Mencoba Manjaro

Sejak pertama migrasi ke Linux hampir setahun ini, tak banyak distro yang saya coba. Zorin atau Kubuntu misalnya, cuma sekadar diunduh ISO-nya, dicoba bentar, bingung, lalu diganti yang lain. Sempat juga bereksperimen di USB Drive dengan Peppermint dan Puppy Linux, dan hasilnya kurang lebih sama: banyak bingungnya. Hitungannya baru tiga distro yang benar-benar pernah dicoba lumayan lama.

1 – Elementary OS

Pertama, saya ingin sejenak kilas balik ke 2005, ketika pertama kali mencoba Linux di Si Putih. Kala itu saya menjajal SimplyMEPIS 3.3 yang CD installer-nya dibundel di bonus majalah PC Media. Sebagai distro yang ngakunya simpel, buat saya yang masih baru mengenal Linux, rasanya discouraging sekali. Terlalu banyak aplikasi dijejerin di Start Menu-nya, pengaturan sana-sininya saya tak mengerti, apalagi kala itu PC tak konek ke Internet. Jadilah, persepsi awal saya mengenai Linux: ribet.

Maju ke 2019, Linux sudah berkembang dan tak sesulit dulu lagi mempelajarinya. Elementary OS pun saya pilih karena melihat tampilannya yang begitu simpel, elegan, dan cantik. Masalahnya, terlalu simpel ini ternyata kurang pas juga. Rasanya sayang kalau udah nyebur ke ekosistem Linux, lalu cuma tahu pakai saja. Saya pun cari distro lain yang lebih oprek-able.

2 – Solus

Tadinya saya rencana pakai OS ini satu dua minggu, lalu ganti lagi. Eh ternyata sampai sekarang, Solus keterusan terpasang di laptop ASUS X550Z. Saya enggan ganti OS karena laptop rewel itu jadi nggak banyak keluhan.

Keunggulan Solus sepanjang pemakaian saya ada di stabilnya, jarang sekali ketemu error apalagi sampai nge-freeze. Di sisi lain, utak-atik tampilan tetap nyaman lewat Budgie Desktop Setting di mana hampir semua elemen desktop diatur sesuai kehendak kita.

Masalahnya, karena OS ini relatif baru, indie pula karena tidak berbasis distro besar macam Debian, software yang tersedia jadi terbatas. Software Center-nya pun menurut saya kurang enak dipakai, sehingga saya lebih demen instalasi lewat Terminal.

3 – Ubuntu

Ketika PC saya ganti HDD, saya pun memutuskan menginstal “yang pasti-pasti aja”, yaitu Ubuntu. Selain karena udah punya nama besar di dunia Linux, dukungan beragam aplikasi termasuk Steam membuat saya memilih distro ini.

Awalnya sih lancar, main game juga mulus. Pemakaian sehari-hari tak ada masalah. Pun, kalau mau aplikasi apa tinggal cari.

Lama kelamaan, grafik mulai bermasalah. Resolusi monitor kadang ubah sendiri ke 1024×768, kadang malah cuma nampilin layar hitam, dan PC harus di-reset kasar. Ketika musim pandemi dan pemakaian PC makin tinggi berhubung laptop Mami rusak, ngos-ngosannya makin terasa.

Yang paling mengganggu tentu adalah waktu boot-nya yang lama. Saya sampai harus membiarkan PC hidup terus, karena kalau di-shutdown, itu nanti pagi ngidupinnya pasti lama lagi.

Sudah saya coba ganti distro, tak ada yang sukses diinstal. Ada yang ngadat pas instalasi, ada yang sukses diinstal, tapi tak bisa boot, ada juga yang bisa sampai masuk login, lalu nge-freeze. Hanya Ubuntu, yang akhirnya bisa tetap jalan walau dengan segala masalahnya.

Saya pun sampai ke kesimpulan, PC-nya udah ketuaan, sehingga mungkin BIOS atau spek yang lain membuat distro zaman now tak bisa lancar dipasang di sana. PC baru pun dirakit, Mandalorian. Pertanyaan berikutnya: diinstal apa? Gugling sebentar, saya nemu artikel ini, dan tanpa pikir panjang memilih Manjaro.

04 – Manjaro GNOME

Mayoritas distro yang selama ini saya coba adalah Ubuntu dan turunannya, seperti Elementary atau Zorin. Saya belum pernah sama sekali menggunakan Arch, sehingga ada rasa khawatir juga ketika memilih Manjaro. Arch, dari yang saya baca, adalah semacam komunitas elit yang isinya para bloher senior. Akan tetapi, Manjaro justru dikembangkan untuk membuat teknologi Arch ini jadi mudah digunakan. Nah, karena alasan kemudahan itulah saya sedikit lebih tenang.

Di awal sekali, ternyata ada beberapa Desktop Environment yang bisa dipilih. Saya memilih versi GNOME, karena Mami yang sudah berapa bulan ini pakai Ubuntu, kelihatannya akan terbantu kalau tampilan desktop-nya nggak terlalu banyak perubahan. Lagipula, pikir saya, ini kan prosesor baru, dengan GPU Radeon Vega 3 pula, pasti nggak ada masalah di grafis mah.

Singkat cerita, Manjaro pun terpasang, dan hal pertama yang saya lakukan adalah meng-uninstall berbagai software yang saya kira tak penting. Usai hapus sana-sini, OS pun reboot.

Masalah #01: Sistem malah booting ke Terminal.

Owalah, ternyata salah satu yang saya uninstall tadi adalah pengelola GUI, sehingga desktop tak bisa tampil seperti semestinya. Ini rupanya masalah klasik di kalangan newbie… Ya sudah, install ulang saja. Setelah itu, saya pun jadi lebih berhati-hati dalam pengelolaan aplikasi.

Usai install ulang, saya mulai mengeksplorasi isi OS ini. Owalah, ternyata Steam dan Printer sudah terinstal. HP Ink Tank langsung terdeteksi tanpa perlu pasang driver lagi. Steam pun tinggal login dan donlot game, untuk kemudian kita tes gaming. Hasilnya adalah:

Masalah #02: Kok gini tampilannya? :'(

Tampilan Factorio di Manjaro

Begitu menemui Factorio grafiknya berantakan, saya sempat tak percaya, masak iya APU dengan grafis kekinian kok begini? Saya coba game lain, Stardew Valley, dan meski tak separah Factorio, grafiknya juga bermasalah, terutama teksnya yang terlihat pecah-pecah.

Jadi ilfil ah kalau gini, apa harus ganti distro lain saja, pikir saya. Eits tunggu dulu, apa mungkin masalahnya di GPU aja ya? Saya pun mencabut kartu VGA lama (HIS Radeon 6570 keluaran 2013) dari PC lama dan memasangnya di Mandalorian. Berhasil! Game kembali berjalan normal dan bagusnya lagi, RAM jadi nggak kemakan VGA onboard.

Kelar masalah dengan grafis, barulah saya merasakan kenyamanan menggunakan distro ini. Harus saya akui, Manjaro sejauh ini jadi distro paling enak dipakai buat saya pribadi. Arch mewariskan repo aplikasi yang sangat besar apalagi ditambah repo pengguna (AUR) sehingga hampir semua program tersedia. Package Manager-nya (Pamac) juga mudah digunakan, sampai saya hampir nggak pernah pakai Terminal buat install-uninstall program. Semua tinggal klak-klik cari di sana.

GNOME di Manjaro juga tampil sangat mulus dan tak kalah cantik dengan Elementary. Tweaks tool-nya lumayan lengkap, dan setelah kustomisasi sana-sini, berikut tampilan desktop saya saat ini:

Manjaro GNOME dengan Theme Manjarin + Nokto Maia

Sepertinya saya akan sangat betah menggunakan Manjaro. Kemudahan pemakaiannya mirip seperti Elementary, fleksibilitas kustomisasi-nya mirip Solus, dan koleksi aplikasinya tak kalah banyak dibanding Ubuntu. Asal masalah grafik yang berantakan tadi nggak terulang, sepertinya OS ini layak untuk pemakaian harian di rumah. Demi kenyamanan, kayaknya nanti saya harus berburu VGA card yang agak lebih baru saja.

Spek PC yang terbaca di menu About Manjaro

4 thoughts on “Mencoba Manjaro”

  1. hmm menarik ini, tapi melihat tampilannya sepertinya perlu komputer dg spec yg cukup tinggi ya, pak?
    btw belum tertarik nyoba debian? hehe

    Reply
    • Kalau spek masih belum setinggi MacBook Pro piyan lah… Ini kebetulan aja pakai yang versi GNOME makanya desainnya agak nganu. Kalo mau yang lebih ringan bisa pakai XFCE.

      Debian sudah ke situsnya, tapi langsung takutan melihatnya… Nanti ada pembahasan di postingan berikutnya, hehe…

      Reply
      • Mekbuk Air pun kantor, tepatnya. Spek pas2an.
        Debian di Fujitsu tu pake XFCE, karena ringan itulah.
        Takutan knp lg, debian nyaris kdd masalah, kok

        Reply
  2. wkwkwk. beberapa bulan yang lalu pernah ingin mencoba manjaro 21. waktu di coba di live USB dan hendak diinstall mendadak “not responding” Endeavour OS juga demikian. Akhirnya saya menggunakan distro Archcraft (basis Arch Linux) Desktop Environment XFCE dah pakai zsh (Z Shell). Ringan untuk laptop RAM 2 GB..

    Reply

Leave a Comment