, hohoho… 😈
    *cek ip-nya yang komen ini ah…*

    Reply

Leave a Comment