Tak Pernah Gagal

Seorang rekan pernah mengklaim kalau dia tak pernah gagal dalam tes CPNS. Sebabnya simpel, beliau tak pernah ikut tes yang dimaksud…

Nah, dari klaim tersebut saya teringat kalau saya, tanpa bermaksud ngoyo, juga tidak pernah gagal dalam setiap tes yang pernah saya ikuti, dengan satu syarat: tesnya berbentuk pilihan ganda :mrgreen: .

Entahlah, mungkin hoki, atau memang saya cuma gape di atas kertas. Yang jelas, jika tesnya berbentuk pilihan ganda, saya sejauh ini selalu berhasil, dan tak jarang, mendapat hasil di atas rata-rata.

Tes pilihan ganda pertama yang saya ingat adalah saat kelas 5 SD, ketika ditunjuk mewakili SD saya di olimpiade Matematika. Saya menjadi yang terbaik di tingkat kecamatan, sedang di tingkat kotamadya, saya cuma mampu meraih peringkat 6, lumayan lah.

EBTANAS juga menjadi ujian favorit saya, karena saya selalu meraih hasil positif di sini. Jadi yang tertinggi di SD, peringkat dua di SMP, dan masih masuk kisaran 10 besar di 3 Bahasa SMA, ya itu tadi, karena soal tesnya juga selalu dalam bentuk pilihan ganda.

SPMB menjadi ujian selanjutnya usai SMA. Saya nekad menarget universitas luar pulau sebagai pilihan pertama, meski tetap ikut tes di Banjarmasin. Toh akhirnya, meski tak lolos di pilihan pertama, saya masih dapat nomor di pilihan kedua: Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unlam.

“Korban” berikutnya adalah tes CPNS. Kali ini, saya harus berjuang meraih satu posisi yang tersedia dari beberapa puluh pelamar. Syukurlah, ternyata soalnya juga pilihan ganda, dan meskipun secara pribadi saya anggap soal yang saya kerjakan itu menjijikkan, munafik dan bullsh*t, toh saya tetap lulus… *jadi mungkin saya ini….*

Sementara untuk tes prediksi semacam TOEIC dan TOEFL, nilai saya juga tak mengecewakan. Akan tetapi keduanya saya peroleh bukan dari institusi resmi, jadi tak bisa dijadikan patokan sepertinya.

Berikutnya adalah ujian akhir Pra Jabatan. Kembali, sekian puluh soal pilihan ganda harus saya babat, dan hasilnya, tak saya duga sama sekali, adalah peringkat empat terbaik dan tulisan “Baik Sekali” di sertifikat.

Dan yang baru saja saya lalui adalah seleksi beasiswa S2 khusus guru di provinsi saya.

Tak ada yang mesti dibanggakan, sebenarnya, mengingat yang dicari cukup banyak (190 orang) sedangkan mayoritas guru ogah mendaftar karena berbagai alasan: IPK di bawah 2.75, tunjangan sertifikasi, daerah, dan fungsional yang distop selama pendidikan, enggan meninggalkan sekolah lama yang “santai” karena akan ditempatkan di sekolah bertarif, eh bertaraf internasional, dan berbagai alasan lainnya.
Akhirnya, tercatat hanya ada 308 orang yang mengikuti tes tersebut.

Hasilnya ya bisa ditebak, saya lagi-lagi berhasil, dan sekarang harus menyiapkan diri untuk menaklukkan panasnya Yogyakarta… *padahal Banjarbaru kurang panas apalagi ya? Hohohoho*

Kesimpulan dari pamer prestasi cerita saya di atas sih sebenarnya sederhana saja: bahwa terkadang, institusi resmi cenderung lebih memilih cari enaknya saja dalam hal seleksi. Asal bisa jawab dengan benar sekian persen jawaban, terlepas apakah si calon nyontek, menjoki, hitung kancing, atau bahkan mengandalkan “dukun”, maka ia dinyatakan lulus.

Akan tetapi, memang, tes pilihan ganda adalah jenis tes terstandar yang paling “affordable“, terutama jika dihadapkan pada seleksi yang melibatkan banyak pelamar. Ini tak terlepas dari sifat tes ini yang mampu secara akurat “menghakimi” seseorang dengan dua keputusan: LULUS atau GAGAL. Kejam, dingin, dan tanpa pandang bulu, terlepas dari apakah ada “intervensi manual” dan “surat sakti” dalam proses seleksi dan penilaian.

Keunggulan lain dari soal pilihan ganda adalah ia bisa berfungsi sebagai “norm-referenced test” sekaligus “criterion-referenced test“. Criterion, itu tadi, sebagai penentu lulus atau tidak, sementara norm-referenced adalah sebagai pembanding hasil yang didapat orang per-orang dengan calon lainnya, sehingga kita bisa melihat pemetaan SDM yang ada.

Dan sifat norm-referenced itulah yang membawa saya, di tes terakhir, akhirnya berkesempatan bersalaman dengan Bapak Gubernur… Sayang cuma sebentar, dan saya tak sempat menyampaikan pesan, bahwa jalan mulus sudah

14 thoughts on “Tak Pernah Gagal”

  1. Omong-omong pilihan ganda, saya pernah dengar cerita yang rada aneh. Kurang jelas benar terjadi/tidak, but here goes:

    Jadi temannya sepupu saya waktu SD ikut tes yang memakai LJK. Berhubung siswa ybs nggak belajar — entah malas atau bagaimana — dia nekat mengisi jawaban ‘C’ semua. Hasil akhir: dapat 45. ^^;;

    /serius
    //dengar dari sepupu ybs, jadi cerita tangan kedua

    Reply
  2. tercatat hanya ada 308 orang

    Anu, kemaren testnya itu kan ruangannya sampai ruangan 11, satu ruangan pesertanya antara 40 – 50 orang (ruangan saya isinya 50), dikalikan 40 x 11 saja, total pesertanya 440… Kok bisa cuma 300an di datanya??

    Soal test itu… Ah, pasti kebetulan ini, pasti!

    Reply
  3. harusnya standarnya jangan IPK, mending tes IQ dan EQ dan apa lah namanya…, asal jangan disuruh menjawab soal pilihan ganda, soalnya rawan bocor.

    ***

    308 orang terdaftar itu semuanya hadir ya, 109 lulus seleksi semua pak guru…, kok saya ndak yakin ya….? pasalnya dulu waktu masih di jawa saya pernah ditugasi saff BAK sebuah perguruan tinggi XXX untuk mencari ‘client‘ program pasca sarjana, diutamakan PNS dari daerah luar pulau jawa, minimal 200 orang calon, alassanya cuma untuk mempertahankan grade akreditasi saja, ndak lebih.

    ***

    maaf, pandangan saya yang skeptis…, soalnya terbiasa menghadapi birokrasi negri ini yang notabene cuma sebatas formalitas saja. Dan saya kok ndak yakin semua calon terdaftar hadir dan ikut test hari itu ya?

    Reply
  4. @Carbon: Saya malah lebih mempertahankan pendapat bahwasanya; bukankah masih banyak orang orang tidak mampu yang berhak disekolahkan ketimbang harus menyekolahkan orang orang yang sudah digaji oleh negara?

    Soal gunanya beasiswa untuk kemajuan dan investasi dalam dunia pendidikan? Silakan tanya saja pada diri masing masing, jawab dengan jawaban paling tegas tanpa kemunafikan, kira kira setelah anda, siapapun anda disekolahkan apakah anda berfikir untuk orang dulu baru diri anda, ataukah anda dulu baru orang?

    ***

    Habis lulus kena imak jadi kepala sekolah Med lah, jadi anak auk kena sekolah di sekolahan imak aja, nilai raportnya 9 semua. Ha ha ha.

    Reply
  5. @ Sora9n
    Yang saya baca dari teori menjawab TOEFL, psikologi pembuatan soal memang begitu, bahwa probabilitas jawaban C memang paling tinggi, kemudian diikuti B, sementara sisanya jauh lebih kecil.

    Jadi, trik itu juga *terpaksa* saya gunakan waktu tes S2 kemarin, ketika waktu tinggal 5 menit dan masih lebih separo soal Logika Matematika yang belum terjawab. Dan saat itu saya pilih C untuk semua soal yang tersisa…

    @ Jimmy Ahyari
    Ini klaim sepihak juga ya, kan? :mrgreen:

    @ Nia
    Halah, maksud saya bukan begitu…

    @ Asop
    Karena pilihan ganda memang nikmat… 😎

    @ ManusiaSuper
    Terkadang, asumsi sepihak itu memang berbahaya, apalagi kalau ada pembenaran dan kebanggaan semu di dalamnya. Ingat scotoma-nya Teabing kan?

    Sebagai perbandingan, ruangan saya pesertanya 30 orang, dan sekitar 10 di antaranya tidak nampak batang hidungnya kala tes.

    Saya tidak ingin tergiring dalam asumsi atau prasangka yang macam-macam. Kita bicara data dan fakta saja. Bapak yang ngomong kala itu bilang, peserta terdaftar sekitar 340-an orang kan? Dan ternyata yang ikut tes kurang dari itu.

    Saya tidak bisa dan tidak sempat menghitung persis berapa peserta saat itu, tapi kalau UNY secara resmi mengeluarkan angka segitu, lalu kita mau bilang apa?

    Dan soal tes itu, sounds like sour grapes to me… 😎

    @ Carbone
    IPK sangat penting di negara yang begitu mengandalkan statistik seperti endonesa, Bon…
    Anyway, tes IQ, EQ atau apapun, tetap rawan bocor juga toh? Hohoho…
    Sekali lagi, ini juga masalah affordable tadi, mudah dan murahnya tes dengan pilihan ganda itu tak terkalahkan oleh jenis tes apapun jua..

    Kalau yang hadir nyampe 300, saya percaya saja, mengingat aula saat itu lumayan padat manusia. Apakah 190 orang yang lulus (bukan 109 loh ya) itu guru semua, atau guru yang SESUAI bidangnya, itu saya kurang tahu. Pun saya kurang tahu perkara grade akreditasi tersebut, saya cuma berharap pihak kampus juga tidak mengambil langkah yang gegabah…

    Skeptisisme? Tak masalah, karena mengubah DNA di birokrasi kita memang seperti menegakkan benang basah…

    @ Fortynine

    bukankah masih banyak orang orang tidak mampu yang berhak disekolahkan ketimbang harus menyekolahkan orang orang yang sudah digaji oleh negara?

    Korelasi logisnya? Saya kok lebih banyak menangkap kesan nyinyir dalam apa yang dianggap sebagai “pendapat” di sini?
    Perkara kuantitas, silakan main hitung-hitungan:
    Berapa persen guru di endonesa ini yang berkesempatan mengenyam pendidikan S2? Bahkan di SMP bertarif, eh bertaraf internasional di kota kita ini saja, guru S2-nya cuma berapa? 2!

    Bandingkan? Bandingkan dengan PNS di lingkup struktural, yang begitu banyak dapat kesempatan mengambil MAP, MM, dan sebagainya.

    Lebih luas lagi? Bandingkan dengan anak-anak pejabat dan pengusaha, yang biarpun tak dapat beasiswa tetap dapat kesempatan mengenyam pendidikan tinggi, bahkan tanpa kuliah! *ehem*

    Sekarang bicara lingkup pulau kita tercinta: Berapa banyak guru di Kalimantan yang mendapat kesempatan kuliah S2?

    Bandingkan? Bandingkan dengan banyaknya guru, PNS Struktural, dan anak-anak pengusaha/pejabat yang ada di pulau jawa sana. Berapa banding berapa jumlahnya?

    Dan karena itulah saya juga masih mempertahankan pendapat bahwasanya saya berhak mendapat beasiswa ini.
    Pertama: seandainya saya mampu secara finansial, seandainya saya anak pengusaha atau anak pejabat, seandainya saya sugih sejak lahir, saya TIDAK AKAN mengambil beasiswa ini. Saya lebih memilih kuliah lagi dengan biaya sendiri.
    Kedua: seandainya saya tidak mampu secara akademik, kuliah saya berantakan, grammar dan skill berbahasa saya etekewer, mengajar saya belepotan, dan kemarin pas tes kemampuan skolastik saya ternyata di bawah standar, saya TIDAK AKAN mengambil beasiswa ini. Saya lebih memilih mengembangkan kemampuan dulu untuk kemudian berharap sepuluh tahun ke depan ada program beasiswa lagi.
    Ketiga: seandainya saya bukan putra kelahiran Kalimantan, dan tidak merasa perlu memajukan pendidikan di pulau ini, saya TIDAK AKAN mengambil beasiswa ini. Saya akan serahkan saja kepada orang-orang hebat dan pintar dari pulau jawa sana untuk terus-terusan menguasai dan mendikte pendidikan di daerah. Pasrah.

    kira kira setelah anda, siapapun anda disekolahkan apakah anda berfikir untuk orang dulu baru diri anda, ataukah anda dulu baru orang?

    Apakah harus menunggu disekolahkan dulu baru berfikir seperti itu? Bukannya itu naluri reptilia paling primitif dari otak manusia? Bukankah itu salah satu kebutuhan paling mendasar manusia dalam piramida Maslow? Jadi, kembali, korelasi logisnya?

    Habis lulus kena imak jadi kepala sekolah Med lah, jadi anak auk kena sekolah di sekolahan imak aja, nilai raportnya 9 semua. Ha ha ha.

    Pinamusti betampah anak, cari mamanya dulu gin sana 😈

    Reply
  6. Pinamusti betampah anak, cari mamanya dulu gin sana 😈

    Kena kukikih…

    Bandingkan dengan PNS di lingkup struktural, yang begitu banyak dapat kesempatan mengambil MAP, MM, dan sebagainya.

    Mereka setahu saya tidak mengambil, mereka mengikuti perkuliahan dengan dibayari oleh pemerintah, lantas lulus, kemudian bergelar Magister Sia sia, dan Magister Akhir Pekan. Gunanya buat kesejahteraan pribadi di kemudian hari. Plus gengsi dan sok aksi (biasanya, meski tak semuanya begitu).

    Petanyaan yang lantas saya ajukan kepada mereka mereka para pendidik yang berkompeten dan telah membuktikan diri sebagai baik yang juara 3 dari 3 peserta maupun yang terbaik se-Kalsel, atau se-lingkup apapun itu, apakah anda akan seperti mereka? Sama saja dengan pegawai pegawai bertitel Strata 2 yang lantas membahas pangkat dan golongan sahaja hingga lupa tugas masing masing.

    Dan dengan sejujur jujurnya, setelah membaca semua alasan dari penulis. Maka saya sangat berharap;

    1. Mudah mudahan kalian semua nanti, TIDAK AKAN jadi The Next Hasan Basri.

    2. Mudah mudahan kalian semua nanti masih mau mengajar di Paramasan, Hantakan, Belangian, dan atau sudut sudut yang dekat akhirat lainnya di Pulau Kalimantan ini, khususnya Kalimantan Selatan. Demi memajukan pendidikan daerah.

    3. Mudah mudahan setelah selesai kalian tidak betah di sana, ingin cepat pulang. Karena ingin membangun banua. Berapapun kekayaan dan kesejahteraan yang telah kalian peroleh di sana. utamakanlah kami yang jaga gawang di daerah ini, seperti misi dan semangat yang diemban sejauh ini.

    4. Semoga saja dengan bertambahnya wawasan, pengalaman, dan pengetahuan setelah sekolah kelak, kalian bisa mengajari dan membagi semuanya kepada orang orang yang tinggal di sini. Karena sekarang saya merasa bahwasanya kami yang ada di sini sudah semakin bodoh dan sombong. Kalianlah kelak yang akan mengajari kami pengetahuan dan kerendahan hati.

    5. Semoga semuanya yang berangkat masih ingat bahasa daerah

    6. Semoga saja kalian, khususnya yang saya kenal, masih tetap pribadi yang saya kenal setelah bergelar Strata 2 nanti. AMIN.

    Reply
  7. @Fortynine:
    masalahnya disini semua orang merasa berhak menerima pendidikan, tengok UUD 45

    Pasal 31

    Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
    Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
    Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
    Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
    Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradapan serta kesejahteraan umat manusia.

    Jelas dalam UUD tersebut tidak disebutkan bahwa setiap warga negara diwajibkan memikirkan warga negara lainnya. Ya terserah pemerintah mau menyekolahkan siapa.

    @Amed:
    Ya, betul Med. Negara ini memang lebih mementingkan IPK ketimbang minat dan potensi kerja, malah di sesatkan dengan penggalan sindkata SDM(aku mau keswedia aja klo gini terus), padahal sudah bukan rahasia lagi, IPK bisa dibarter dengan jumlah digit tertentu, lalu buat apa IPK tinggi kalau sudah begitu…?

    Jadi Rektor atau Dekan aja gen imak Med ay, nyaman auk betitip anak jua kya farid, IPK minimal 3,00 gasan anakku… hahaaaay…

    Reply
  8. Gagal sebenernya adalah kesuksesan yang tertunda. Gak pernah gagal gak baik juga. Yang penting bagaimana kita menjalani proses dan menyikapi kegagalan dari sudut pandang positif… 😉

    Reply

Leave a Comment