It is so easy to leave me
Barbra Streisand (1981)
All alone with the memory
Of my days in the sun
Mungkin salah satu pengalaman paling saya ingat adalah peristiwa letusan Gunung Merapi akhir 2010. Sebagai warga Kalimantan yang tumbuh besar tanpa pernah melihat gunung berapi, peristiwa batuknya Merapi ini buat saya terasa lumayan overwhelming.
Saat itu kami baru sekitar tiga bulan memulai kuliah di Jogja (matrikulasi awal Agustus dan semester satu dimulai pertengahan September usai libur lebaran). Pertengahan Oktober, Merapi mulai menunjukkan tanda-tanda erupsi, di mana mulai terlihat asap membubung dari puncaknya.
Beberapa hari kemudian, korban akibat wedhus gembel mulai berjatuhan, makin lama makin banyak, termasuk Mbah Maridjan. Merapi siaga 1, bandara ditutup, sesekali terdengar dentuman dan kami juga kerap merasakan gempa kecil di rumah kontrakan. Lalu, pada suatu malam, atap rumah mendadak dihujani pasir dan kerikil kecil. Kami berempat warga Kalimantan di kontrakan sontak heboh sendiri. Mas Mul yang jaga laundry di seberang rumah cuma mesem-mesem memantau kehebohan kami.
Saat itu awal November, saya justru baru balik dari Pesta Blogger 2010 di Jakarta. Satu persatu penghuni kontrakan pun memilih pulang. Di rumah tinggal dua orang tersisa yang rencananya tetap di Jogja saja. Malah kami ada rencana gila melihat-lihat ke dekat puncak Merapi.
Mendadak sore-sore saya ditelepon salah seorang kawan mahasiswa, ibu-ibu yang panik minta ditemani pulang lewat Surabaya. Tak tega juga, akhirnya sore itu juga kami pulang lewat Terminal Giwangan.
Di Giwangan, bus Eka langganan lama sekali singgah. Kalaupun ada, rata-rata sudah penuh. Tak sabar menunggu, kami nekad mencoba menggunakan Sumber Kencono, PO legendaris di zamannya. Keputusan berani, karena delapan jam ke depan, andai saya bisa saya memilih untuk tidur saja. Mendekati Gresik, horror-nya nambah ketika ada penumpang ibu-ibu baru naik dan saya pilih berdiri gelantungan di belakang supir. Pontang-pantinglah saya menahan tikungan pak supir yang luar biasa.
Untungnya tak lama kami sampai Gresik, dan berakhirlah derita bersama Sumber Bencono. Kami dijemput salah seorang kerabat rombongan, dan paginya kami menuju bandara Juanda. Siangnya tanpa drama, hanya delay-nya yang terlalu lama, akhirnya kami pun pulang ke Banjarbaru.
Saya menghabiskan beberapa hari di Banjarbaru sambil memantau situasi, dan beberapa hari kemudian, setelah kondisi sudah kondusif, saya akhirnya bisa kembali dan perkuliahan berlangsung seperti biasa, seolah tak terjadi apa-apa…
Itulah sedikit kenangan yang saya ingat dari memori 10 tahun lalu. Mungkin sebagian tak akurat karena sudah lumayan lama. Yang juga saya ingat, helm saya ketika itu penuh debu Merapi juga, dan hingga saya tinggal, sisa debunya sengaja tak saya bersihkan; dibiarkan melekat di beberapa tempat, semacam jadi pengingat.
oh memori indah itu, oh~ saya pikir memori kala sepedaan di gang bakung 😶
jd kapan kita ke bogor dan menengok kawanku itu lagi #lah
Kawan yang mana sih? Oh, yang itu ya… #ihik
wah, kalo soal gunung meletus, paling epik dalam ingatan saya saat meletusnya gunung kelud di 2014, di mana abunya sampe ke Jogja
Nah kalo ini pas saya wisuda, tapi pas udah dapat sisa abunya doang.